Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Mengenang Cak Nur (Almarhum) – Jalan Hidup Seorang Visioner ( Bagian 2 )

1 Agustus 2012   04:52 Diperbarui: 5 Juli 2015   19:59 175 1
Di edisi tulisan sebelumnya, telah coba saya tuangkan sedikit kisah yang saya dapat dari buku Api Islam – Nurcholish Madjid, Jalan Hidup Seorang Visioner tulisan Ahmad Gaus AF.

Tentunya ini saya tulis semata-mata demi keinginan berbagi buat rekan-rekan yang belum sempat membacanya...:)

Di edisi lalu kita bisa sejenak menyimak masa kecil, dan masa perjuangan Nurcholish Madjid berjuang untuk bertahan di kota Metropolitan dimana tidak ada famili atau sanak saudara di sana. Sehingga ia terpaksa harus menumpang di tempat teman, kenalan, dan juga berpindah-pindah kost dengan kondisi cukup memprihatinkan.

Di masa itu, ternyata Jakarta telah menunjukkan kekejamannya. Namun dengan segala perjuangan yang teguh, membina hubungan silaturahim dengan banyak pihak, aktif berorganisasi, lambat laun, banyak kalangan mulai melihat potensi dan mengakui integritasnya, sebagai seorang pemuda yang patut diperhitungkan gagasan dan ide-idenya.

AM Fatwa yang pernah tinggal bersama Nurcholish mengatakan bahwa ia melihat sahabatnya itu gemar sekali membaca. Dimana pun berada, Nurcholis memanfaatkan waktu luangnya dengan membaca. Di kamar kost, di angkot, saat menunggu bus kota, hingga saat menunggu antrian di toilet pun Nurcholish mengisinya dengan membaca.

Pernikahan melalui Santri Connection

Menjelang berakhirnya masa kepemimpinan  Nurcholish di HMI berakhir tahun 1969, Nurcholish telah bertekad untuk menunaikan tugas hidupnya yang lain adalah : MENIKAH.

Saat itu, Nurcholish menginjak usia 30 tahun. Tiga tahun sebelumnya, ia telah meminta kepada gurunya di Gontor, Abudllah Mahfud untuk mencarikan teman hidup. Sang guru rupanya tinggal di rumah seorang aktivis Syarikat Islam dan pengusaha bioskop di Madiun, yang bernama H. Kasim. Nurcholish sendiri mengenal H. Kasim sebagai donatur PII, karena ia pun adalah aktivis PII.

”Ya nanti saya tanyakan pada H. Kasim, dia kan punya banyak anak perempuan”

demikian jawab sang guru menanggapi permintaan muridnya.

Pesan itu segera disampaikan ke H. Kasim yang langsung ditindaklanjuti dengan mengirimkan pasfoto seorang putrinya yang bernama Qomariyah kepada Nurcholish.

Tahun itu Nurcholish berkunjung ke Madiun untuk melihat gadis dalam foto itu. Qomariyah menyajikan air teh sebagaimana biasa bila ayahnya kedatangan tamu.

Ia sama sekali tidak mengetahui bahwa pria yang menjadi tamunya hari itu, sengaja datang untuk melihatnya.

Namun begitu melihat Qomariyah, Nurcholish menganggap gadis itu masih terlalu muda buatnya (17 tahun) sehingga ia mengatakan pada H. Kasim untuk menunda lamaran, dan akan berjuang dulu. H. Kasim menyetujuinya.

Qomariyah sendiri kemudian mengetahui bahwa tamu yang barusan pulang itu adalah calon suaminya. Spontan gadis yang masih duduk di kelas 2 SMA itu menangis sebagai tanda protes dan pemberotakannya.

”Ya sudah kalo tidak mau. Kalau dia bukan jodohmu dia tidak ke sini lagi, tapi kalau ia jodohmu, dia akan datang lagi menjemputmu. Kan Tuhan yang menentukan, bukan Bapak atau Ibu” demikian hibur sang ayah seraya menepuk-nepuk bahu putrinya.

2 tahun kemudian, Nurcholish mengirimkan surat pada Abdullah Mahmud untuk meminta bantuan melanjutkan proses lamaran yang dulu tertunda. Saat itu Qomariyah sudah kuliah di Fakultas Kedokteran - Universitas Islam Indonesia ( sekarang Universitas Sebelas Maret ). Ibunya yang mengantar surat itu ke Solo.

Hanya kamu yang bisa menjawabnya” ujar ibunya.

Air mata Qomariyah berlinang dan seraya bersujud di depan ibundanya, ia menjawab “Terima saja lamaran itu, Ibu

Ada 2 alasan kenapa Qomariyah memutuskan menerima lamaran pria yang belum dikenalnya itu. Pertama, ia ingin membahagiakan orang tuanya. Kedua, ia teringat mimpinya seminggu lalu,yang diyakini sebagai petunjuk Allah. Setelah shalat istikharah, ia bermimpi melihat bintang-bintang turun di atas kepalanya, dan ada satu bintang yang meluncur dengan cepatnya ke arah Barat.

Nurcholish segera menuju ke Solo setelah mendapat kepastian bahwa lamarannya diterima. Tapi ia lupa wajah gadis yang telah dilamarnya itu, sehingga ia minta bantuan temannya yang merupakan Ketua Umum HMI Solo, Miftah Faridh.

Miftah datang  ke asrama putri jam 6 pagi, untuk meminta Qomariyah datang ke kantor HMI pagi itu. Alasannya, ada titipan dari Madiun.

Tapi karena Qomariyah jam 07.00 pagi kuliah, maka disepakati bertemu di apotek Jl. Slamet Riyadi jam 09.00.

Saat Qomariyah tiba di apotek, ia melihat Miftah sudah menunggu bersama temannya. Namun karena ia hanya konsen pada kiriman orang tuanya dari Madiun sesuai info sebelumnya, ia acuh saja terhadap teman Miftah yang ternyata adalah Nurcholish.

Sewaktu teman Miftah membeli obat ke apotek, Qomariyah bertanya “Miftah, mana kirimannya?”

Lha itu, Mas Nurcholish!” jawab Miftah pelan sambil senyum-senyum.

Apa?” Qomariyah mengulangi pertanyaannya. “Itu, Mas Nurcholish Madjid! Kata Mas Nurcholish, situ sudah kenal?” jawab Miftah.

Qomariyah kaget bukan main “Ya Allah, jadi ini orang yang meminta saya beberapa hari yang lalu, dan sekarang sudah berada di hadapan saya?”

Tidak Miftah, baru pertama kali ini saya bertemu!” ujar Qomariyah.

Nurcholish dan Miftah mengajak Qomariyah jalan-jalan, tapi ia menolak dengan alasan jam 11 ada kuliah.

Hari ini tidak ada kuliah, tadi saya sudah telepon dosennya kok, dia kan teman saya” Nurcholish berujar dengan enteng.

Akhirnya mereka pun jalan-jalan bertiga...namun Miftah pulang duluan agar kedua sahabatnya itu dapat lebih mengenal tanpa tergangguJ

Di perjalanan di bus, Nurcholish memeri sebuah nama pada gadisnya sebagai tanda sayang. Ia mengeja nama Qomariyah di buku kecilnya kemudian mencoret-coret huruf dalam nama itu, dan tiba-tiba berkata :

Dik Qom, mau saya kasih nama?”

“Ah, yang betul saja. Memangnya kenapa?” Qomariyah heran

“Ya tidak apa-apa. Untuk tanda kasih sayang saya”

“Nama apa sih yang untuk tanda sayang itu?”

”Omi.” jawab Nurcholish

”Oh, bagus sekali!”

Nurcholish tersenyum gembira. Dan untuk menyederhanakan ejaan Q diganti K, dan H dihilangkan, sehingga nama lengkapnya menjadi Omi Komaria.

Sejak itu, nama itulah yang digunakan...:)

Singkat cerita, perjodohan melalui metode ”santri connection” itu mengantarkan Nurcholish – Omi ke jenjang pernikahan pada tanggal 30 Agustus 1969, di gedung bioskop milik H. Kasim.

Setelah pernikahan itu, Nurcholish melanjutkan hidup di Jakarta sendirian dan baru memboyong istrinya di usia kehamilan 5 bulan.

Mereka menempati rumah yang dipinjami oleh Hartono, seorang pengusaha yang juga tokoh PERSIS ( Persatuan Islam) di daerah Tebet hingga lahir anaknya Nadia ( 26 Mei 1970) dan Mikail ( 10 Agustus 1974).

Karena Nurcholish terpilih lagi sebagai Ketua HMI periode berikutnya, kesibukan sangat tinggi dengan berbagai tugas, Nurcholish tidak bekerja. Ia hanya menulis di berbagai media, yang honornya tidak cukup untuk kehidupan sehari-hari keluarganya.Untungnya ia masih mendapat bantuan beras dan kebutuhan pokok setiap bulan, sebagaimana yang diterima oleh para aktivis pergerakan yang dianggap bekerja untuk umat sehingga tak sempat mencari nafkah.

Rencana Transmigrasi

Kehidupan sehari-hari dengan penuh keserhanaan membuat Nurcholis dan Omi tidak terlalu risau masalah uang. Tapi saat Nadia, yang baru berusia 1 tahun sakit panas dan harus berobat, mereka tidak memiliki uang. Omi mengumpulkan botol bekas dan koran lalu dijualnya untuk berobat dan sisanya untuk membeli telor buat Nadia.

Peristiwa itu sungguh-sungguh menjadi pukulan bagi Nurcholish dan ia bertekad untuk memperbaiki hidup dengan mengajak keluarganya bertransmigrasi.

”Setelah usai tugas di HMI, kita ke Sumatera Ma, Papa di sana bisa bertani sambil mengajar” ujarnya pada sang istri. Saat itu Nurcholish sudah menjadi tokoh nasional.

Wajah dan pendapatnya selalu menghiasi media masa, karena pidatonya pada 2 Januari 1970 di acara Halal bi halal organisasi-organisasi Islam tentang pembaruan pemikiran Islam yang menggemparkan itu.

”Kita bertahan dulu, siapa tahu nanti keadaan membaik” demikian Omi menyampaikan ketidaksetujuan usul Nurcholish untuk bertransmigrasi.

Mereka tinggal di rumah pinjaman itu hingga 4 tahun, setelah anak keduanya lahir. Saat rumahi itu mau dipakai pemiliknya, mereka pindah ke rumah kontrakan di Tebet  dengan diberi pesangon oleh Hartono.

Di belakang hari, mereka menyesal memilih rumah kontrakan kecil itu, karena kondisinya ternyata lembab, sumpek sehingga Nadia dan Mikail sering jatuh sakit.

Saat koleganya Utomo Danajaya bertandang ke rumah itu, Utomo terperanjat melihat kondisi rumah ”Ya Allah, Cak...ente nggak pantes tinggal di sini. Mestinya orang seperti ente ini ada yang mikirin” ujarnya geram.

Perjalanan yang Menentukan

Amerika Serikat

Maret 1969, Nurcholish baru saja pulang dari menunaikan ibadah haji atas undangan pemerintah Arab Saudi. Jabatan sebagai Ketua Umum HMI akan berakhir di Mei 1969, artinya 2 bulan kemudian.

Maka ia mempergunakannya untuk mempersiapkan pidato pertanggungjawaban dan menulis naska Nilai-Nilai Dasar Perjuangan ( NDP) yang kelak menjadi pegangan ideologi HMI.

Naskah NDP adalah pengembangan dari risalah yang pernah ditulisnya di tahun 1965, berjudul Dasar-Dasar Islamisme. Perubahan itu dilakukan setelah ia pulang dari perjalanan berkeliling Amerika Serikat dan negara Timur tengah di tahun 1968. Kata Islamisme dianggap terlalu besar klaimnya, sehingga perlu disederhanakan dan disesuaikan dengan aktivitas mahasiswa. Maka dipilihlah kata ”Perjuangan” yang diakuinya terinspirasi oleh karya Sutan Sjahrir, ”Perjuangan Kita”.

Jadi NDP tersebut merupakan ringkasan dari hasil kunjungannya ke Amerika Serikat dan Timur Tengah.

Kunjungan ke Amerika Serikat itupun atas undangan pemerintah AS. Yang kelihatannya ingin menunjukkan kepada Nurcholish ”apa yang dia benci selama ini”. Yang dimaksud adlaah tulisan-tulisan Nurcholish yang kritis terhadap Barat.

Waktu kunjungan yang berdurasi 1,5 bulan itu digunakan Nurcholis menemui tokoh-tokoh penting, berdiskusi dengan kalangan kampus, dan mendatangi komunitas-komunitas religius.

Namun karena keinginan terbesarnya justru mengunjungi negara-negara Timur Tengah untuk memperdalam pengetahuannya tentang Islam, sehingga selama di Amerika ia menjalin hubungan cepat dengan orang-orang Timur Tengah. Ia mengatakan bahwa akan menemui mereka di sana dalam waktu dekat.

Di Washington, Nurcholish bertemu dengan tokoh-tokoh Islam seperti Hasan Turabi dari Sudan, dan Dr. Farid Mustofa dari Riyadh, Arab Saudi. Ia berkenalan juga dengan Totonji, seorang pemimpin mahasiswa Islam dari Arab Saudi yang kemudian membawanya ke Pensylvania State University. Di sini ia mengunjungi markas Moslem Student Association of North American and Canada (MSA) yang diketuai Muhammad Abduh Yamani, yang kelak menjadi Menteri Penerangan Arab Saudi.

Di MSA, Nurcholish juga berkenalan dengan dokter Jawad, seorang keturunan Irak yang bekerja di RS Istanbul, Turki.

Semua orang itu, kecuali Abduh Yamani, kelak ditemui Nurcholish di negerinya masing-masing.Subhanallah..

Dari situ Nurcholish menuju Oberlin College, sebuah perguruan tinggi tua ( didirikan tahun 1833) di Ohio, dan memiliki tradisi sebagai oposisi terhadap pemerintah. Ia juga bertemu orang-orang dari Student for Democratic Society (SDS), sebuah gerakan kiri radikal yang didirikan tahun 1959 untuk mengkritik kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang dianggap gagal menciptakan perdamaian dunia, khususnya keterlibatan Amerika dalam perang Vietnam 1957.

Nurcholish kemudian melanjutkan perjalanan ke Berkeley, dimana ia bertemu dengan Dorodjatun Kuntjoro Jakti, mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Depertemen Ilmu Politik, Universitas California, Berkeley.

Dorodjatun yang ketika itu bekerja di Voice of America ( VOA) mewancarai Nurcholish tentang Islam dan situasi politik mutakhir di Indonesia. Gambaran kader PSI mahasiswa Islam di Indonesia yang kolot rontok semua, dan berganti penuh kekaguman setelah itu.

Di California, Nurcholish juga berkunjung ke rumah John Ball, seorang penulis novel ternama yang karya-karyanya banyak diangkat di layar kaca.

Disinilah ia untuk pertama kali mencicipi buah zaitun yang bergizi tinggi. Dari Ball diketahui bahwa pohon zaitun bisa tumbuh ratusan tahun dan terus berbuah tanpa dipelihara. Di Yunani Kuno, mereka yang memiliki kebun zaitun adalah orang-orang kaya yang tak perlu harus bekerja. Mereka menghabiskan waktu untuk berfikir dan merenung. Tak mengherankan di Yunani Kuno lahir para filsuf ternama di dunia.

(Bersambung)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun