Mohon tunggu...
KOMENTAR
Hukum

Sanksi Pidana untuk Penolak Vaksin

13 Januari 2021   12:04 Diperbarui: 13 Januari 2021   12:10 447 6
Hari ini, Rabu tanggal 13 Januari penyuntikan vaksin untuk mencegah meluasnya virus covid-19, dimulai. Presiden RI Joko Widodo merupakan orang Indonesia pertama akan mendapat suntikan vaksin sebagai simbol dimulainya penyuntikan vaksin di Indonesia. Acara penyuntikan vaksin untuk Presiden Jokowi akan disiarkan secara "live" dan akan diliput oleh media massa. Sementara agar promosi vaksinasi menggugah dan mendapat atensi masyarakat, influencer/artis terkenal seperti Raffi Achmad dengan sadar dan rela juga ikut berpartisipasi sebagai kelompok orang pertama di Indonesia yang divaksin.

Kenapa ada vaksinasi ? Apa itu vaksin ? Dua pertanyaan standar ini sangat perlu untuk dipahami oleh masyarakat awam agar tidak terjadi kekeliruan berpikir dan kesalahan bertindak. Kata "vaksinasi" dan "vaksin" bukan perkataan sehari2 yang mudah untuk dipahami, malah sebetulnya kata2 dimaksud sebetulnya lebih banyak merupakan kata2 yang beredar di kalangan profesional laboratorium biologi. Agar tidak salah memahami sudah sewajarnya dicari pengertian "vaksinasi" dan "vaksin" secara hukum.

Pasal 1 angka Peraturan Menteri Kesehatan nomor 12 tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi (Permenkes no 12/2017, menyebutkan yang dimaksud vaksin adalah ;
"Produk biologi yang berisi antigen berupa mikroorganisme yang sudah mati atau masih hidup yang sudah dilemahkan, masih utuh atau bagiannya, berupa toksin mikro organisme yang telah diolah menjadi toksoid atau protein rekombinan, yang ditambahkan zat lainnya, yang diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu."

Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Kesehatan nomor 23 tahun 2018 tentang vaksinasi (Permenkes No 23/2018) menyebutkan bahwa ;
" Pemberian vaksin yang khusus diberikan dalam rangka menimbulkan atau meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga apabila suatu saat terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan dan tidak menjadi sumber penularan."

Dengan mengamati dan mempelajari pengertian yang dimaksud dalam 2 Permenkes diatas dapat kita simpulkan pengertian sederhana bahwa vaksin yang merupakan produk biologi yang telah dilemahkan berfungsi menciptakan kekebalan tubuh bagi manusia. Menyuntikkan vaksin kedalam tubuh (vaksinasi) selain akan menciptakan kekebalan tubuh bagi yang menerimanya juga menjadikan orang tersebut terbebas menjadi sumber penularan penyakit.

Saat ini dunia, termasuk Indonesia dilanda pandemi penyakit yang disebabkan virus yang dikenal dengan Corona Virus Desease 19 (covid-19). Penyakit ini sudah merupakan pandemi yang meluas di tengah umat manusia di dunia. Kemampuan penularannya di tengah masyarakat relatif cepat, mudah membuat penyebaran sukar untuk dikendalikan oleh dunia medis. Negara2 di dunia betul2 tidak berdaya dan banyak yang telah melakukan keadaan darurat untuk membatasi pergerakan warganya (terakhir Malaysia dan Jepang melakukan keadaan darurat).

Salah satu upaya yang masuk akal agar penyakit covid-19 terkendali dan mengurangi efek pandeminya adalah meningkatkan ketahanan tubuh masyarakat secara masif dalam waktu singkat.
 Untunglah beberapa ilmuwan biologi telah bekerja keras sehingga berhasil menemukan vaksin untuk penyakit covid-19. Sehingga upaya untuk menangkal penyebaran penyakit covid-19 dengan melakukan vaksinasi untuk tujuan meningkatkan ketahanan tubuh menjadi memungkinkan untuk dilakukan.

Melakukan vaksinasi adalah satu cara yang diyakini dapat melumpuhkan dan menghambat makin meluasnya covid-19, selain upaya melaksanakan protokol kesehatan.

Selama ini masyarakat telah mendapat informasi dan sosialisasi tentang protokol kesehatan mencegah covid-19. Agar lebih efektif sekarang saatnya dengan upaya tambahan dengan melakukan vaksinasi.

Isu Yang Beredar Ditengah Masyarakat.

Isu vaksin dan vaksinasi merupakan isu yang sexy menarik perhatian masyarakat. Keawaman masyarakat atas istilah2 medis yang sukar dimengerti menjadi pasar bagi pembuat hoaks memberikan penjelasan yang menyesatkan.

Mulai dari isu bahwa vaksinasi merupakan cara pemerintah untuk membantai rakyatnya secara massal (genoisida) sampai kepada isu bahwa pemerintah mendapat keuntungan dengan membeli vaksin.

Padahal selama ini pemakaian vaksin sejenis seperti menangitis (flu), vaksin polio, vaksin cacar dll, tidak ada masalah.
Dari isu kriminil yang mengerikan sampai kepada teori konspirasi perampokan besar2an atas harta kekayaan negara (untuk vaksin dan vaksinasi pemerintah mengeluarkan dana Rp 35,1 triliun).
Merk2 penghasil vaksin juga tidak terlepas dari gorengan para pembuat hoaks. Kebencian mendalam terhadap ras tertentu (kebencian rasial) merupakan dasar yang ideal untuk melempar hoaks kebencian dengan menyebarkan keburukan produk. Kalau menyangkut produk biasanya juga beredar hoaks2 yang berkaitan dengan persaingan dagang tidak sehat.

Padahal siapa saja yang merupakan produsen obat/vaksin pasti dan harus memenuhi persyaratan yang ketat dari otoritas Menteri Kesehatan dan Badan POM. Khusus untuk vaksin yang beredar secara Internasional juga harus memenuhi persyaratan WHO.

Namun semua persyaratan2 yang ketat dari lembaga yang mempunyai otoritas lokal maupun internasional sejak proses pembuatan vaksin tidak menyurutkan para penyebar hoaks di media sosial untuk menyesatkan masyarakat.
Bahkan kredibilitas (keterpercayaan) lembaga2 tersebut termasuk WHO diserang dengan teori2 konspirasi yang sangat diragukan kebenarannya. Tujuannya agar masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap lembaga2 yang selama ini mempunyai kredibilitas level dunia.

 Namanya teori konspirasi memang semua fakta yang dikemukakan sukar dibuktikan. Justru kalau bisa dibuktikan namanya bukan teori konspirasi lagi. Fakta2 teori konspirasi didasarkan kepada fakta2 di lorong gelap yang sumbernya anonim.
Agar serangan hoaks untuk menyesatkan efektif, dibuatlah testimoni2 baik testimoni korban vaksin atau testimoni oknum pakar yang profesional.

Sementara Pemerintah juga gencar melakukan edukasi tentang vaksin dan vaksinasi baik oleh lembaga resmi maupun melalui iklan2 di media massa.

Akibatnya masyarakat menjadi terbelah menjadi haters dan lovers tentang vaksin. Ada yang ekstrim percaya akan teori konspirasi dan banyak juga yang percaya kepada Pemerintah.

Sanksi Hukum Untuk Yang Menolak Vaksinasi.

Menurut Wakil Menteri Hukum dan Hak Azazi Manusia masyarakat yang menolak untuk divaksinasi dapat dijatuhkan sanksi hukum pidana paling lama 1 tahun penjara dan atau denda.

Dasar hukum Wamenhumkam menyatakan pendapatnya didasarkan kepada bahwa melakukan vaksinasi bukan merupakan hak tapi merupakan kewajiban. Perdapat ini didasarkan kepada Pasal 9 (1) Undang2 Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Kekarantinaan).

Oleh karena kewajiban mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan ikut serta dalam kekarantinaan kesehatan merupakan kewajiban warga negara maka secara mutatis mutandis  jika menolak akan dikenakan sanksi pidana.

Sedangkan dasar hukum sanksi pidana tercantum dalam Pasal 93 UU Kekarantinaan yang menyatakan; "Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantunaan kesehatan dan/atau menghalangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat bisa dipidana dengan penjara paling lama 1 tahun dan/atau denda maksimal Rp 100jt".

Berdasarkan rumusan pasal 93 UU Kekarantinaan, bukan saja setiap orang yang menolak vaksinasi dapat dipidana, juga orang2 yang menghalangi terjadinya vaksinasi juga dapat dijangkau dengan sanksi pidana.

Hal ini merupakan ancaman juga bagi orang2 yang membuat narasi hoaks dan membuat testimoni yang tujuannya mempengaruhi orang agar menolak vaksinasi dapat dianggap merupakan orang yang menghalangi vaksinasi. Orang yang menghalangi terjadinya vaksinasi diancam hukum pidana berdasarkan Pasal 93 UU Kekarantinaan.

Namun Wamenkumham belum akan memberlakukan UU Kekarantinaan dalam pelaksanaan vaksinasi. Wamenkumham secara bijak akan menggunakan instrumen UU Kekarantinaan dalam upaya terakhir. Wamenkumham menggunakan prinsip hukum pidana "ultimum remedium", yang akan melakukan upaya hukum terakhir apabila upaya lain tidak lagi efektif.

Sebagaimana kita ketahui sesuai standar WHO, vaksinasi akan efektif apabila 70 % penduduk telah mendapat vaksinasi.
Menurut Erick Tohir sebagai Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional setelah pertemuan dengan WHO target Indonesia untuk tahun ini akan mencapai 3 sampai 20 % penduduk Indonesia telah divaksinasi.

Apabila target tersebut tidak tercapai, kemungkinan besar Pemerintah akan menggunakan UU Kekarantinaan untuk memaksa masyarakat dengan ancaman sanksi pidana.

Khusus untuk penduduk DKI Jakarta berlaku bagi mereka sanksi pidana denda Rp5jt bagi yang menolak vaksinasi. Hal ini didasarkan kepada pasal 30 Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2 tahun 2020 yang menyatakan bahwa ;
" Setiap orang yang dengan sengaja menolak untuk dilakukan pengobatan dan/atau vaksinasi covid-19, dipidana dengan pidana denda paling banyak sebesar Rp5jt".

Selamat menerima vaksinasi bagi yang memenuhi syarat, sekaligus berpartisipasi dalam satu upaya melemahkan dan memutus rantai penyebaran virus covid-19, demi kelangsungan umat manusia di dunia.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun