Mohon tunggu...
KOMENTAR
Analisis

Reenactment Ajaran Bung Karno: Mengungkap Ikatan Emosional Budiman dengan Ibu Mega

14 Januari 2023   03:21 Diperbarui: 14 Januari 2023   04:09 439 1
Politisi PDIP Budiman Sudjatmiko memberikan analisis cukup berbeda tentang pidato Megawati Soekarnoputri dalam HUT PDIP ke-50. Budiman menilai pidato Mega sangat berkarakter. Standar kualitasnya terlihat dari tingginya unsur etika politik (moral) dan tanggung jawab kebangsaan. Hal itu bisa diinterpretasikan dari twitter Budiman.

Karena di Indonesia politik formal hanya bisa dilakukan di partai politik maka apa yang dilakukan Megawati menjadi sebuah contoh besar kematangan sebuah parpol. Megawati tidak hanya menunjukkan positioning dari PDIP sebagai sebuah partai besar, tapi juga garda terdepan harapan rakyat akan tegaknya demokrasi di negeri ini.

Positioning itu dikaitkan dengan ditunggunya calon presiden dari PDIP oleh semua kalangan bahkan rakyat Indonesia. Positioning ini merupakan bagian keberhasilan Megawati dalam memimpin partainya.

Kualitas karakter Mega tentu saja mengandung kearifan. Juga pengalaman, pemahaman, akal sehat, dan berwawasan. Dari semua itulah secara jeli bisa dilihat karakter itu tidak bisa lepas dari figur Sang Ayah: Bung Karno.

Dari sejumlah pesan Mega untuk para kader PDIP salah satu yang sangat penting adalah turun ke rakyat. Mega meminta para kader turun ke desa dan mengetahui bagaimana situasi rakyat yang sebenarnya.

Pesan Mega menjadi benteng kokoh melawan kemerosotan ideologi kerakyatan saat ini. Sebab bagaimanapun PDIP merupakan partai wong cilik.

Dalam sebuah wawancara dengan Seaword TV, Budiman menggambarkan ideologi wong  cilik itu melalui marhaenisme di era Bung Karno dan era sekarang. Budiman melakukan sebuah re-enactment.

Budiman sebetulnya tidak bicara sejarah untuk dirinya sendiri melainkan agar mudah dipahami oleh generasi saat ini. Sebab, bagaimanapun untuk memahami sejarah masa lalu itu harus dilakukan sebuah rekonstruksi sejarah sehingga generasi muda memahami bagaimana peranan Bung Karno di masa lalu.

Melalui reenactment pula maka generasi muda akan memahami sejarah dalam konteks kekinian. Salah satu tokoh yang melahirkan konsep reenactment yaitu RG Collingwood. Dia berpendapat bahwa re-enactment merupakan sikap kritis, dimana sejarah mengajak kita untuk berpikir.

Kembali ke re-enactment, saat Budiman bicara mengenai marhaenisme. Ketika Bung Karno masih berusia 20 tahun bersepeda menelusuri  pedesaan di Jawa Barat. Bung Karno bertemu dengan seorang petani yang bernama Marhaen. Kisah legendaris inilah yang melatarbelakangi Bung Karno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang kemudian berbaur dengan PDI dan kemudian menjadi cikal bakal lahirnya PDIP Perjuangan saat Mega terpilih menjadi ketua.

Sangat jelas apa yang diidealkan oleh Budiman dengan turun langsung di pedesaan di Jawa Barat dalam suasana yang sama saat Bung Karno turun ke pedesaan di Jawa Barat tersebut untuk memberikan gambaran yang nyata mengenai sosok marhaen yang dimaksudkan oleh Bung Karno.

Penekanan marhaenisme yang hanya bersifat 'kognitif' atau hapalan saja dapat menyebabkan kesalahan serius dalam pemahaman tentang apa yang terkandung didalamnya. Marhaen lebih dari itu. Dia memancing munculnya kasadaran sebagai sebuah bangsa.

Tidak hanya tentang marhaen di dalam tayangan Seaword TV Budiman juga ke tempat suasana sidang saat Bung Karno membacakan pledoi Indonesia Menggugat. Dan kemudian ke Gedung Asia Afrika di saat Indonesia menjadi pemimpin dunia dalam Konferensi Asia Afrika.

Tempo mencatat besarnya nama Bung Karno di masa itu. Presiden Sukarno membakar semangat para peserta dari 29 negara di Asia dan Afrika dalam Konferensi Asia-Afrika pada 1955 di Gedung Merdeka, Bandung. Selama 40 menit, tak kurang dari sepuluh kali tepuk tangan panjang memotong pidato proklamator Republik Indonesia itu.

Ajakan Budiman ke Gedung Asia Afrika dan melakukan reenactment tentang peristiwa besar itu tidak terlepas dari apa yang diungkapkan oleh Ibu Mega yang menginginkan agar Indonesia menjadi sebuah bangsa yang besar.

Budiman membeberkan kepada media massa keinginan Megawati Soekarnoputri mengenai arah yang perlu ditempuh Indonesia agar bisa menjadi hebat seiring teknologi yang maju dengan pesat.

Megawati ingin Indonesia dipimpin oleh pemimpin yang paham geopolitik serta implikasi dari kemajuan teknologi terhadap kondisi dunia di masa berikutnya.

Pesan pesan Megawati dalam HUT PDIP ke-50 dipandang juga mengandung etika politik yang tinggi bagi para kader. Dari masalah kepatuhan terhadap konstitusi (terkait jabatan presiden 2 periode) hingga penerapan disiplin partai yang harus dijalankan.

Disiplin itu menyangkut juga militansi, mobilitas dan kesetiaan kader terhadap PDIP. Terkait pesan pesan inilah, nama Budiman memang mencuat. Selama ini, Budiman menjadi salah satu kader loyal yang menilai parpol tidak untuk mengejar kekayaan dan jabatan.

Menurut Budiman, berpolitik itu bukan hanya sekadar ikut pemilu atau menjadi caleg, atau menjadi menteri, presiden atau lainnya. Baginya, politik itu misi hidup dengan kandungan misi sosial.

Dengan pandangan ini pula marwah partai berpotensi akan terangkat. Salah satu contoh yang diajarkan Ibu Mega (dalam pandangan Budiman) adalah penerapan harga diri. Kita menyadari bahwa sikap PDIP yang ditunggu rakyat terkait calon presiden 2024 tak lantas membuat Mega mengumumkan calonnya. Hal ini menjadi bagian bahwa PDIP tak bisa didikte oleh dinamika politik dari luar yang sarat akan kepentingan. Bagi PDIP masalah kebangsaan yang saat ini muncul lebih menjadi prioritas.

Ibu Mega menyadari dengan perkembangan dunia saat ini, moralitas kader menghadapi tantangan yang kompleks. Partai tak hanya masalah indoktrinasi, tapi juga membutuhkan refleksi tentang pilihan moral yang harus ditimbang satu sama lain.

Prilaku kader adalah masalah interpretasi dalam konteks sistem kepartaian yang seharusnya diterapkan secara seimbang.


Anak Ideologis

Ketika orang-orang bicara mengenai trah Bung Karno atau berbagai wacana tentang regenerasi di PDIP, hanya sedikit yang memperhatikan bahwa di luar trah itu, Bung Karno sebetulnya diidolakan oleh jutaan rakyat Indonesia.

Budiman Sudjatmiko menjadi salah satu yang mengakui bahwa sejak Sekolah Dasar (SD) dia telah mengidolakan Bung Karno yang dikenalkan oleh kakeknya.

PNI memang mengakar di keluarga Budiman. Bahkan pada kelas 3 SMP di Cilacap, Budiman pernah membuat makalah (paper) tentang PNI. Di makalah itu, dia mereview satu buku dari Nasir Syamsudin tentang PNI dan perpolitikannya sampai 60 halaman. Begitu gandrungnya dengan Bung Karno, Budiman memasang lambang PNI di rumah kakeknya yang kepala desa.

Pada saat di kelas 6 SD, waktu itu Budiman ada di Bogor, setiap ada kampanye PDI Budiman ikut. Karena saat itu Budiman berpikir bahwa PDI itu adalah partainya Bung Karno.

Budiman sendiri mengetahui sosok Megawati Soekarnoputri sejak kelas 3 SD. Ceritanya, di rumah Budiman bapaknya senang mengoleksi buku tentang Bung Karno. Kebetulan ayah Budiman adalah aktivis GSNI (Gerakan Siswa Nasional Indonesia).

Budiman kecil sering membuka buku ayahnya. Salah satu judul yang dibaca adalah Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Buku itu dibuka-buka Budiman dan dia menemukan salah satu foto Bung Karno dengan keluarga. Di foto itu ada seorang anak perempuan yang usianya tak jauh berbeda dengan Budiman yang masih kelas 3 SD. Anak perempuan di foto itu adalah Megawati Soekarnoputri. Budimanpun menyukai anak perempuan itu yang dalam pikiran anak anak masih seusianya.

Kemudian pada bagian buku yang lain Budiman menemukan Bung Karno sedang menari dengan seorang gadis perempuan berkebaya. Di foto itu tertulis caption: aku dan putriku. Dari sini, Budiman tahu bahwa itu adalah Megawati Soekarnoputri dan ternyata sudah besar jauh di atas usianya.

Kisah ini pernah diceritakan Budiman ke Ibu Mega. Keluarga Budiman yang mengidolakan Bung Karno di suatu masa ayahnya pernah mengirim surat ke Istana Presiden. Dan dari istana dikirim foto Bung Karno dan keluarga yang ditandatangi Bung Karno.

Sebagai tokoh besar bangsa ini, Bung Karno memiliki banyak ajaran yang dapat membentuk karakter generasi muda bangsa. Itulah sebabnya pembicaraan ideologi Bung Karno sama relevannya di balik pembicaraan trah Bung Karno yang selalu hangat dibicarakan.

Sosok Budiman yang hadir (non trah) menjadi bagian dari "anak ideologis" nasionalisme. Budiman tidak sendiri. Jutaan anak bangsa terus mengikuti ideologi kebangsaan Bung Karno.

(Khaidir Asmuni, Democracy Care Institute)





KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun