Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Manusia Penunggu Badak

21 Maret 2020   11:18 Diperbarui: 21 Maret 2020   11:31 43 0
MANUSIA PENUNGGU BADAK
(cerpen)
 
Dulu kami selalu berdua. Tetapi kini terpisah oleh jarak, nasib dan apapun. Laut lepas, rimbun pohon dan lenguh satwa menghalangi tubuh dan ingatan kami. Tetapi, tetaplah ada satu garis tipis yang sayup-sayup menghubungkan kami berdua.

Ya, kami dulu selalu berdua. Kesan pertemanan itu, walau timbul tenggelam, tetapi tetap bisa dikenang. Saya, Panembromo, biasa dipanggil Bromo. Dia, Susanto Raharjo, biasa dipanggil Ajo. Bromo dan Ajo, kadang disingkat Brojo. Itulah kami. Dwitunggal dari distrik kesepian di wilayah eks karesidenan Surakarta.

Tahun-tahun saat kami tumbuh, konon pemerintah mengekang kehidupan warga. Tetapi kami merasakan sebaliknya. Kami bebas bergaul dengan siapa saja. Tidak perduli suku, jenis baju, tipe kopiah, bentuk kelamin, atau agama. Menyembah pohon pun tidak mengapa, asal kau baik pada sesama. Berkawan dan meminta bantuan jin atau arwah penunggu kuburan juga silahkan saja, ibarat kita meminta bantuan guru les untuk mengerjakan PR matematika. Semua fine-fine saja. Dalam era seperti itu, Aku dan Ajo dibesarkan.

Aku lebih pragmatis dalam hidup: belajar TPA di surau, nyolong jambu saat sore, belajar moral pancasila saat malam, dan mandi sekedarnya di waktu pagi lalu tergopoh-gopoh ke sekolah tanpa sarapan.  Sedangkan Ajo lebih rumit: percaya danyang kuburan, suka keris bertuah, tetapi ahli matematika. Keahlian terakhir ini yang membuat Ajo paling cemerlang diantara sebayanya. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun