Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Kiamat Kedua

4 Januari 2019   13:53 Diperbarui: 4 Januari 2019   14:06 102 10
Percakapan di halaman depan Masjid Nurul Ikhwan selepas Shalat Jum'at, 4 Januari 2019.

"Bro, tunggu!" gue setengah berlari nyamperin si Anu. Dia temen lama gue sejak pertama kali bermukim di kota kecil ini, kebetulan kita juga satu kampus. Tapi sudah hampir setahun gue gak ketemu dia, karena kerja di luar kota. di kota yang sedikit lebih besar.

"Eh apa kabar lo?" dengan ramah dia ngulurin tangannya.

"Baik," gue sambut tangannya dengan mesra.

"Gue liat temen-temen komunitas lo udah pada punya novel, bahkan ada yang udah punya lebih dari satu. Lo gimana?" satu pertanyaan langsung meluncur deras dari bibir tebalnya.

"Gue juga punya novel, ada satu lemari di rumah." jawab gue sekenanya.

Dia langsung menampakkan ekspresi gak suka. "Maksud gue, novel karya lo sendiri," sambungnya.

"Ooh, sabar ya, dua halaman lagi kelar."

"Ah perasaan dari 2013 lo ngomong gitu, dua halaman lagi tapi ampe sekarang belom juga beres."

"Susah, soalnya novelnya tentang kisah gue sama istri gue yang sekarang."

"Emang dulu lo pernah punya istri lain  selain yang sekarang?"

"Eh enggak, salah ngomong gue, maksudnya ya kisah gue ama istri gue dari pas pertama kenal, novel roman gitu."

"Ya terus apa susahnya? kan tinggal dua halaman terakhir, lo bikin aja happy ending, toh kan lo juga udah nikah."

"Justru itu gue gak mau bikin happy ending."

"Lah, terus lo maunya sad end? lo bikin aja lo nya meninggal." Sejurus kemudia senyum si Ane melebar. Tampak jelas gusinya yang mulai gelap karena terus dijejali nikotin.

"Gue maunya never ending" jawab gue sambil nyengir ala Yao Ming.

"Ah sue, itu mah ampe kiamat kedua juga gak bakal kelar."

"Yang gimana pula kiamat kedua itu?"

"Kan nanti pas kiamat semua makhluk hidup bakal binasa tuh, terus abis itu dibangkitin lagi kan, hidup lagi, nah terus kiamat lagi, itu kiamat kedua."

"Men, kita baca Al-Qur'an yang sama, kan? kok gue kayak gak pernah denger begituan deh."

"Astaghfirullah ..., ini bukan sendal gue."

Tiba-tiba si pemilik kumis tipis tanpa pemanis itu teriak histeris saat sadar sendal yang doi pake bukan miliknya.

"Itu sendal gue, ini sendal lo. Makanya tadi gue manggil lo, tapi lo keburu banyak nanya,"  jelas gue sambil ngasih liat sendal yang gue pake.

"Kok lo bisa tau itu sendal gue?"

"Kan ada namanya, Pe-a. Lagian ini sendal legend udah dari jaman kuliah lo nggak ganti-ganti."

Kali ini Si Anu yang senyum ala Yao Ming.
Sekedar Info, sendal milik Si Anu adalah sendal jepit merk Swalow warna putih dengan oranye. Di tengahnya ada huruf membentuk namanya yang dibuat menggunakan api rokok. Di warung Mama Sekar, samping rumah, harganya 15 ribu bisa ngutang. Sedangkan sendal gue adalah sendal gunung merk ardiles kw super gue dapet dengan harga 85 ribuan setalah 30 menit nawar. Warna hitam kombinasi merah. Jadi gimana bisa kaki Si Anu bisa salah masuk? nyasar ke sendal gue yang beda spesies? Sampai di sini pikiram gue udah mulai negatif. Jangan-jangan doi emang doyan nuker sendal di masjid? soalnya dulu gue juga pernah ilang sendal pas Sholat Ied.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun