Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Benih (02)

10 Oktober 2011   14:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:07 196 0
“Mas?” Sebuah suara lembut, yang lebih menyerupai bisikan, menegurnya. Si laki-laki terhenyak dari pikirannya.


“Ya?” katanya, sekonyong-konyong menoleh padamu yang berdiri di sebelahnya. Sekilas ada nada ge-er dalam suaranya.


Kau menoleh, menatap balik ke mata hitam si laki-laki yang jernih, ada pantulan wajahmu yang terbengong di sana. Kemudian menggeleng dengan tegas menyatakan bahwa bukan kau yang barusan memanggilnya. Sekarang giliran si laki-laki yang menampilkan ekspresi terkejut, alis matanya terangkat.


“Mas?” Kali ini bahu si laki-laki ditepuk pelan. Ternyata seorang gadis lain yang rambutnya dikuncir ekor kuda dan berdandan menor yang berdiri di samping kanannya yang memanggilnya.


“Oh—” si laki-laki merasa malu menyadari kekeliruannya dan berbalik ke sumber suara. “Maaf, Mbak, ada apa ya?”


“Saya mau ngasih tahu saja nih,” kata si gadis, setengah berbibisik. “Itu sarang burungnya dibiarin terbuka gak takut terbang apa?” Si gadis berseragam SPG itu terkikik.


“Sarang burung?” si laki-laki menampilkan raut tak mengerti, lalu mendadak ia menyadari sesuatu  menunduk kaget. “Ya ampun!”


Olala! Demi humor slapstick di TV! Ternyata ia lupa menutup resleting celananya saking terburu-buru takut terlambat tadi.


Seketika semua calon penumpang yang ada di halte terkikik geli melihat si laki-laki membungkuk dan membenarkan resleting celananya. Termasuk juga kau. Kau lah yang tertawa paling keras, sambil memalingkan wajah dan menutupi mulutmu dengan sebelah tanganmu. Meski begitu, itu tak serta merta menghentikan gelak tawamu. Si laki-laki merasa wajahnya bagai dilempari sebotol saus tomat.


“Ah, maaf…” katamu setelah berhasil menguasai dirimu. “Gak seharusnya saya menertawaimu seperti itu. Habis yang tadi itu sangat konyol kalau menurut saya!”


“Oh! Gak pa-pa kok,” jawab si laki-laki. “Hmm, tapi saya hanya heran kenapa resleting rok wanita kok ditaruh di belakang ya?”


“Maksudmu?”


“Tentu saja karena wanita gak harus kencing berdiri. Hahahaha!”


Kau memasang wajah sengit.


“Eh, gak lucu, ya? Ah, maafkan saya… saya hanya… saya hanya, kamu tahu, saya hanya berusaha untuk menutupi malu…”—menghela nafas panjang—“Oh, God!” Ia menutupi wajahnya yang memerah dengan sebelah tangannya, tersenyum kecut. “Oh ya, nama saya Randi!” Tiba-tiba ia memberanikan diri dan merasa inilah saatnya untuk mengulurkan tangan dan mengajakmu berkenalan.


Meski agak terkejut, tapi kau menyambut uluran tangannya dengan gembira. “Saya Dhira,” sahutmu. Kalian berjabatan tangan erat dan lama, seolah masing-masing memang telah lama menginginkan hal itu, dan saling menatap. Lama…


Bus yang kalian tunggu akhirnya datang. Kalian dan semua orang yang ada di halte itu menaikinya.


“Lucu ya, kita sudah sering bertemu di tempat itu tapi baru kali ini kita berkenalan.”


“Ya. Dan yang lucunya lagi, berkenalannya pun harus dimulai dengan insiden ‘sarang-burung-yang-terbuka’ itu. Hahahaha…”


Di atas bus yang berjalan, di bangku nomor dua dari deretan belakang kalian melanjutkan perbincangan kalian. Kalian berbicara tentang banyak hal; tentang pekerjaan masing-masing (tak diragukan lagi kantor kalian terletak di daerah perkantoran yang sama), tentang latar belakang singkat masing-masing, dan tentang-tentang yang lainnya… Yah, singkatnya kalian merasa saling cocok dan nyambung satu sama lain. Lalu berlanjut dengan saling menukar nomor handphone dan saling berjanji untuk bertemu lagi pada saat makan siang.


Benih-benih cinta di hati kalian kian tumbuh…


Beberapa hari setelahnya, di akhir pekan, lewat ajakan di obrolan telepon, kalian mulai berkencan. Dan banyak lagi kencan-kencan lainnya setelahnya.



Benih-benih cinta di hati kalian kian subur dan berkembang…
[bersambung...]

Benih (01)
Benih (03)

>>Baca dan berlangganan karya saya lainnya disini.
>>Kunjungi juga blog saya di http://sihirkata.blogspot.com.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun