Tiba-tiba gigil tubuhku menerka-nerka
Aku masih berlarian dibawah matahari kesana kemari
Berharap kau lihat cita-cita yang kubangun sudah berdiri
Lalu kita sama-sama mentertawakan waktu yang kemarin melindas banyak harapan
Pak, ketika satu persatu kelopak malam jatuh jadi abu
Seluruh remuk dendamku pun luruh seperti salju yang cair
Api kehidupan yang nyaris tinggal baramu saja yang tampak
Lalu aku merasa lebih dingin dari kemarin
Hanya getar doa di relung lautanku aku gelombangkan
Pak, ada yang tertulis di tiap kelopak malammu
Tentang aku, anak-anakmu dimasa lampau
Tentang kesempurnaan jalan berkarpet merah dengan durinya yang sungguh mawar
Sedianya aku yang senantiasa memalingkan muka karena enggan mengakui
Pak, bila saja luruhnya kelopak malammu bisa aku tali, hendak kutali
Meski tanganku cuma mampu dengan seutas doa
Mari hening pak, sama-sama kita simak langit berbicara
Mungkin esok masih ada waktu untuk kita saksikan atap yang kubangun untuk semua harap