Index tersebut dapat menjadi acuan untuk menliai kekayaan sebuah bangsa, atau kemajuan di dalam berbagai segi pembangunan. Tetapi index tersebut tidak memberikan gambaran bagaimana usaha sebuah bangsa di dalam mencapai angka-angka tersebut.
Menilai output memang lebih gampang, tetapi menilai sebuah suprastruktur yang mendasari sebuah keberhasilanakan terasa sangat sulit, dan hal ini sangat ditentukan bagaimana cara pandang/ paradigma / worldview yang dianutnya.
Namun di dalam tulisan ini saya tidak sedang membahas berbagai macam varian untuk mengukur prestasi pembangunan suatu bangsa tersebut, justru saya sedang mengajak untuk memikirkan kembali keberhargaan sebuah kehidupan sebagai sebuah paradigma yang sangat berperan di dalam pembangunan sebagai suatu ukuran yang sah di dalam menilai suatu keberhasilan pembangunan.
***
Kutipan percakapan yang saya pakai di dalam judul tersebut muncul di dalam satu bagian Kotbah di Bukit di dalam Matius 6:24-33. Secara sederhana, bagian ini menyiratkan sebuah tantangan yang lebih bersifat rohaniah dibandingkan lahiriah, namun jikalau dikaji lebih dalam sebenarnya isi dari bagian ini memberikan implikasi terhadap apa yang terjadi di alam lahiriah.
Bagian pertama dari ayat ini merupakan sebuah tantangan untuk membandingkan, sejatinya siapakah yang saya sembah, yaitu “Allah” atau apakah yang saya sembah, yaitu “Mamon” (istilah yang sering dipakai Yesus untuk menggambarkan kekayaan).
Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon."