Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Cerpen: Payung Biru Benhur

21 Juni 2016   23:52 Diperbarui: 22 Juni 2016   06:03 30 8
Pukul 13.05 . Hujan gemericik sejak tengah hari.
Pelataran SMP 1001 Cikijing basah kuyup. Hawa dingin lumayan menusuk. Tiris air yang terbawa air sesekali menerpa wajah Novi. Gadis itu mengelapnya dengan telapak tangannya. Sepatu yang dipakainya telah setengah basah. Beberapa temannya telah berlari menerabas hujan. Ia sendiri tak berani berlaku seperti teman-teman lainnya. Seminggu lagi ia baru sembuh dari sakit demam. Jika memaksakan pulang berhujan-hujanan mungkin sakitnya akan datang lagi.
Sesekali Novi mengencangkan sweaternya untuk melawan rasa dingin.
“Vi!” ada suara di belakangnya. Novi menoleh. Dilihatnya Yuda, anak kelas sebelah.
“Oh Yuda, ada apa?”
“Belum pulang?”
“Belum.”
“Rupanya kamu menunggu hujan reda dari kemarin ya?”
“Kata siapa?”
“Emh enggaaak.. bercanda. Maksudnya jam segini kemarin kamu juga nunggu hujan. Di sini. Sweaternya yang ini juga. Bersandarnya juga di tiang ini.”
“Aaah kamu Da, sok perhatian. Memang kamu ngeliat?”
“Ya kamu merasa gitu nggak?”
“Iya sih.”
“Naah bener kan!”
“Emang kamu ngeliatin dari mana?”
“Dari kelasku ... tuh... sonooo!”
“Sama siapa?”
“Sendirian.”
“Ah! Kamu aneh Yud, padahal ngapain saja di kelas. Gelap tahu! Hujan kaya kemarin gelapnya minta ampun.”
“Viiii.....”
“Apa.”
“Aku kemarin ke kebun belakang, berhujan-hujanan.”
“Kok curhat?! Ngapain ke sono?”
“Aku ambil daun pisang.”
“Mau buat lontong?”
“Enggaaaak lah! Buat payung! Tadinya mau aku kasihkan ke Novi .... tapi nggak jadi!”
“Buat aku?”
“Iya.”
“Daun pisang itu?”
“Iya.”
“Kenapa?”
“Kasihan lihat kamu nggak bisa pulang kemarin.”
“Oooo..... “
“Oaiya sudah ya Yud.. aku pulang dulu!”
Novi berkata sambil berlari menerabas hujan. Yuda kaget.
“Viiii.... berhenti dulu!” Yuda berteriak.
“Apa?” tanya Novi sambil menoleh. Kepalanya ditutupi dengan tasnya. Wajahnya basah.
“Sini! Hujan! Ayoooo... sini!” kata Yuda keras.
Perlahan Novi kembali ke teras. Ia mengibas-ngibaskan sweaternya yang basah.
“Kenapa?”
“Jangan hujan-hujanan, nanti kamu sakit ...... “
“Oooh.... sudah gak apa-apa.”
“Sehat ya! Tiga hari yang lalu kamu sakit kan?”
“Tahu dari mana?”
“Dari mana saja. Vi... kayaknya sekolah ini sepi kalau kamu nggak masuk.”
“Iiiihhh .... memangnya aku radio apa?”
“Hehee.... bukan begitu Vi, masa ..... anak kaya gini ... dibilang radio!”
“Kayak gini kayak apa sih?”
“Mmmmm sudahlah Vi... eh, Vi kamu lihat sekeliling ada orang ngeliatin kita nggak?”
“Kenapa?”
“Sssst lihat saja....” Yuda memberi kode malarang. Novi menurut.
“Kayaknya nggak ada.”
Beberapa sekon pula Yuda melihat sekeliling. Ketika dirasa tak orang lain yang memperhatikan, ia mengambil sesuatu dari tasnya.
“Pakailah Vi...” kata Yuda sambil tersenyum.
“Payung?”
“Iya pakailah, hujan begini ngericik, kamu bisa sakit tanpa payung. Pakailah, terminal lumayan jauh dari sini.”
“Tapi .....”
“Pakailah ... aku sedih kalau kamu sakit....”
“Kamu?”
“Aku anak laki-laki ....”
Tak bisa menolak dan memang butuh, akhirnya Novi menerima payung dari Yuda. Yuda tersenyum tertahan. Ia melihat Novi membuka payung dengan tersenyum. Novi melirik ke arah Yuda yang tersenyum. Dada Novi berdesir.
Menerabas hujan kini bukan hal yang menakutkan. Payung biru benhur kini meneduhi dirinya dari rintik hujan. Gadis itu bergegas. Ia merasa bahwa Yuda terus mengamati dirinya. Benar apa yang diduga Novi, Yuda mengamati dirinya terus hingga ia berjalan melewati gerbang sekolah menuju terminal Cikijing.
Turun dari angkot hujan masih lumayan deras. Novi turun kemudian menyusuri jalan menuju rumahnya. Sekitar sepuluh menit ia telah sampai di teras. Ia kibaskan beberapa kali payung pinjaman Yuda. Setelah air yang menempel berkurang, ia letakkan payung yang masih terbuka di teras. Namun mata gadis itu kaget. Ia melihat ada tulisan di payung itu. Namanya. “Novi”. Ia terhenyak. Ia kaget melihat di payung itu tertulis nama dirinya.
Bibirya dikatubkan. Kepalanya menggeleng perlahan. Yuda.... gumamnya. Wajah pemuda kecil itu berkelebat. Senyum yang tadi sempat ia lihat, seolah datang kembali. Dihelanya nafas dalam. Namun tak serta merta hatinya tenang. Yuda, mengapa kau tulis namaku di sini. Apa yang kau bayangkan ketika kau menulis namaku di payung itu?
Malam itu Novi gelisah. Tak ada satupun kegiatan yang bisa menenangkan hatinya. Beruntung orang tuanya tak ada yang tahu tentang payung itu. Ia telah menyimpannya rapi. Ia ingat pesan orang tuanya, bahwa ia tak boleh berpacaran dulu. SMP masih terlalu kecil. Ia maklum akan pesan orang tuanya. Namun kejadian yang dimulai dari Yuda, membuatnya ia takut untuk datang ke sekolah. Akhirnya ia memutuskan untuk berpura-pura sakit.
Selang sehari.
Mendekati gerbang sekolah, langkah Novi tertahan. Ia ragu untuk masuk ke pelataran sekolah. Kakinya terasa berat.
“Noviii.....” ada suara pelan di belakangnya. Justru suara pelan membuat dirinya kaget.
“Aaa.... aku...aaa... ss... siapa?” tanya Novi sambil menoleh. Gadis itu kaget. Yuda.
“Aku Yuda.”
“Oohh.... kaget aku... haduuh....”
“Maafin ngagetin Vi. Vii... kenapa kemarin nggak masuk? Sakit? Hujan-hujan siiih!”
“Yud, ini payungmu aku kembalikan!” kata Novi sambil merogoh tas kemudian menyorongkan payung yang telah terlipat rapi.
“Apa-apaan? Enggaaak!” kata Yuda menyembunyikan tangannya ke belakang.
“Yuda! Ini payungmu!”
“Payungmu!”
“Aku nangis Yuda!”
“Nangislah Viii... itu payungmu. Dari Yuda, untuk kenang-kenangan!”
Usai berkata demikian Yuda berlari mendahului Novi. Gadis itu benar-benar kesal. Matanya berkaca-kaca. Ia ingin menangis, tetapi ia takut jika teman lainnya tahu tentu ia akan menjadi bahan ledekan. Novi menahan diri. Payung itu ia masukkan kembali ke dalam tas.
Saat itu keduanya di kelas VIII.
Dulu suasana agak mendingan, namun semenjak Yuda memberikan payung untuk Novi, justru , malah tak ada kontak. Tak ada tegur sapa. Kadang-kadang hanya dari kejauhan Novi melihat Yuda mengamati dirinya. Jika sudah demikian, ia memilih untuk jalan cepat atau lari menghindar. Kadang ia sempatkan melirik ke arah Yuda, ia sering melihat Yuda nyengir melihat dirinya terbirit-birit.
Hari itu hari kenaikan kelas.
Entah mengapa tiba-tiba Novi merasa kangen dengan Yuda. Sejak setengah tahun kejadian ia diberi payung, tak ada rasa itu. Serasa banyak cerita yang ingin ia sampaikan ke Yuda. Termasuk ketika dirinya masih di tiga besar peringkat di kelas. Ingin rasanya ia menyampaikan kabar itu kepada Yuda, dan yang ia harapkan tentu pujian dari Yuda.
Ketika keinginannya menjadi semacam doa, ia mendadak berdesir ketika tiba-tiba dari kejauhan melihat Yuda berjalan ke arah dirinya. Wajahnya ia rasakan berubah warna. Salah tingkah.
“Hai Noviiii! Menunggu aku ya?!”
“Iiih ngapain juga!”
“Kamu teh angger bae, galak! Eh Vi, aku gagal masuk tiga besar. Usahaku padahal sudah maksimal, tapi yaaaa.... mau bagaimana lagi.....”
“Haduuh yang sabar ya Yud ... walaupun tidak tiga besar tapi nilainya bagus kan? “
“Lumayan sih, rata-rata di atas delapan puluh empat.”
“Wauw ... itu bagus! Syukurlah!”
“Kamu gimana Vi? Masih bertahan?”
“Alhamdulillah masih Yud. Emm gini Yud, walaupun kita nggak satu kelas, bagaimana kalau mulai kelas IX kita buat kelompok belajar.” Entah mendapat keberanian dari mana tiba=tiba Novi menawarkan ide.
“Ya mau laaah, anggota kelompoknya Yuda dan Novi, hanya berdua kan?” tanya Yuda sambil tertawa lepas. Novi cemberut.
“Norak ah! Noraaak! Sebel!”
“Ahahaa! Pemarah banget kamu Viiii.....”
“Habisnya kamu siiiih... nggak bisa serius.”
“Hah? Nggak serius? Itu aku ngajak berdua itu serius lho!”
“Yudaaaaaa!!!” tanpa sadar Novi mencubit keras lengan Yuda.
“Aaassshhh..... sakiiiit! Ampuuun!” yang dicubit meringis menyeringai.
Buru-buru Novi menarik jarinya. Ia tampak menyesal telah mencubit Yuda. Sama sekali di luar kendali.
“Maaf Yudaaa.... nggak sengaja.”
“Salam dulu!” kata Yuda sambil mengulurkan tangan.
“Nggak mau!”
“Salam dulu .... ntar kamu menyesal .... ayooo.... terima salamku!”
Dengan perlahan Novi menerima uluran tangan Yuda. Dada Novi bergetar ketika ia menyalami Yuda. Seumur hidup ia baru merasakan getaran aneh ketika bersalaman dengan orang lain.
“Novi .... dengan berat hati, rupanya ajakan Novi untuk membentuk kelompok belajar tak bisa aku penuhi.”
“Kenapa?”
“Lihat Vi, di depan gerbang ayahku menunggu .....” kata Yuda sambil menunjuk ayahnya yang duduk di belakang setir mobil. Novi mengikuti dengan pandangan.
“Kenapa ayahmu?”
“Kelas IX aku tidak di sini lagi Vi .... ayah pindah dinas ke Pangandaran. Aku harus ikut ayah...”
“Yudaaa..... Yuda.... kau mau pindah sekolah?”
“Yah...” jawab Yuda hampir tak terdengar.
“Yud.”
“Aku berat ninggalin sekolah ini Vi .... tapi bagaimana lagi.....”
“Yuda...”
“Aku titip payung itu Novi ... simpan ya....”
“Iii... iya Yud..”
“Novi sahabatku .....” kata Yuda sambil mengulurkan telapak tangan.
Tak ada kata kedua meminta lagi. Tangan Novi menerima uluran tangan Yuda. Kerongkongan Novi serasa tersekat. Beberapa sekon keduanya bersalaman. Yuda berbalik badan berlari kecil menuju mobil ayahnya. Novi hanya bisa tertegun melihat kepergian Yuda.
***
Kelas XI SMA.
Bagi Novi, dan remaja sebayanya masa-masa seusia itu biasanya setiap hari teman-temannya selalu heboh tentang hubungannya dengan lawan jenis. Bahkan sejak di kelas X banyak teman-teman yang nyambung putus nyambung putus. Novi heran. Mengapa semudah itu? Lalu apa sesungguhnya yang dilakukan teman-temannya? Pacaran? Seremonial? Status? Atau istilah apalagi yang tepat.
Selepas SMP tak hampir tak ada bayangan apapun dalam pikiran Novi tentang anak laki-laki spesial. Juga tak ada rasa apapun dalam hati gadis itu. Ia juga heran. Namun memang ia akui, sesekali dirinya ingat Yuda. Ingat Yuda pasti ingat payung. Kadang ketika di kamar sendirian, dan orang tua tidak ada, gadis itu membuka payung. Ia baca tulisan nama dirinya yang ada di situ. Ia membayangkan Yuda menulis nama dirinya.
Kadang pula sebelum tidur ia merenung, membayangkan apa yang dipikirkan Yuda ketika menulis namanya. Sukakah Yuda padanya? Tak pernah ada kata-kata spesial yang ia dengan selama di SMP dulu. Namun ia terngiang kata terakhir Yuda, “Novi sahabatku .....”.
Hayooo! Melamun!
Novi terhenyak. Lamunannya buyar. Bayangan Yuda hilang seketika. Ia kaget ketika Desi, adik Okto menyapanya mendadak. Ia menggelengkan kepalanya untuk menenangkan diri. Melihat Novi menggelengkan kepala, Desi terkekeh sambil masih tetap duduk di sepedanya. Kakinya bertelekan benteng pinggir halaman.
“Kak Novi melamun ya?” tanya Desi.
“Enggak.”
“Bohong ah! Kemarin Kak Novi nonton pertandingan volli di lapangan.”
“Iya sih!”
“Kenapa nontonnya sendirian?”
“Eh, siapa? Enak saja. Banyakan Des!”
“Halah.... jangan ngeles Kak .... niiih lihat!”
Tak diduga oleh Novi, Desi menyorongkan kamera pocket memperlihatkan rekaman video.
“Apaan ini Des?”
“Kan video Kak Novi waktu nonton Kak Okto main. Naaah... lihat, kak Novi kan nontonnya sendirian di belakang, di bawah pohon. Tapi lihat .... lihat .....”
“Apa sih? Haduuuh Deeees .... kamu nakal nyolong-nyolong ngrekam aku ya?”
“Habisnya Kak Novinya lucu sih ..... lihat... niiih pas Kak Okto nyemes dan masuk .... gimana Kak Novi?”
“Ya ampuuuun ..... aku jingkrak-jingkrak gitu?”
“Ya itulah yang lucu dari Kak Novi!”
“Kamunya nakal Des!”
“Yey! Nggak laah .... kemarin juga Kak Okto sudah nonton video ini.”
“Hah?”
“Iya .... si kakak jadi tahu kalau Kak Novi ngefans sama Kak Okto!”
“Aduuuhh ..... Des.... please deh! Jangan ngaco kamu!”
“Kak, aku sengaja lewat sini .... sambil nitipin sesuatu untuk Kak Novi.... “ kata Desi sambil mulai mengayuh sepedanya.
“Apa?”
“Daaahhh..... Kak Noviiiii..... ada titipan salam dari Kak Oktoooo.....!”
Novi kaget. Gadis itu tertegun. Ia ingin berteriak, tetapi urung. Desi telah meninggalkannya sendirian. Novi hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia maklum, Desi hanya bercanda dengan merekamnya tingkahnya dengan kamera. Namun yang bikin malu memang ketika ia berjingkrak-jingkrak. Memalukan, memalukan.... gumamnya seraya masuk rumah.
Di kamar ia membuka laci bupet. Ia mencari sesuatu. Beberapa saat kemudian ia mendapatkan gambar yang sudah beberapa lama ia simpan. Justin Bieber!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun