Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Kronologi Susno Duadji: Dari Buaya Jadi Narapidana

6 Mei 2013   10:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:02 11435 4
Mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal itu kini mendekam di penjara. Pangkatnya jenderal polisi bintang tiga. Prestasinya banyak, dosa-dosanya juga tak sedikit. Dosa-dosa inilah yang sekarang hendak dibayar lewat hukuman penjara. Entah bagaimana prestasi Susno diakui dan diapresiasi.

Polisi yang pernah jadi orang nomor satu dalam pemberantasan kriminal ini terlibat dua kasus kriminal korupsi: penanganan perkara PT Salmah Arowana Lestari (SAL) dan dana pengamanan Pilkada Jawa Barat 2008. Pengadilan memvonis dirinya dengan hukuman 3,5 tahun penjara, denda Rp 200 juta dan pengembalian kerugian negara Rp 4,2 miliar.

Berikut rekaman perjalanan dan kronologi lengkap kasus Susno Duadji yang saya sarikan dari pemberitaan media cetak dan online. Dimulai saat dia, sebagai Kabareskrim Mabes Polri, dengan santai berujar, "Cicak kok lawan buaya....". Dan berakhir saat dia menyerahkan diri yang diawali dengan negosiasi antara kuasa hukumnya dengan Jaksa Agung Basrief Arief.

7 April 2009: Kabareskrim Polri, Komjen Pol Drs Susno Duadji SH Msc mengirim surat ke Direksi Bank Century tentang hasil klarifikasi uang milik PT Lancar Sampoerna Bestari (perusahaan milik Boedi Sampoerna) di bank tersebut.

4 Mei 2009: Antasari Azhar ditahan di Polda Metro Jaya sebagai tersangka kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.

16 Mei 2009: Antasari membuat testimoni tentang penerimaan uang sebesar Rp 6,7 miliar oleh sejumlah pimpinan KPK dari balik penjara. Dia juga mengaku pernah menemui Anggoro di Singapura.

24 Juni 2009: Anggoro ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pengadaan alat Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan yang melibatkan Yusuf dan Direktur PT Masaro Anggoro Widjojo. Dia diduga menyuap Yusuf senilai 60.000 dollar Singapura dan Rp 75 juta untuk mendapatkan proyek pengadaaan alat SKRT tahun 2006-2007 di Departemen Kehutanan sebesar Rp 180 miliar.

30 Juni 2009: Susno merasa teleponnya disadap terkait kasus penggelapan dana bank Century yang ditangani Mabes Polri. Saat itulah meluncur pakem Cicak Lawan Buaya. “Masak cicak kok berani lawan buaya,” katanya merespon adanya penyadapan tersebut.

2 Juli 2009: Bibit Samad Rianto memastikan KPK hanya menyadap pihak yang terindikasi korupsi.

6 Juli 2009: Antasari secara resmi melaporkan dugaan suap terhadap pimpinan KPK terkait kasus yang melibatkan PT Masaro ke Polda Metro Jaya.

9 Juli 2009: KPK memasukkan Anggoro ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan mengumumkannya ke seluruh jajaran kepolisian dan kejaksaan di Indonesia. Anggoro masih berada di Singapura.

10 Juli 2009: Kabareskrim Susno Duadji menemui Anggoro di Singapura untuk mengklarifikasi kebenaran laporan mantan Ketua KPK Antasari Azhar terkait dugaan pemerasan/penyuapan yang dilakukan Chandra dan Bibit.

15 Juli 2009: Anggodo Widjojo (adik Anggoro) dan Ary Mulyadi membuat pengakuan dirinya menyerahkan uang suap sebesar Rp. 5,1 miliar ke pimpinan KPK Bibit dan Chandra.

21 Juli 2009: KPK temukan surat pencabutan pencekalan palsu terhadap Anggoro.

7 Agustus 2009: Polisi memperoleh fakta adanya tindak pidana penyalahgunaan wewenang oleh Bibit dan Chandra terkait pencekalan dan pencabutan cekal yang tidak dilakukan secara kolektif. Chandra cekal Anggoro, Bibit cekal Joko Tjandra, lalu Chandra cabut pencekalan terhadap Joko.

20 Agustus 2009: Ary Mulyadi mencabut pengakuannya dan menyatakan tidak pernah memberikan uang ke pimpinan KPK, tapi menyerahkannya ke pengusaha bernama Yulianto yang mengaku kenal dengan orang KPK. Pengakuan sebelumnya dibuat karena adanya pesanan dengan jaminan dirinya tidak akan ditahan.

3 September 2009: Polri memanggil keempat pimpinan KPK KPK (Chandra M Hamzah, Bibit Samad Rianto, M Jasin dan Haryono Umar) dan empat pejabat lainnya terkait testimoni Antasari. KPK tidak penuhi panggilan Polri.

9 September 2009: Bibit mengaku KPK sedang menyelidiki keterlibatan seorang petinggi Polri berinisial SD dalam kasus bank Century.

11 September 2009: Polisi mulai memeriksa keempat pimpinan KPK terkait dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pencekalan Anggoro Widjojo dan Joko Tjandra.

15 September 2009: Bibit dan Chandra ditingkatkan statusnya dari saksi menjadi tersangka dalam kasus penyalahgunaan wewenang.

21 September 2009: Presiden mengeluarkan Keppres pemberhentian sementara Bibit dan Chandra. Presiden juga meneken Perppu yang memungkinkan penunjukan langsung Plt Pimpinan KPK.

25 September 2009: Kuasa hukum KPK Bambang Widjajanto mengaku tidak menerima salinan BAP Bibit-Chandra dan curiga ada rekayasa dalam kasus ini.

2 Oktober 2009: Pengacara Bibit melaporkan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Kabareskrim Mabes Polri Susno Duadji ke Presiden SBY dan Kapolri Bambang Hendarso Danuri.

3 Oktober 2009: Berkas Bibit dan Chandra diserahkan ke Kejaksaan Agung.

5 Oktober 2009: Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum) Mabes Polri yang memeriksa Susno mengumumkan tidak ada penyalahgunaan wewenang terkait penanganan kasus Bibit-Chandra. Saat itu, tambahan delik pertemuan Susno-Anggoro di Singapura tidak disertakan dalam pemeriksaan.

9 Oktober 2009: Kejagung mengembalikan berkas Chandra ke Mabes Polri karena belum lengkap.

15 Oktober 2009: Pengacara Bibit-Chandra mengaku punya bukti kuat yang menunjukkan adanya rekayasa kriminalisasi terhadap kliennya.

20 Oktober 2009: Kejagung mengembalikan berkas Bibit dan Chandra ke Mabes Polri karena belum lengkap.

20 Oktober 2009: Polri menjelaskan pertemuan antara Susno dan Anggoro di Singapura tidak melanggar hukum. Pasalnya, status Anggoro di Kepolisian bukanlah tersangka, melainkan hanya sebagai saksi dalam kasus dugaan pemerasan/penyuapan yang dilakukan Bibit dan Chandra.

21 Oktober 2009: Bibit mengatakan bukti rekaman percakapan pejabat Polri dan Kejagung ada di tangan Ketua Sementara KPK.

22 Oktober 2009: Kapolri tolak berkomentar soal rekaman percakapan.

23 Oktober 2009: Transkrip rekaman rekayasa kriminalisasi KPK beredar di media massa. Isinya percakapan antara Anggodo (adik Anggoro) dengan mantan Jamintel Wisnu Subroto dan Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga. Percakapan pada Juli-Agustus 2009 itu disebut-sebut merancang kriminalisasi KPK. Nama petinggi kepolisian dan RI 1 juga disebut.

29 Oktober 2009: Dalam putusan selanya, MK menunda pemberhentian pimpinan KPK yang menjadi terdakwa sampai ada putusan akhir MK. Selain itu, MK juga meminta KPK menyerahkan semua dokumen berupa transkrip dan rekaman.

29 Oktober 2009: Bibit dan Chandra ditahan di Markas Komando Brimob Kelapa Dua Depok. Polisi menilai kedua tersangka melakukan tindakan mempersulit jalannya pemeriksaan dengan menggiring opini publik melalui pernyataan-pernyataan di media serta forum diskusi.

2 November 2009: Presiden SBY bentuk Tim Delapan (Tim Independen Klarifikasi Fakta dan Proses Hukum Kasus Bbibt dan Chandra) yang diketuai oleh Adnan Buyung Nasution. Anggota tim: mantan anggota Komnas HAM Koesparmono Irsan, staf khusus Presiden bidang hukum Denny Indrayana, mantan Dekan FHUI Hikmahanto Juwana, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Komaruddin Hidayat dan Ketua Departemen Hukum Partai Demokrat Amir Syamsudin.

2 November 2009: Kapolri meminta maaf atas munculnya istilah Cicak dan Buaya yang menurutnya dilontarkan oleh oknum polisi. Kapolri akan mengambil tindakan tegas atas munculnya istilah yang telah menyudutkan institusi kepolisian tersebut. Masyarakat diminta tidak lagi menggunakan istilah "Cicak dan Buaya".

3 November 2009: Penahanan Bibit-Chandra ditangguhkan. Keduanya keluar dari penjara pada dini hari. Beberapa jam kemudian, Mahkamah Konstitusi memperdengarkan rekaman sepanjang 4,5 jam dalam persidangan uji yang berisi percakapan antara Anggodo dengan sejumlah petinggi di Kejaksaan Agung dan Mabes Polri.

3 November 2009: Pada hari yang sama, Presiden SBY mengaku terganggu dengan maraknya penggunaan istilah cicak versus buaya. Sementara itu, Polri periksa Anggodo Widjojo terkait rekaman pembicaraannya dengan sejumlah petinggi Polri dan Kejagung.

4 November 2009: Tim Delapan bertemu dengan Kapolri di kantor Wantimpres dan merekomendasikan tiga hal, yaitu penangguhan penahanan Bibit dan Chandra, pembebastugasan Susno, dan penahanan Anggodo Widjojo. Sementara itu, Ary Muladi mendatangi kantor Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK); dan Anggodo Widjojo ternyata tidak ditahan dan diam-diam meninggalkan Bareskrim Polri pukul 21.25.

5 November 2009: Kabareskrim Polri Susno Duadji dan Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga mengundurkan diri dari jabatan.

24 Maret 2010: Susno ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik dan penghinaan Brigadir Jenderal Edmon Ilyas dan Brigadir Jenderal Raja Erizman. Sebelumnya, Susno memaparkan keterlibatan dua jenderal bintang satu itu dalam kasus misteri dana pajak Rp 25 miliar yang dimiliki mafia pajak Gayus Tambunan.

12 April 2010: Susno ditangkap Propam Mabes Polri di Bandara Terminal II D Soekarno-Hatta saat hendak berangkat ke Singapura untuk berobat. Dia dinilai bersalah karena pergi ke luar negeri tanpa izin pimpinan. Proses penangkapan disiarkan secara eksklusif oleh Metro TV.

10 Mei 2010: Susno jadi tersangka kasus penanganan perkara PT Salmah Arowana Lestari (SAL) senilai Rp 500 miliar, dan kasus dana pengamanan Pilkada Jabar 2008 senilai Rp 8 miliar.

29 September 2010: Susno menjalani sidang pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan dakwaan menerima suap untuk memperlancar kasus PT SAL, dan pemotongan serta pengamanan Pilgub Jabar.

24 Maret 2011: Pengadilan Negeri memvonis Susno dengan hukuman 3 tahun 6 bulan penjara, denda Rp 200 juta dan membayar kerugian negara sebesar Rp 4 miliar atau penjara 1 tahun. Susno mengajukan banding.

9 November 2011: Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan keputusan PN Jakarta Selatan dalam kasus korupsi dana pengamanan Pilkada Jawa Barat, dengan menambahkan jumlah kerugian negara yang harus dibayar menjadi Rp 4,2 miliar. Putusan ini tertuang dalam PT DKI No.35/PID/TPK/2011/PT.DKI a.n. Drs Susno Duadji SH MH MSc.

8 Desember 2011: Tim Kuasa Hukum Susno mendaftarkan kasasi kasus penggelapan dana pengamanan Pemilihan Umum Kepala Daerah Jawa Barat.

22 November 2012: Mahkamah Agung menolak kasasi Susno lewat putusan nomor 899K/Pid.Sus/2012.

6 Desember 2012: Susno mengatakan sangat menghormati putusan kasasi dan akan taat hukum. "Tidak usah khawatir saya akan lari. Pengacara saya sudah beri jaminan. Kami sudah hubungi eksekutor, Kejari Jaksel. Bahwa Susno Duadji siap setiap saat dan kalau bisa secepat mungkin dieksekusi, asal surat resminya sudah ada. Malam ini pun siap," tandasnya.

11 Februari 2013: Putusan kasasi diterima Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat yang langsung melayangkan surat panggilan eksekusi pertama ke terpidana Susno Duadji. Pada saat yang sama, Susno mengirimkan surat ke kejaksaan yang isinya: meminta petikan putusan kasasi dan siap dieksekusi

5 Maret 2013: Pengacara Susno, Fredrich Yunadi, menolak memenuhi panggilan eksekusi karena dalam putusan MA tidak ada perintah penahanan badan seperti diatur dalam pasal 197 ayat 1 huruf k KUHAP.

13 Maret 2013: Kejaksaan melayangkan surat panggilan kedua.

19 Maret 2013: Kejaksaan, untuk terakhir kalinya, melayangkan surat panggilan ketiga. Susno bergeming. Dia tetap menolak dipenjara.

10 April 2013: Video pernyataan Susno ditayangkan di YouTube. Dia mengawali testimoninya dengan menceritakan kasus-kasus besar yang dihadapi saat menjabat Kabareskrim (Bank Century, Gayus Tambunan, Antasari Azhar), dan memaparkan alasannya menolak dieksekusi kejaksaan.

24 April 2013: Tim kejaksaan mendatangi kediaman Susno di Bandung (Jalan Dago Pakar Nomor 6, Ciburial, Cimenyan) sekitar pukul 10.20 WIB. Susno dan jaksa sempat bersitegang karena Susno menolak dieksekusi. Kuasa hukum Susno, Fredrich Yunadi, dan Ketua Majelis Syuro Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra pun mendatangi kediaman Susno. Massa dari organisasi masyarakat juga memenuhi kediaman mantan Kapolda Jabar itu. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, Susno akhirnya dibawa ke Mapolda Jabar pada sore harinya.

29 April 2013: Kejaksaan Agung menetapkan Susno sebagai buronan, setelah sehari sebelumnya tidak menemukan Susno di dua rumahnya di Wijaya dan Cilandak (Jalan Wijaya X No 1, Jakarta Selatan; Jalan Abuserin No 2b Cilandak, Fatmawati, Jakarta Selatan).

30 April 2013: Pengacara Yusril Ihza Mahendra menayangkan artikel di Kompasiana berjudul "Mengapa Kejaksaan Tidak Konsisten?". Dia mengkritik kejaksaan yang membatalkan putusan PK Mahkamah Afung karena tidak karena tidak memenuhi ketentuan Pasal 197 ayat 1 huruf d KUHAP. "Kalau Putusan Tommy Suharto tidak mememuhi ketentuan Pasal 197 ayat (2) huruf d, sementara Putusan Susno tidak memenuhi ketentuan yang sama huruf k KUHAP, yang menurut PS 197 ayat 2 sama-sama batal demi hukum," tulisnya.

1 Mei 2013: Kabiro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Ridwan Mansyur menerangkan, penolakan kasasi oleh MA dapat dimaknai bahwa Kejaksaan harus melaksanakan Putusan Pengadilan Tinggi. Sementara mantan Ketua Mahkamah Agung Harifin Andi Tumpa menandaskan, tidak dicantumkannya Pasal 197 ayat 1 huruf (k) tidak membuat putusan cacat hukum karena pasal itu bersifat alternatif, artinya tidak mutlak dan sifatnya pesistis.

2 Mei 2013: Susno menyerahkan diri dan dijemput oleh tim kejaksaan yang ditunjuk Jaksa Agung Basrief Arief secara diam-diam (karena waktu itu Kejagung dan Polri masih memburunya sebagai buronan). Dia lalu dijebloskan ke LP Cibinong Klas II B, persis seperti permintaan yang disampaikan kuasa hukum keluarganya kepada Jaksa Agung, beberapa jam sebelumnya. Kuasa Hukum Susno mengatakan akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK).

3 Mei 2013: Presiden SBY angkat bicara. Dia meminta kasus Susno ditangani secara profesional dan proporsional sesuai dengan asas hukum yang berlaku. Sementara itu, Yusril Ihza Mahendra menilai langkah Susno menyerahkan diri untuk dieksekusi tidak menunjukkan dirinya bersalah. Dia menyerahkan diri karena berhadapan dengan kekuasaan dan pembentukan opini luar biasa yang menyalahkannya. Pada hari yang sama, KPU memastikan akan mencoret caleg dari Partai Bulan Bintang ini dari daftar caleg 2014.

Lantas, apakah lakon sang jenderal akan berakhir dengan penahanan? Tentu tidak, karena pihak Susno masih akan menempuh jalur hukum berikutnya: Peninjauan Kembali (PK).

Catatan:

Dalam sebuah wawancara eksklusif bersama KOMPAS.com dan KOMPAS TV, 6 Desember 2012, Susno Duadji menjelaskan kembali soal istilah Cicak dan Buaya: "Itu kan sudah berkali-berkali saya jelaskan bukan cicak versus buaya dalam statement resmi saya. Ada semacam pembelokan. Waktu itu memperbandingkan alat sadap. KPK baru beli alat sadap, Polri sudah punya alat sadap. Ditanya, sehebat apa alat sadap Polri dan KPK? Saya bilang, saya itu enggak tahu kekuatannya berapa. Tapi, kebetulan di akuarium (di ruang kerja Kabareskrim) itu ada cicak. Saya bilang kalau diumpamakan binatang kayak cicak dan buaya. Tapi akhirnya menjadilah polisi itu buaya, cicak itu KPK."

Kronologi lengkap lainnya:

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun