Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

The Great Traffic Jam

9 November 2014   20:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:14 35 0
Freeway-20 (F-20), Impala, Legacy.

Aku mengemudikan Ram 1500 milik Ayah dengan sangat hati-hati karena kondisi jalan yang bersalju. Ibu yang duduk di sampingku selalu memperingatkan untuk mengurangi kecepatan bila aku sudah melebihi kecepatan 50 km/jam. Sementara Dani, adikku yang mengidap autis, asyik memainkan game di ponselnya. Ia terlihat tak peduli dengan kondisi disekitarnya. Apalagi pemandangan jalan tol hanya berupa pohon-pohon berselimut salju dan padang rumput yang kini berwarna putih. Sangat membosankan menurutnya.

Kami dalam perjalanan menuju kota Sequoia yang berada di Axiom, sebuah propinsi yang terletak di sebelah utara Republik Ascender. Ini berarti kami harus menempuh jarak kurang-lebih 700 kilometer dari rumah kami yang berada di Cuore yang terletak di sebelah barat. Kami harus melewati lima propinsi untuk mencapai Axiom. Dan sekarang sudah empat propinsi kami lewati setelah tiga hari perjalanan.

Ini merupakan perjalanan terjauh yang kami lalui dengan mobil. Tujuan kami berkendara sejauh ini adalah untuk berlibur dansekalian menjemput Ayah yang sedang ditugaskan oleh kantornya di Sequoia.Apalagi di kota tersebut terdapat area permainan ski yang bagus dan pemandanganalam yang menakjubkan berupa bukit-bukit.

Situasi lalu-lintas jalan tol perlahan-lahan mulaipadat. Entah karena sebagian besar pengendara mengurangi kecepatan karenakondisi jalan yang semakin licin atau memang karena ada kemacetan.

Aku menghela napas panjang begitu melihat penunjukjalan yang bertuliskan ‘Verona: 100 km’. Verona adalah propinsi terakhir yangharus kami lewati sebelum mencapai Axiom. Benar-benar perjalanan panjang yang melelahkan, kataku dalam hati.

“Terjadi kecelakaan beruntun yang melibatkanseratus mobil di jalan tol F-20 arah Verona pada Kilometer lima ratus limapuluh,” penyiar radio memberitakan kondisi jalan terkini. “Sampai saat inimasih dalam penanganan petugas dan untuk sementara jalan ditutup sampai evakuasi dan jalan benar-benar bersih dari serpihan bekas tabrakan sehingga aman untuk dilintasi. Evakuasi agak terhambat karena hujan salju yang turun cukup deras dan angin bertiup kencang. Dan kemacetan akibat peristiwa ini sudah mencapai lima puluh kilometer,” lanjut sang penyiar radio.

“Bagi pengendara yang sudah terjebak di kemacetanini kami harapkan untuk bersabar. Sementara bagi Anda yang sedang berkendara dijalan tol F-20 arah Verona dengan tujuan kota- kota yang masih di area Legacy bisa mencari jaluralternatif untuk mengantisipasi kemacetan. Dan untuk pengendara dengan tujuanVerona diharapkan untuk bersabar. Demikian laporan lalu-lintas terkini,”penyiar radio mengakhiri laporannya.

“Apa? Lima puluh kilometer?” Ibu tak percaya dengan pemberitaan tersebut. Sementara aku hanya menghela napas panjang mendengarberita tersebut. Perjalanan akan bertambah panjang dan melelahkan saja. Aku danIbu juga harus bersiap menghadapi Dani yang selalu saja rewel jika terkena macet.

Karena kondisi lalu-lintas semakin macet, aku memutuskanuntuk berpindah jalur ke sebelah kanan yang berdekatan dengan jalur darurat.Tujuannya jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan aku bisa dengan cepatberpindah ke jalur darurat.

Memasuki Dark Forest, lalu-lintas benar-benar berhenti. Sudah lima belas menit tak ada perubahan apapun alias stuck.

Cuaca yang cerah perlahan-lahan menjadi gelap. Arak-arakan awan mendung terlihat berjalan dari arah utara. Kilatan petir terlihat beberapa kali diantara awan-awan hitam tersebut. Angin mulai bertiup agak kencang. Kondisi seperti ini membuatku sedikit takut. Ya, aku paling takut dengan yang namanya badai dan petir.

“Macet apa ini, Bu?” tanya Dani memecah kesunyian. Ibu memandang lembut ke arah Dani dan berkata, “Ada kecelakaan, Nak. Sabar,ya.”

“Kecelakaan apa, Bu? Dimana kecelakaannya?”

“Kecelakaan mobil. Ibu nggak tau dimana kecelakaannya, Nak.”

“Jam berapa lancarnya, Bu?”

“Wah, Ibu kurang tau, Nak. Kamu sabar, ya.”

“Yah. Kelamaan nih, Bu.”

Dani mulai tidak sabar dengan kemacetan ini. Ia mulai rewel. Ibu mengusap-usap kepalanya sambil terus berusaha menenangkanDani. Ibu memberikan tablet PC kepadanya agar ia tidak rewel lagi. Setelah ituia kembali tenang dan asyik memainkan game.

Empat jam berlalu dengan percuma. Posisi mobil kamidan pengendara lainnya tak mengalami perubahan apa-apa. Masih di posisi yangsama. Hal yang berbeda adalah awan mendung yang kini sudah menggelayut dansesekali disertai kilat dan suara petir. Tampaknya sebentar lagi akan turun salju, pikirku.

Selama empat jam ini aku tidak melakukan apa-apa. Aku pasrah dengan kondisi lalu-lintas seperti ini. Sementara Ibu mendengarkanradio dari ponselnya berusaha mencari tahu bagaimana perkembangan prosesevakuasi kecelakaan maut tersebut.

“Yah baterainya habis!” seru Dani tiba-tiba dengan suara keras sampai membuatku dan Ibu kaget.

“Kenapa sayang?” tanya Ibu dengan sabar.

“Baterainya habis, Bu.”

“Ya udah. Kamu main game di HP kamu aja, ya.”

“Jam berapa macetnya selesai, Bu?”

“Sabar ya, Nak.”

Ibu kembali mengusap-ngusap kepala Dani denganlembut. Tapi sepertinya kesabaran Dani sudah habis. Ia terus menanyakan kapan macet ini akan berakhir dengan nada kesal.

Dan ia benar-benar sudah kesal dengan kondisi ini sehingga ia memukul-mukul telinganya dengan telapak tangannya. Ia jugamemukul-mukul kedua kakinya dengan kedua tangannya sambil berteriak-teriak penuh emosi. Ibu berusaha menenangkan Dani dengan sabar.

Tapi keadaan semakin memburuk. Sekarang Dani memukul-mukul jok mobil dengan keras dan membenturkan kepalanya ke jendela beberapa kali sambil terus berteriak-teriak. Setelah itu ia mulai menggigit tangannya sendiri. Dengan sigap, aku dan Ibu langsung menarik tangannya.

“Kamu nggak boleh gitu!” Ibu memperingatkan Danidengan suara keras. “Nanti tangan kamu bisa berdarah!” lanjut Ibu. Dani tampaknya tidak peduli dengan perkataan Ibu. Ia masih berteriak-teriak dan berusaha menarik kedua tangannya dari genggamanku dan Ibu.

“Coba kamu ambil obat penenang di dalem tas merah,”pinta Ibu kepadaku.

Aku langsung keluar dari mobil dan menaiki bak mobil. Suhu udara yang dingin menusuk tak membuatku gentar. Aku mengacak-ngacak isi tas berwarna merah yang berisi pakaian. Aku sempat berpikir bagaimana Ibu bisa menaruh obat di dalam tas yang ditaruh di luar ruangan. Padahal semua obat harus ditaruh di dalam ruangan dengan suhu stabil.

Akhirnya aku menemukan obat yang Ibu maksud. Lalu aku buru-buru menutup tas dan melompat turun dari bak mobil.

Ibu masih memegangi kedua tangan Dani dengan sekuat tenaga. Sedangkan Dani terus mencoba memberontak. Ibu menyuruhku untuk menghancurkan obat yang berbentuk tablet itu dan mencampurnya dengan air putih. Tak membutuhkan waktu lama untuk melaksanakan perintah Ibu tersebut dengan benar.

Aku memberi tahu Ibu bahwa obat penenang sudah siap diminum. Mendengar hal tersebut, dengan perlahan Ibu melepaskan genggaman tangan kanannya dari Dani. Lalu Ibu mengambil obat penenang tersebut yang sudahaku taruh di atas sendok makan. Entah bagaimana caranya, Ibu berhasil memasukkan obat tersebut ke dalam mulut Dani.

Tak lama kemudian Dani tertidur dengan pulas. Dan suasana kembali tenang.

Jam menunjukkan pukul tiga sore. Belum ada tanda-tanda kemacetan ini akan berakhir. Aku dan Ibu benar-benar gelisah sekarang. Menurut pemberitaan di radio, kemacetan ini sudah mencapai delapan puluh tiga kilometer dan akan terus bertambah seiring dengan banyaknya mobilyang melewati jalan tol ini dalam rangka liburan akhir tahun.

Tiba-tiba saja terdengar suara klakson mobil yang dibunyikan berkali-kali. Aku dan Ibu mencari tahu dari mana asal suara klakson tersebut. Beberapa pengendara lain terlihat keluar dari mobilnya. Mereka juga berusaha mencari tahu dari mana suara klakson tersebut berasal.

“Bu. Aku keluar sebentar, ya,” izinku sambil mengancingkan jaket.

“Oke. Hati-hati, Nak,” jawab Ibu.

Setelah keluar dari mobil, aku baru menyadari kalau suara klakson tersebut berasal dari belakang. Para pengendara mobil yang keluar dari kendaraannya berjalan ke arah belakang. Aku mengikuti mereka dengan langkah perlahan.

Ternyata suara klakson itu berasal dari sebuah Honda CR-V berwarna hitam. Beberapa orang terlihat berdiri di sekitar SUV tersebut. Aku tak berani mendekat. Jadi aku hanya berdiri di samping mobil yang posisinya tepat berada di depan Honda tersebut.

Seorang pria yang mengenakan jaket berwarna biru mengetuk jendela mobil tersebut.

Pintu mobil terbuka. Pria yang tadi mengetuk kaca mobil mundur selangkah agar ia tak terkena pintu mobil. Tiba-tiba saja kepala pria tersebut ditodong sebuah pistol oleh pengemudi mobil tersebut. Aku dan semua orang di sekitar terlihat kaget melihat kejadian tersebut. Tak diketahui apa alasan pengemudi mobil tersebut melakukan hal yang mengerikan itu. Mungkin karena dia sudah tak tahan lagi dengan kemacetan super parah ini, pikirku.

Suasana mendadak sunyi dan mengerikan. Yang terdengar hanyalah suara tiupan angin dan mobil-mobil yang melaju dari arah berlawanan. Tak ada yang bersuara. Tak ada yang bergerak. Semuanya diammematung. Termasuk aku. Perasaan takut langsung menjalar ke seluruh tubuhku. Aku juga bisa merasakan bulu kudukku yang berdiri.

Akhirnya pengemudi mobil tersebut menampakkandirinya. Ternyata pengemudinya adalah seorang pria muda yang kira-kira berumur30 tahun. Sambil menutup pintu mobil, ia terus menodongkan pistolnya ke pria tadi dengan raut muka penuh amarah. Wajah pria yang mengenakan jaket biru tersebut tampak sangat ketakutan.

Tiba-tiba saja suara tembakan keluar dari pistolyang dipegang sang pengemudi Honda tersebut. Ia menembak kening pria dari jarak dekat tersebut hingga tak sadarkan diri. Setelah itu ia mengarahkan pistol ke orang-orang sekitar. Melihat hal tersebut aku dan yang lainnya berlari sekencang-kencangnya.

Saat berlari aku mendengar suara pistol yang ditembakkan berkali-kali. Aku juga dapat mendengar suara dari beberapa orang yang merintih akibat terkena tembakan. Aku tak mungkin menolong mereka. Hal yang harus aku lakukan sekarang adalah lari dengan cepat menuju mobil.

Tubuhku tiba-tiba didorong oleh seseorang dengan kuat sampai terjatuh. Butiran-butiran salju yang dingin langsung mengenai pipiku. Seseorang langsung menindih tubuhku sehingga aku tak bisa bangkit. Dan ternyata orang tersebut adalah pria penembak tersebut. Tubuhku langsung terasa lemas. Dengan mata melotot dan emosi yang bergejolak, ia menodongkan pistol kearah kepalaku. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa pasrah dengan keadaan ini. Ia mulai menarik pelatuk pistol dan siap menembakku.

Tapi itu tak pernah terjadi. Karena ada seorang pria paruh baya berpakaian layaknya cowboy yang menembak pria gila tersebut sebanyak dua kali hingga tewas. Pria cowboy tersebut membantuku untuk berdiri,lalu menanyakan apakah aku baik-baik saja, dan setelah itu menyuruhku untuk segera kembali ke mobil.

“Ada apa?” tanya Ibu dengan nada khawatir. “Tadi Ibu denger ada suara tembakan berkali-kali. Ada apa sebenernya?” tanya Ibulagi.

Aku menceritakan kepada Ibu yang terjadi. Tapi yangmasih menjadi misteri adalah penyebab pria gila tersebut menembakkan pistolnya berkali-kali ke orang lain dan bahkan hampir menembakku juga. Menurutku selainia frustasi karena kemacetan yang gila ini, mungkin ia menderita gangguan jiwa akut.

Satu jam kemudian polisi dan ambulans datang. Para korban peristiwa penembakan yang terluka dan tewas dievakuasi. Begitu jugadengan si pelaku yang sudah tak bernyawa. Aku menyaksikan proses evakuasi tersebut di tengah-tengah hujan salju yang lebat.

Setelah peristiwa yang mengerikan itu, sepuluh polisi ditugaskan untuk berjaga agar situasi kembali aman.

Pukul tujuh malam kemacetan belum juga terurai.Menurut berita yang aku dengar dari radio, proses evakuasi kecelakaan terhenti akibat hujan salju yang lebat.

Aku memilih mendengarkan musik untuk membunuh kebosanan. Sementara Ibu sibuk menyuapi roti lapis kepada Dani yang sudah bangun dari tidurnya dan sekarang tampak mulai bisa menerima keadaan macet seperti ini.

“Charlie. Tolong ambilin baju hangat Dani yang warnanya biru tua di dalem tas merah,” pinta Ibu sambil membereskan remah-remahroti lapis yang berceceran di jok. Dengan berat hati, aku mengambilkannya.

Suhu udara mencapai nol derajat langsung menyergapbegitu aku membuka pintu mobil. Dengan langkah cepat, aku kembali menaiki bakmobil yang kini sudah dipenuhi salju. Tas-tas perlengkapan juga kini sudahditutupi oleh butiran-butiran salju sehingga aku harus membersihkannya sebelummembuka tas. Karena pencahayaan yang kurang dan lupa membawa senter, membuataku agak kesulitan menemukan baju hangat milik Dani.

Setelah menggeledah hampir seluruh isi tas,akhirnya aku menemukan baju hangat tersebut. Pada saat aku membereskan isi tas,dari dalam hutan terdengar suara auman binatang. Apa itu suara harimau, tanyaku dalam hati. Aku terdiam sejenak untuk mendengarkan suara auman tersebut sekalilagi dan memastikan bahwa aku tidak sedang berhalusinasi. Dan suara menyeramkan tersebut terdengar lagi. Tapi kali ini terdengar lebih dekat dari sebelumnya!Aku memandang ke arah hutan yang sangat gelap. Tak terlihat apa-apa.

Tapi tiba-tiba terlihat beberapa pasang mataberwarna hijau dari hutan. Mata-mata tersebut sepertinya mengawasiku. Aku takbisa memastikan binatang apa itu. Tapi kemungkinan besar itu adalah binatangbuas yang sedang kelaparan di tengah musim dingin ini.

Aku buru-buru membereskan tas dan masuk ke dalammobil. Raut wajahku yang terlihat gelisah membuat Ibu bertanya, “Ada apa, Nak?”

“Liat ke dalem hutan, Bu,” jawabku gugup. Ibu melihat ke arah hutan dari tempat duduknya. Ibu mengernyitkan dahi dan berkata,“Nggak ada apa-apa. Emang tadi kamu liat apa?”

Belum sempat aku menjawab pertanyaan Ibu, tiba-tiba saja muncul seekor harimau yang langsung menaiki kap mesin mobil. Aku, Dani,dan Ibu kaget setengah mati. Harimau tersebut berdiri dan mengaum di depan kami. Lalu harimau tersebut memandang kami lekat-lekat. Memandang dengan raut wajah yang menyeramkan. Aku juga bisa melihat air liurnya menetes dari mulutnya yang dipenuhi gigi runcing.

Lebih parahnya lagi, harimau yang keluar dari hutan tak hanya satu ekor saja, tapi beberapa ekor dengan jumlah cukup banyak. Sepertinya mereka semua adalah satu koloni, pikirku. Sebagian besar harimau berdiri disamping mobilku dan memandang dengan tatapan mengancam. Beberapa ekor lainnya terlihat berdiri di samping mobil lainnya. Ada harimau yang juga berjalan ke arah jalur tengah dan menaiki atap sebuah sedan.

Situasi sangat mencengkam. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Tak ada benda ataupun senjata yang bisa aku gunakan untuk mengusir harimau yang ada di atas kap mesin mobil. Salah satu harimau terlihat mulai memecahkan kaca jendela mobil yang berada di depan dan merusak body mobil. Harimau tersebut mencoba untuk menerkam orang yang ada di dalam mobil tersebut.

Kami hanya bisa diam melihat kejadian tersebut. Rasa takut menyelimuti tubuhku melihat ini semua. Dan ini bertambah buruk ketika seekor harimau lainnya melompat ke atap sampai-sampai mobil kami berguncanghebat. Ibu melihat ke atas dengan penuh kengerian. Sedangkan Dani mulai menangis ketakutan. Ibu langsung membekap mulut Dani agar ia tak mengeluarkan suara yang bisa menarik perhatian harimau-harimau ini. Suara-suara jeritan dan teriakan minta tolong terdengar dimana-mana. Para polisi yang berjaga di sekitar tak terlihat. Sepertinya mereka bersembunyi di dalam mobil patroli.

Dari dalam mobil aku dapat melihat dua ekor harimau berhasil menerkam dua orang. Kedua orang yang malang tersebut sepertinya sudahtak bernyawa lagi. Harima-harimau tersebut langsung membawa mangsanya tersebutke jalur darurat. Harimau-harimau lain tak mau ketinggalan ikut memakan keduaorang tersebut.

Suara tembakan berkali-kali terdengar dari berbagaipenjuru. Aku, Dani, dan Ibu buru-buru menundukkan kepala menghindari adanya peluru nyasar. Aku mengintip dari balik jendela mobil dan melihat beberapa polisi menembak kawanan harimau yang sedang asyik menyantap makan malam.

Beberapa harimau terjatuh. Sementara harimau-harimau yang tak tertembak, berlari kembali ke hutan yang sangat gelapmeninggalkan mangsanya tergeletak di jalan.

Ambulans, polisi, dan beberapa pawang harimaudidatangkan ke lokasi kejadian. Mayat kedua orang yang menjadi mangsa harimau segera dibawa ke rumah sakit. Sedangkan harimau-harimau yang mati diangkut dengan truk. Aku tak tahu akan dibawa kemana hewan-hewan karnivora tersebut.

“Bagi Anda yang terjebak macet di jalan tol F-20,diharapkan untuk berhati-hati,” penyiar radio memperingatkan. “Karena berdasarkan pantauan Badan Cuaca Nasional, terdapat sistem badai salju yang sedang mengarah ke sana. Dan ini bukanlah badai biasa karena pada mata badai terdapat udara sangat dingin yang mampu membekukan apa saja secara instan. Oleh karena itu, pemerintah akan mengevakuasi seluruh pengendara yang terjebak dijalan tol F-20 arah Verona. Pemerintah mengerahkan sejumlah helikopter tentarayang sedang dalam perjalanan. Untuk sementara Anda dihimbau untuk tetap beradadi dalam mobil sampai ada personil tentara yang meminta Anda untuk keluar darimobil. Terima kasih.”

“Badai? Oh, tidak,” keluh Ibu sambil menyandarkan kepalanya ke kursi. “Situasi bertambah buruk.”

“Lebih baik Ibu hubungi Ayah lagi dan kasih tau kalo kita akan bener-bener terlambat sampai di Sequoia,” usulku sambil memberikan ponsel kepada Ibu.

Ibu sedang berbicara dengan Ayah melalui telepon saat seorang tentara mengetuk jendela mobil dan menyuruh kami untuk keluar darimobil dengan suara lantang.

Kami bergegas keluar dari mobil. Dani langsungmenggenggam tangan Ibu begitu keluar dari mobil. Kami mulai berjalanmeninggalkan mobil. Tak ada barang yang kami bawa, selain dompet dan Kartu Identitas Diri.

Suhu udara yang kini mencapai minus lima derajat tak menghalangi kami dan yang lain untuk keluar dari mobil untuk dievakuasi ketempat yang lebih aman. Para tentara terlihat berdiri di jalur darurat tanpa membawa senjata. Beberapa tentara lain membantu wanita hamil dan orang lanjut usia untuk berjalan di tengah-tengah salju yang licin.

“Kita mau kemana, Bu?” tanya Dani sambil melihatIbu.

“Kita mau naik helikopter, Nak,” jawab Ibu sambil tersenyum simpul.

“Naik helikopter? Terus kita kemana, Bu?”

“Ke tempat yang enak, Nak. Kan tadi Dani rewel gara-gara macet. Jadi, sekarang Dani diangkut naik helikopter supaya nggak nangis lagi.”

“Wah, asyik banget. Nanti di tempat yang enak itu kita ketemu Ayah juga nggak, Bu?”

“Pasti. Ayah udah nunggu di sana, Nak.”

Percakapan antara Dani dan Ibu sedikit menghibur ditengah-tengah situasi yang buruk ini. Para pengungsi berjalan menuju padangrumput sesuai dengan arahan personil tentara.

Angin yang berhembus semakin kencang dan hujan salju yang lebat membuat kami sulit untuk berjalan. Dani dan Ibu berpeganganerat pada bahuku agar tidak terpeleset.

Untung saja padang rumput yang dituju tidak terlalujauh dari mobil kami jadi tak perlu berjuang terlalu keras untuk sampai disini. Sudah banyak orang yang berkumpul dan antri untuk masuk ke dalam helikopter.Aku tak tahu berapa jumlah helikopter yang ada. Yang jelas jumlahnya sangat banyak.

Angin bertiup semakin kencang membuatbutiran-butiran salju berterbangan. Orang-orang berusaha untuk tetap berdiridengan susah payah. Aku melihat beberapa orang terjatuh akibat angin kencang ini. Sementara aku, Dani, dan Ibu berpegangan erat pada papan penunjuk jalanyang juga sudah bergoyang-goyang. Antrian orang yang ingin menaiki helikopter menjadi kacau. Tak ada lagi yang berbaris rapih. Semuanya berebut masuk ke dalam helikopter. Para personil tentara mencoba untuk menarikorang-orang yang menyerobot antrian. Tapi percuma saja, semua orang ingin cepat-cepat naik dan pergi dari sini karena badai yang semakin mendekat.

Helikopter pertama berhasil mengudara dengan mulus tanpa ada gangguan. Tak lama kemudian helikopter kedua menyusul. Tapi sayang,tiba-tiba saja helikopter kedua tersebut berubah warna menjadi putih, lalu mesin dan baling-baling mati. Helikopter tersebut membeku dan jatuh ke tanahdengan kencangnya.

Orang-orang yang berada di sekitar lapangan berlarian menuju jalan tol menghindari helikopter naas tersebut.

“Ayo, kita lari. Balik ke mobil!” perintahku dengan suara keras kepada Dani dan Ibu.

Aku berlari lebih dulu. Sementara Dani dan Ibu menyusul di belakang sambil bergandengan. Pada saat berlari aku mendengar suara aneh, seperti suara jalan yang retak akibat gempa besar. Tapi ini bukan gempa, kataku dalam hati.

Aku sempat melihat ke belakang dan melihatmobil-mobil yang membeku secara cepat. Tak hanya itu saja aku juga menyaksikan beberapa orang yang terjatuh dan langsung membeku tanpa sempat berdiri kembalidan tanpa adanya suara jeritan minta tolong yang keluar dari mulut mereka.Mengerikan. Aku menambah kecepatan lari sambil terus berkonsentrasi agar tidak terpeleset.

“Lebih cepet larinya!” seruku kepada Dani dan Ibu. Mereka berdua terus berlari dengan raut muka penuh ketakutan.

Ram 1500 milik Ayah sudah terlihat. Aku tak tahu apakah bersembunyi di dalam mobil adalah langkah yang tepat untuk menghindari udara beku tersebut. Tapi aku tak mungkin berlari lebih jauh lagi. Apalagi Dani tak kuat berlari dengan jarak yang sangat jauh.

Aku segera mengunci pintu begitu kami bertiga sudahdi dalam mobil. Mesin mobil dan pemanas tak bisa dinyalakan karena suhu udarayang terlampau dingin. Tak ada lagi yang bisa dilakukan. Udara luar yang sangatdingin mulai masuk ke mobil melalui sela-sela pintu. Kami bertiga berpelukan dengan erat sambil memejamkan mata. Dani mulai menangis dengan terisak. Suara-suara retakan yang membekukan terdengar semakin dekat dan keras.

Aku tak berani membuka mata ketika suara retakantersebut sudah mencapai mobilku. Terdengar sangat mengerikan bagiku. Belum lagi suara angin badai yang menyeramkan membuatku semakin takut. Dan akhirnya aku tak sadarkan diri.

Kesadaranku pulih begitu saja. Aku tak tahu apakahaku pingsan atau hanya tertidur karena kelelahan. Di sampingku Dani dan Ibu terpejam. Semoga saja mereka masih hidup, kataku dalam hati. Aku goyang-goyangkan tubuh mereka. Dan syukurlah mereka sadar.

Sepertinya badai salju sudah selesai, pikirku. Akumembuka pintu mobil dengan susah payah karena terhalang oleh tumpukan salju. Disamping mobilku tergeletak seseorang yang meninggal karena udara beku semalam.

Ternyata masih ada beberapa orang yang selamat.Mereka semua juga bersembunyi di dalam mobil menghindari udara beku.

Tak lama kemudian polisi, tim medis, tentara, dan lainnya datang untuk mengevakuasi.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun