Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Sekar Langit

10 Agustus 2022   09:36 Diperbarui: 10 Agustus 2022   09:42 852 4
Kabut masih enggan beranjak dari lereng gunung Telomoyo, meski matahari telah menyentuh ujung dedauan. Sekar merapatkan jaketnya menghalau dingin yang menusuk tulang. Mata coklatnya menatap takjub pada cucuran air yang jatuh dari bukit yang menjulang.  "Indah, ya?" Seseorang dengan suara seraknya yang khas tiba-tiba berdiri di samping Sekar.

"Huum," jawab Sekar, matanya tak bergeser dari panorama yang membuatnya kagum.

"Air Terjun Sekar Langit merupakan tetesan mata air dari puncak Gunung Telomoyo, gunung yang membatasi antara kota Salatiga dan Kabupaten Magelang. Berada di Desa Telogorejo, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang atau berada di lereng Gunung Telomoyo dengan ketinggian mencapai 30 meter," ujar Danar menjelaskan. Sekar menatap laki-laki bermata elang itu dengan mata setengah menyipit.

"Kenapa diberi nama Sekar langit?" tanya Sekar masih dengan tatapan yang mengandung tanya.

"Penamaan Sekar Langit diambil dari Bahasa Jawa,  yaitu Sekar yang berarti bunga, dan langit. Jadi jika diterjemahkan keseluruhan, Air terjun Sekar Langit berarti bunga yang jatuh dari langit."

"Wow, berarti namaku artinya bunga, dong?"

"Yup, mungkin orang tuamu berharap kelak kamu akan menjadi bunga dengan harum yang menyenangkan banyak orang," jawab Danar sambil menyubit hidung bangir Sekar.

"Konon, air terjun ini merupakan tempat yang dikaitkan dengan legenda Jaka Tarub dan Nawangwulan."

"Tunggu ...! Kalo nggak salah Aunty pernah bacakan dongeng itu," potong Sekar sambil mengingat-ingat.

"Bisa jadi, karena cerita ini cukup populer. Nawangwulan adalah bidadari dari kayangan yang tidak bisa kembali karena kehilangan selendangnya. Selendang itu diambil oleh Jaka Tarub yang saat itu sedang berburu dan melihat sekelompok bidadari dari kayangan sedang mandi," lanjut Danar.

"Oya, aku ingat ceritanya. Jaka Tarub lalu mengajak Nawangwulan untuk tinggal di rumahnya dan mereka pun akhirnya menikah." Sekar berkomentar.

"Benar, meski awalnya Nawangwulan sempat marah kepada Jaka tarub, karena mengetahui selama ini  selendangnya untuk kembali ke khayangan diambil oleh Jaka Tarub saat dia sedang mandi di sungai, hingga akhirnya dia kembali ke khayangan. Namun, karena rasa cinta yang sudah tertanam membuat Nawangwulan akhirnya kembali turun ke bumi untuk menjalani hidup sebagai manusia bersama Jaka Tarub. Mereka pun bahagia sampai akhir hayat."

Sekar hanya manggut-manggut sambil merendam kakinya di arus air yang menggelitik.

"Apakah orang percaya dongeng itu nyata?" tanya Sekar.

"Nggak ada yang tahu kebenarannya secara hakiki, tapi sebagian besar masyarakat sini percaya legenda itu benar ada," jawab Danar.

"It's sound stupid," gumam Sekar. Dalam hati, gadis yang lama tinggal di Belanda itu merasa bodoh jika harus mempercayai mitos tersebut. Meski kedua orang tuanya berasal dari Jawa, tapi pekerjaan ayahnya sebagai diplomat dan tinggal di Leidenburg, membuat Sekar nyaris tak mengenal cerita rakyat dari negaranya sendiri.

"Hati-hati! Jangan bicara sembarangan!" ujar Danar menasihati.

"What ...? Dan kamu juga percaya mitos bodoh yang mengatakan kalo kita bicara sembarangan akan ketiban sial?" tukas Sekar sambil membelalakkan mata. Danar hanya mengedikkan bahu sambil mengangkat telapak tangannya.

"Kamu tunggu di sini bentar, ya," pinta Danar. Sekar yang tengah memainkan kakinya di air terjun menatap Danar.

"Mau ke mana?"

"Cari makanan," jawab Danar menjauh.

"Jangan lama-lama!" seru Sekar setengah berteriak.

Sekar asik menikmati kecipak air yang membentur kakinya. Menghidu aroma air dan mengisi rongga paru-parunya dengan udara sebanyak-banyaknya. Tiba-tiba Sekar merasa ada gelenyar dingin yang menyentuh tengkuk, membuatnya merinding.

Sekar mengedarkan pandangan ke sekeliling, air yang mengalir dari ketinggian 30 meter itu seperti pintu gerbang kerajaan. Sekar mengerutkan alis dengan heran. Dari balik air terjun seperti ada yang berbisik memanggil namanya.

Gadis berhoody baby pink itu menoleh ragu, tapi dorongan hati untuk mendatangi suara yang memanggilnya begitu kuat, hingga Sekar memutuskan untuk menuju pintu gerbang raksasa itu.

Tanpa peduli bajunya yang basah, Sekar menapak di antara batu-batu di sekitar cucuran curug,  tapi tiba-tiba kakinya menginjak benda licin yang membuatnya kehilangan keseimbangan.

Tubuh gadis berusia 20 tahun itu terbawa arus deras. Tangannya masih terlihat menggapai-gapai sesuatu keatas. Ingin rasanya dia berteriak, tapi suaranya terhalang oleh air yang sudah memenuhi tenggorokannya.

"Sekar ...!" Danar yang sudah kembali melihat Sekar terseret arus segera melompat. Berusaha menyelamatkan gadis yang diam-diam disukainya. Beruntung arus air membawa tubuh Sekar mendekat ke arah Danar. Segera laki-laki bertubuh tegap itu meraih tubuh Sekar.

***

Sekar membuka matanya yang terasa berat, tangannya meraba kasur yang terasa lembut dan empuk. Gadis itu berusaha menggerakkan tubuhnya untuk duduk, tapi kepalanya terasa berat hingga menahannya untuk tetap berbaring di balik selimut lembut yang membuatnya lebih nyaman di posisinya saat itu.

"Di mana aku? Sepertinya kasur dan selimut di penginapan tidak sebagus dan selembut ini, kasurnya juga terasa lebih empuk," batin Sekar heran.

Sekar mengedarkan pandangan menyapu seluruh ruangan tempatnya berbaring. Barang-barang antik yang terdapat di ruangan bernuansa emas itu sebagian besar terbuat dari kayu.  Daun  jendela dan pintunya juga terlihat kokoh dengan ukiran yang rumit dan antik.

Sekar terhenyak. Jelas ini bukan kamar tempatnya menginap semalam. Dia hapal betul setiap detail sudut ruangan penginapan, tidak ada yang seperti ini.

Rasa penasaran dan bingung membuatnya berusaha bangkit dari pembaringan. Rasa sakit di kepalanya juga perlahan mereda. Kini gadis bertubuh mungil itu sudah berdiri di samping kasur. Tangannya meraba meja kayu dengan ukiran bunga mawar.

"Selamat datang, Sekar."

Sekar menoleh kebelakang. Seorang laki-laki berpakaian putih dengan rompi coklat keemasan  tersenyum menyapanya.

"Ini kamarmu sekarang, kamu suka?" Laki-laki itu berjalan mendekati Sekar.

"Kamu akan tinggal di sini, Sekar!"

"Maksudnya?" tanya Sekar masih belum mengerti.

"Mulai hari ini kamu akan tinggal di sini dan menjadi permaisuriku," ujar laki-laki itu menjelaskan. Laki-laki berwajah putih pucat itu mendekat pada Sekar, memangkas jarak di antara mereka.  Sekar yang masih belum sepenuhnya sadar menggeser tubuhnya menjauh, keningnya berkerut  tanda berpikir keras.

"Si ... siapa kamu?" tanya Sekar gagap, tubuhnya menggigil menyadari adanya bahaya.

"Aku Pangeran Langit," tegas laki-laki itu sambil tersenyum.

"Lalu di mana aku?" tanya Sekar gemetar.

"Jangan takut, Sekar. Sudah lama aku menunggu saat ini. Sejak lama aku jatuh cinta dan menginginkanmu menjadi permaisuriku. Akhirnya Sang Penguasa Jagad mengabulkan permintaanku. Dia mengirimmu padaku." Laki-laki berwajah pucat yang menyebut dirinya Pangeran itu tersenyum sambil meraih tangan Sekar.

"Tidak! Aku tidak mau!" tolak Sekar gusar, berbagai macam perasaan mulai berkecamuk di kepala, takut, marah, dan bingung, laki-laki itu tertawa.

"Tidak ada yang bisa keluar dari kerajaanku jika Dewata sendiri yang telah mengirimnya. Kita akan segera menikah."

Sekar beringsut mundur, kakinya gemetar, wajahnya memucat, ingin berteriak, tapi tenggorokannya seperti tersekat. Dalam keadaan terimpit Sekar akhirnya berjongkok, air matanya berlelehan membasahi pipi.

"Sebentar lagi para dayang akan menyiapkan baju pengantin untukmu. Dewata telah menurunkan restunya dengan mengirimmu ke sini. Kamu akan menjadi permaisuriku," ujar Pangeran Langit sambil turut berjongkok di samping Sekar, tangannya membelai anak-anak rambut yang terjuntai di kening Sekar.

"Tolong lepaskan aku!" pinta Sekar mengiba, terisak ketakutan. Sekar tak tahu di mana saat ini dia berada. Semua terasa asing, benda-benda di sekelilingnya seperti berasal dari peradaban kuno, lalu pangeran itu ... wajahnya begitu pucat meski aura ketampanan masih terpancar kuat.

Tak lama beberapa perempuan mengenakan kemben dan kain dengan warna seragam mendekatinya. Pangeran Langit tampak berbicara dengan perempuan yang paling tua. Laki-laki dengan rompi coklat keemasan itu menyebutnya Ibu Dayang. Sepertinya dia adalah ketua para dayang. Tak lama setelah bicara Pangeran Langit pergi meninggalkan ruangan.

Seorang dayang segera menyentuh wajah Sekar dan mulai memoleskan ramuan dengan aroma melati. Seorang lainnya membawa semacam tembikar yang mengepulkan asap harum, dan mulai mengasapi rambut Sekar. Tak hanya itu, seorang bertubuh gemuk mulai membuka pakaian yang dikenakan Sekar dan menggantinya dengan kain panjang dan kebaya bersulam emas.

Sekar tersentak, tak ada gunanya menangis. "Harus berbuat sesuatu jika ingin selamat," batinnya. Digelengkannya kepalanya kuat-kuat, lalu tiba-tiba dia seperti mendengar suara seseorang yang amat dikenalnya. Sekar menoleh cepat, mengentakkan tangan dan menepis semua atribut yang belum sempat terpasang sempurna di tubuhnya.

Suara itu makin jelas, Sekar segera berlari mencari arah suara, tapi para dayang juga tidak tinggal diam. Mereka berusaha menghalangi Sekar. Beruntung Sekar dapat membuka pintu besar yang beratnya luar biasa.

Sekar berlari mengikuti jalan yang mirip seperti gua. Tampak cahaya kecil di kejauhan, dia terus berlari ke arah cahaya tersebut. Namun, para dayang tetap mengejarnya, bahkan nyaris berhasil menangkapnya kembali.

Sekar terus berlari sekuat tenaga, keinginananya untuk bisa keluar membuatnya tak peduli akan rasa takut. Tiba-tiba tanah yang dipijaknya terasa bergerak, melesak dan menggulung tubuhnya dalam hitungan detik lalu mengempaskan tubuhnya kembali di atas batu cadas.

***

Danar memeluk Sekar, bersyukur gadis itu selamat.

"Aku takut, Dan," isak Sekar mengakhiri ceritanya. Danar mengeratkan pelukannya.

"Kamu sudah aman sekarang."

"Tapi tadi ...." Sekar tak melanjutkan kalimatnya, bingung atas kejadian yang baru dialaminya ... benar-benar seperti nyata.

"Yang penting sekarang kamu selamat," ujar Danar menenangkan, "Sekarang kita pulang, ya."

Sekar mengangguk, pelahan berdiri. Danar memapah Sekar yang terlihat masih syok, berjalan meninggalkan
lereng Gunung Telomoyo yang dengan pongah menyajikan keindahan cucuran airnya.

Sekar menoleh sesaat, matanya menatap tajam pada relung dibalik cucuran air. Seketika Sekar mengejang ... laki-laki berwajah pucat dengan rompi coklat keemasan itu tengah berdiri sambil menatapnya. Sebuah tatapan kehilangan ....
.
"Pangeran Langit," desis Sekar dengan bibir gemetar. Hatinya tiba-tiba terasa perih.

Sidoarjo,  10 Agustus 2022
#Ceritafiksi
#Fiksifantasi
#Sekarlangit

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun