Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Marto Enggan Melepas Mikrofon

31 Maret 2021   12:18 Diperbarui: 31 Maret 2021   12:18 183 9
Aku dan teman-teman belum lama ini membuat forum di desa. Ya istilahnya ruang publik untuk ngomong apa saja.  Forum itu tiap malam Sabtu pekan pertama dan ketiga tiap bulannya.

Kami lesehan di depan balai desa. Forum ini forum cair. Maka tak heran banyak tawa, tapi kadang serius. Kami membuka kesempatan warga untuk curhat dan didengar oleh perangkat desa atau pemangku kepentingan di kecamatan.

Aku dan teman teman cuma punya tujuan agar kami bisa belajar mendengarkan, belajar bicara, belajar saling memahami. Tak ada tujuan politik kekuasaan.

Awalnya hanya 10 orang yang datang. Tapi belakangan, makin ramai. Bisa sampai ratusan orang dan meluber keluar dari kompleks balai desa.

Kami punya kesepakatan bahwa forum itu tak boleh memunculkan kekerasan fisik. Apapun alasannya, tak boleh ada kekerasan fisik. Jika sampai ada kekerasan fisik, walau dilakukan oleh orang yang benar, maka jadi urusan polisi.

Karena saking ramainya, banyak orang jualan di acara itu. Ada yang jual minuman, nasi, dan lainnya. Ekonomi bergerak.

Sudah empat bulan gelaran itu terjadi. Selama gelaran itu, Marto tak pernah ikut. Marto, adalah sosok di desa kami yang selalu ngeyel dan merasa pandai sendiri. Dia hanya mau tunduk jika diberi uang.

Marto adalah orang yang terus bilang bahwa forum yang kami buat tak ada manfaatnya. Tapi dia juga tak punya tawaran brilian. Memang kerjanya hanya protes saja.

Nah di pertemuan selanjutnya, Marto datang. Dia menjilat ludah sendiri. Setelah pemaparan dari kepolisian dan kejaksaan, Marto nyelonong ambil mikrofon.

"Desa ini tidak maju karena korupsi. Dari dulu sampai sekarang tak ada pembangunan. Tak ada perubahan," kata Marto berapi-api.

Pak Kades yang tak membawa pengeras suara, langsung memotong.

"Buktikan kalau ada korupsi. Tidak lihat juga kau, bagaimana jembatan sudah dibangun. Anak tak ada yang putus sekolah," sela Kades.

Tapi Marto laju saja seperti kereta. "Pak kades diam. Saya sedang bicara. Sebagai rakyat pemberi amanat, saya berhak bicara. Ini dekorasi," kata Marto yang langsung disela banyak orang.

"Demokrasi, To," kata Hasan lantang.

"Saya sudah mengamati sejak lama. Kondisi pemerintahan desa sudah parah. Kecamatan juga parah. Dari hasil ejakulasi saya," kata Marto lalu dipotong Muin.

"Bukan ejakulasi, tapi evaluasi To," kata Muin.

"Diem saja kamu In. Wajahmu saja sudah salah. Aku lanjutkan. Kita harus melakukan perubahan mendasar. Misalnya bagaimana anak-anak perlu diajari berdekorasi," kata Marto yang makin ngelantur. Dia tetap saja tak bisa bilang demokrasi.


Marto ngomong sudah setengah jam. Aku sudah berusaha menghentikan dan memberi ruang ke lainnya. Tapi Marto seperti lelaki yang sedang ereksi, tak bisa dibendung.

"Adalah hak warga negara berpendapat," kata Marto lantang.

"Forum ini juga tak efektif," kata Marto mengkritik forum kami. Orang ini memang tak tahu diri. Diberi ruang, malah ngelunjak. Tak paham sopan santun. Tapi Marto tak bisa dibendung.

Di berbusa busa ngomong sudah satu jam. Benar-benar tak mau berhenti. Dia ngomong muter muter soal pemerintahan dan korupsi.

Lama-kelamaan, orang malas dengar Marto yang bermonolog. Satu per satu orang pergi. Pergi dari forum dan memilih pulang. Aku lama-kelamaan juga males dengar Marto.

Aku dan teman teman pun memilih mundur teratur. Biarkan saja Marto terus bicara. Mungkin lama-kelamaan Marto jengkel juga karena satu per satu orang pulang.

Pendengar Marto tinggal satu, namanya Yitno. Yitno ini setali tiga uang dengan Marto. Begitu Marto merasa direndahkan karena orang pada pulang, Marto meletakkan mikrofon.

Begitu mikrofon diletakkan, Marto bergegas pulang. Yitno melihat kesempatan besar dengan mikrofon yang nganggur. Yatno langsung bicara.

"Omongan Marto aku lanjutkan," kata Yitno. Padahal sudah tak ada orang di situ. Tapi Yitno tetap saja berkoar. Dia bicara korupsi di lingkungan sekolah dasar.

Sampai Subuh Yitno bicara sendirian dengan mikrofonnya. Pagi tiba, Marto kembali ke balai desa. Dia ingin kembali memegang mikrofon. Ingin kembali bicara, siapa tahu di pagi hari sudah mulai banyak orang.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun