Mohon tunggu...
Didik Sedyadi
Didik Sedyadi Mohon Tunggu... Administrasi - Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Suka berdiskusi tentang matematika bersama anak-anak SMAN 1 Majalengka. Hobby menulis. Tinggal di Majalengka Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Payung Biru Benhur

21 Juni 2016   23:52 Diperbarui: 22 Juni 2016   06:03 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dakwatuna.com modif - foto dok. Novi

Pukul 13.05 . Hujan gemericik sejak tengah hari.
Pelataran SMP 1001 Cikijing basah kuyup. Hawa dingin lumayan menusuk. Tiris air yang terbawa air sesekali menerpa wajah Novi. Gadis itu mengelapnya dengan telapak tangannya. Sepatu yang dipakainya telah setengah basah. Beberapa temannya telah berlari menerabas hujan. Ia sendiri tak berani berlaku seperti teman-teman lainnya. Seminggu lagi ia baru sembuh dari sakit demam. Jika memaksakan pulang berhujan-hujanan mungkin sakitnya akan datang lagi.
Sesekali Novi mengencangkan sweaternya untuk melawan rasa dingin.
“Vi!” ada suara di belakangnya. Novi menoleh. Dilihatnya Yuda, anak kelas sebelah.
“Oh Yuda, ada apa?”
“Belum pulang?”
“Belum.”
“Rupanya kamu menunggu hujan reda dari kemarin ya?”
“Kata siapa?”
“Emh enggaaak.. bercanda. Maksudnya jam segini kemarin kamu juga nunggu hujan. Di sini. Sweaternya yang ini juga. Bersandarnya juga di tiang ini.”
“Aaah kamu Da, sok perhatian. Memang kamu ngeliat?”
“Ya kamu merasa gitu nggak?”
“Iya sih.”
“Naah bener kan!”
“Emang kamu ngeliatin dari mana?”
“Dari kelasku ... tuh... sonooo!”
“Sama siapa?”
“Sendirian.”
“Ah! Kamu aneh Yud, padahal ngapain saja di kelas. Gelap tahu! Hujan kaya kemarin gelapnya minta ampun.”
“Viiii.....”
“Apa.”
“Aku kemarin ke kebun belakang, berhujan-hujanan.”
“Kok curhat?! Ngapain ke sono?”
“Aku ambil daun pisang.”
“Mau buat lontong?”
“Enggaaaak lah! Buat payung! Tadinya mau aku kasihkan ke Novi .... tapi nggak jadi!”
“Buat aku?”
“Iya.”
“Daun pisang itu?”
“Iya.”
“Kenapa?”
“Kasihan lihat kamu nggak bisa pulang kemarin.”
“Oooo..... “
“Oaiya sudah ya Yud.. aku pulang dulu!”
Novi berkata sambil berlari menerabas hujan. Yuda kaget.
“Viiii.... berhenti dulu!” Yuda berteriak.
“Apa?” tanya Novi sambil menoleh. Kepalanya ditutupi dengan tasnya. Wajahnya basah.
“Sini! Hujan! Ayoooo... sini!” kata Yuda keras.
Perlahan Novi kembali ke teras. Ia mengibas-ngibaskan sweaternya yang basah.
“Kenapa?”
“Jangan hujan-hujanan, nanti kamu sakit ...... “
“Oooh.... sudah gak apa-apa.”
“Sehat ya! Tiga hari yang lalu kamu sakit kan?”
“Tahu dari mana?”
“Dari mana saja. Vi... kayaknya sekolah ini sepi kalau kamu nggak masuk.”
“Iiiihhh .... memangnya aku radio apa?”
“Hehee.... bukan begitu Vi, masa ..... anak kaya gini ... dibilang radio!”
“Kayak gini kayak apa sih?”
“Mmmmm sudahlah Vi... eh, Vi kamu lihat sekeliling ada orang ngeliatin kita nggak?”
“Kenapa?”
“Sssst lihat saja....” Yuda memberi kode malarang. Novi menurut.
“Kayaknya nggak ada.”
Beberapa sekon pula Yuda melihat sekeliling. Ketika dirasa tak orang lain yang memperhatikan, ia mengambil sesuatu dari tasnya.
“Pakailah Vi...” kata Yuda sambil tersenyum.
“Payung?”
“Iya pakailah, hujan begini ngericik, kamu bisa sakit tanpa payung. Pakailah, terminal lumayan jauh dari sini.”
“Tapi .....”
“Pakailah ... aku sedih kalau kamu sakit....”
“Kamu?”
“Aku anak laki-laki ....”
Tak bisa menolak dan memang butuh, akhirnya Novi menerima payung dari Yuda. Yuda tersenyum tertahan. Ia melihat Novi membuka payung dengan tersenyum. Novi melirik ke arah Yuda yang tersenyum. Dada Novi berdesir.
Menerabas hujan kini bukan hal yang menakutkan. Payung biru benhur kini meneduhi dirinya dari rintik hujan. Gadis itu bergegas. Ia merasa bahwa Yuda terus mengamati dirinya. Benar apa yang diduga Novi, Yuda mengamati dirinya terus hingga ia berjalan melewati gerbang sekolah menuju terminal Cikijing.
Turun dari angkot hujan masih lumayan deras. Novi turun kemudian menyusuri jalan menuju rumahnya. Sekitar sepuluh menit ia telah sampai di teras. Ia kibaskan beberapa kali payung pinjaman Yuda. Setelah air yang menempel berkurang, ia letakkan payung yang masih terbuka di teras. Namun mata gadis itu kaget. Ia melihat ada tulisan di payung itu. Namanya. “Novi”. Ia terhenyak. Ia kaget melihat di payung itu tertulis nama dirinya.
Bibirya dikatubkan. Kepalanya menggeleng perlahan. Yuda.... gumamnya. Wajah pemuda kecil itu berkelebat. Senyum yang tadi sempat ia lihat, seolah datang kembali. Dihelanya nafas dalam. Namun tak serta merta hatinya tenang. Yuda, mengapa kau tulis namaku di sini. Apa yang kau bayangkan ketika kau menulis namaku di payung itu?
Malam itu Novi gelisah. Tak ada satupun kegiatan yang bisa menenangkan hatinya. Beruntung orang tuanya tak ada yang tahu tentang payung itu. Ia telah menyimpannya rapi. Ia ingat pesan orang tuanya, bahwa ia tak boleh berpacaran dulu. SMP masih terlalu kecil. Ia maklum akan pesan orang tuanya. Namun kejadian yang dimulai dari Yuda, membuatnya ia takut untuk datang ke sekolah. Akhirnya ia memutuskan untuk berpura-pura sakit.
Selang sehari.
Mendekati gerbang sekolah, langkah Novi tertahan. Ia ragu untuk masuk ke pelataran sekolah. Kakinya terasa berat.
“Noviii.....” ada suara pelan di belakangnya. Justru suara pelan membuat dirinya kaget.
“Aaa.... aku...aaa... ss... siapa?” tanya Novi sambil menoleh. Gadis itu kaget. Yuda.
“Aku Yuda.”
“Oohh.... kaget aku... haduuh....”
“Maafin ngagetin Vi. Vii... kenapa kemarin nggak masuk? Sakit? Hujan-hujan siiih!”
“Yud, ini payungmu aku kembalikan!” kata Novi sambil merogoh tas kemudian menyorongkan payung yang telah terlipat rapi.
“Apa-apaan? Enggaaak!” kata Yuda menyembunyikan tangannya ke belakang.
“Yuda! Ini payungmu!”
“Payungmu!”
“Aku nangis Yuda!”
“Nangislah Viii... itu payungmu. Dari Yuda, untuk kenang-kenangan!”
Usai berkata demikian Yuda berlari mendahului Novi. Gadis itu benar-benar kesal. Matanya berkaca-kaca. Ia ingin menangis, tetapi ia takut jika teman lainnya tahu tentu ia akan menjadi bahan ledekan. Novi menahan diri. Payung itu ia masukkan kembali ke dalam tas.
Saat itu keduanya di kelas VIII.
Dulu suasana agak mendingan, namun semenjak Yuda memberikan payung untuk Novi, justru , malah tak ada kontak. Tak ada tegur sapa. Kadang-kadang hanya dari kejauhan Novi melihat Yuda mengamati dirinya. Jika sudah demikian, ia memilih untuk jalan cepat atau lari menghindar. Kadang ia sempatkan melirik ke arah Yuda, ia sering melihat Yuda nyengir melihat dirinya terbirit-birit.
Hari itu hari kenaikan kelas.
Entah mengapa tiba-tiba Novi merasa kangen dengan Yuda. Sejak setengah tahun kejadian ia diberi payung, tak ada rasa itu. Serasa banyak cerita yang ingin ia sampaikan ke Yuda. Termasuk ketika dirinya masih di tiga besar peringkat di kelas. Ingin rasanya ia menyampaikan kabar itu kepada Yuda, dan yang ia harapkan tentu pujian dari Yuda.
Ketika keinginannya menjadi semacam doa, ia mendadak berdesir ketika tiba-tiba dari kejauhan melihat Yuda berjalan ke arah dirinya. Wajahnya ia rasakan berubah warna. Salah tingkah.
“Hai Noviiii! Menunggu aku ya?!”
“Iiih ngapain juga!”
“Kamu teh angger bae, galak! Eh Vi, aku gagal masuk tiga besar. Usahaku padahal sudah maksimal, tapi yaaaa.... mau bagaimana lagi.....”
“Haduuh yang sabar ya Yud ... walaupun tidak tiga besar tapi nilainya bagus kan? “
“Lumayan sih, rata-rata di atas delapan puluh empat.”
“Wauw ... itu bagus! Syukurlah!”
“Kamu gimana Vi? Masih bertahan?”
“Alhamdulillah masih Yud. Emm gini Yud, walaupun kita nggak satu kelas, bagaimana kalau mulai kelas IX kita buat kelompok belajar.” Entah mendapat keberanian dari mana tiba=tiba Novi menawarkan ide.
“Ya mau laaah, anggota kelompoknya Yuda dan Novi, hanya berdua kan?” tanya Yuda sambil tertawa lepas. Novi cemberut.
“Norak ah! Noraaak! Sebel!”
“Ahahaa! Pemarah banget kamu Viiii.....”
“Habisnya kamu siiiih... nggak bisa serius.”
“Hah? Nggak serius? Itu aku ngajak berdua itu serius lho!”
“Yudaaaaaa!!!” tanpa sadar Novi mencubit keras lengan Yuda.
“Aaassshhh..... sakiiiit! Ampuuun!” yang dicubit meringis menyeringai.
Buru-buru Novi menarik jarinya. Ia tampak menyesal telah mencubit Yuda. Sama sekali di luar kendali.
“Maaf Yudaaa.... nggak sengaja.”
“Salam dulu!” kata Yuda sambil mengulurkan tangan.
“Nggak mau!”
“Salam dulu .... ntar kamu menyesal .... ayooo.... terima salamku!”
Dengan perlahan Novi menerima uluran tangan Yuda. Dada Novi bergetar ketika ia menyalami Yuda. Seumur hidup ia baru merasakan getaran aneh ketika bersalaman dengan orang lain.
“Novi .... dengan berat hati, rupanya ajakan Novi untuk membentuk kelompok belajar tak bisa aku penuhi.”
“Kenapa?”
“Lihat Vi, di depan gerbang ayahku menunggu .....” kata Yuda sambil menunjuk ayahnya yang duduk di belakang setir mobil. Novi mengikuti dengan pandangan.
“Kenapa ayahmu?”
“Kelas IX aku tidak di sini lagi Vi .... ayah pindah dinas ke Pangandaran. Aku harus ikut ayah...”
“Yudaaa..... Yuda.... kau mau pindah sekolah?”
“Yah...” jawab Yuda hampir tak terdengar.
“Yud.”
“Aku berat ninggalin sekolah ini Vi .... tapi bagaimana lagi.....”
“Yuda...”
“Aku titip payung itu Novi ... simpan ya....”
“Iii... iya Yud..”
“Novi sahabatku .....” kata Yuda sambil mengulurkan telapak tangan.
Tak ada kata kedua meminta lagi. Tangan Novi menerima uluran tangan Yuda. Kerongkongan Novi serasa tersekat. Beberapa sekon keduanya bersalaman. Yuda berbalik badan berlari kecil menuju mobil ayahnya. Novi hanya bisa tertegun melihat kepergian Yuda.
***
Kelas XI SMA.
Bagi Novi, dan remaja sebayanya masa-masa seusia itu biasanya setiap hari teman-temannya selalu heboh tentang hubungannya dengan lawan jenis. Bahkan sejak di kelas X banyak teman-teman yang nyambung putus nyambung putus. Novi heran. Mengapa semudah itu? Lalu apa sesungguhnya yang dilakukan teman-temannya? Pacaran? Seremonial? Status? Atau istilah apalagi yang tepat.
Selepas SMP tak hampir tak ada bayangan apapun dalam pikiran Novi tentang anak laki-laki spesial. Juga tak ada rasa apapun dalam hati gadis itu. Ia juga heran. Namun memang ia akui, sesekali dirinya ingat Yuda. Ingat Yuda pasti ingat payung. Kadang ketika di kamar sendirian, dan orang tua tidak ada, gadis itu membuka payung. Ia baca tulisan nama dirinya yang ada di situ. Ia membayangkan Yuda menulis nama dirinya.
Kadang pula sebelum tidur ia merenung, membayangkan apa yang dipikirkan Yuda ketika menulis namanya. Sukakah Yuda padanya? Tak pernah ada kata-kata spesial yang ia dengan selama di SMP dulu. Namun ia terngiang kata terakhir Yuda, “Novi sahabatku .....”.
Hayooo! Melamun!
Novi terhenyak. Lamunannya buyar. Bayangan Yuda hilang seketika. Ia kaget ketika Desi, adik Okto menyapanya mendadak. Ia menggelengkan kepalanya untuk menenangkan diri. Melihat Novi menggelengkan kepala, Desi terkekeh sambil masih tetap duduk di sepedanya. Kakinya bertelekan benteng pinggir halaman.
“Kak Novi melamun ya?” tanya Desi.
“Enggak.”
“Bohong ah! Kemarin Kak Novi nonton pertandingan volli di lapangan.”
“Iya sih!”
“Kenapa nontonnya sendirian?”
“Eh, siapa? Enak saja. Banyakan Des!”
“Halah.... jangan ngeles Kak .... niiih lihat!”
Tak diduga oleh Novi, Desi menyorongkan kamera pocket memperlihatkan rekaman video.
“Apaan ini Des?”
“Kan video Kak Novi waktu nonton Kak Okto main. Naaah... lihat, kak Novi kan nontonnya sendirian di belakang, di bawah pohon. Tapi lihat .... lihat .....”
“Apa sih? Haduuuh Deeees .... kamu nakal nyolong-nyolong ngrekam aku ya?”
“Habisnya Kak Novinya lucu sih ..... lihat... niiih pas Kak Okto nyemes dan masuk .... gimana Kak Novi?”
“Ya ampuuuun ..... aku jingkrak-jingkrak gitu?”
“Ya itulah yang lucu dari Kak Novi!”
“Kamunya nakal Des!”
“Yey! Nggak laah .... kemarin juga Kak Okto sudah nonton video ini.”
“Hah?”
“Iya .... si kakak jadi tahu kalau Kak Novi ngefans sama Kak Okto!”
“Aduuuhh ..... Des.... please deh! Jangan ngaco kamu!”
“Kak, aku sengaja lewat sini .... sambil nitipin sesuatu untuk Kak Novi.... “ kata Desi sambil mulai mengayuh sepedanya.
“Apa?”
“Daaahhh..... Kak Noviiiii..... ada titipan salam dari Kak Oktoooo.....!”
Novi kaget. Gadis itu tertegun. Ia ingin berteriak, tetapi urung. Desi telah meninggalkannya sendirian. Novi hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia maklum, Desi hanya bercanda dengan merekamnya tingkahnya dengan kamera. Namun yang bikin malu memang ketika ia berjingkrak-jingkrak. Memalukan, memalukan.... gumamnya seraya masuk rumah.
Di kamar ia membuka laci bupet. Ia mencari sesuatu. Beberapa saat kemudian ia mendapatkan gambar yang sudah beberapa lama ia simpan. Justin Bieber!

000000-tips-1x-576975fcf87e619a0cee13ac.jpg
000000-tips-1x-576975fcf87e619a0cee13ac.jpg
Beberapa sekon gadis itu mengamati penyanyi fenomenal yang mampu membuat ribuan perempuan histeris. Novi mendesah. Baru saja ia terima salam dari Okto melalui Desi. Okto .... gumamnya. Wajah pemuda itu mirip Justin Bieber. Ah! Kadang ia mengutuki dirinya sendiri mengapa ia begitu terobsesi dengan kehadiran Okto di lorong hatinya.
Salam dari pemuda itu? Inikah jalan yang mulai terbuka?
Ia pandangi lagi gambar Justin Bieber. Beberapa saat kemudian ia menghela nafas dalam. Gambar itu bukanlah Okto. Okto yang ada sebenarnya sudah ada jalan gurat melalui salam yang ditipkan adiknya. Apa lagi?
Ingat Novi! Kamu masih SMA, nggak boleh pacaran!
Ada semacam keinginan Novi untuk memulai menata serta memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya. Ya. Salam Okto. Ia berfikir, bahwa itu pasti akan berlanjut. Dan selanjutnya akan terjadi saat-saat bersama, bercakap, bercanda, atau apa saja untuk mengekspresikan perhatian yang mulai tumbuh. Namun gadis itu hanya bisa mengeluh. Ia ingat benar akan nasehat orang tuanya. Namun jika dipikir dalam, nasehat orang tuanya adalah benar adanya. Pacaran untuk apa? Begitu keputusan hatinya.
***
Bersahabat dengan Okto benar-benar memberikan pengalaman batin yang menyenangkan baginya. Bahkan mungkin lebih dibanding hanya sekedar  senang. Mungkin tarafnya bahkan bahagia. Gadis itu memendam harapan yang cukup jauh. Melihat kondisi Okto secara usia lebih dewasa, ia berharap bahwa apa yang ia jalani sekarang menjadi semacam jalan bagi orang-orang yang cara pikirnya dewasa. Tak seperti anak SMA.
Namun tampaknya buah dari harapan masih jauh dari apa yang diimpikannya.
“Vi .... kapan Novi tentukan hari?” kata Okto suatu kali.
“Hari apa Kak?”
“Hari yang bersejarah.”
“Bersejarah? Kau akan melamarku? Aku masih sekolah. Semester akhir.” tanya Novi .
“Emm... enggak Vi, bukan melamar. Kalau melamar aku harus ke orang tuamu.”
“Lalu apa?”
“Kita jadian. Kita cari hari untuk jadian.”
“Ikrar jadian? Disaksikan banyak teman gitu? Kayak yang lain?”
“Yaaa..... mungkin begitu ..... kau terlalu menggantungku Vi.”
“Oooh.... aku menggantungmu?”
“Ya. Begitulah kamu .....”
“Mengapa harus ada event jadian Kak?”
“Aku butuh status Vi.”
“Apakah bersahabat semacam sekarang ini tidak cukup Kak?”
“Hmh.... “ Okto hanya mendengus. Ia tak menjawab.
“Begitu pentingkah status pacaran, menyebut punya pacar si A, si B atau yang lain?”
“Yaaah... begitu aku.”
“Aku dilarang pacaran Kak....”
Sejak pertemuan dengan pembicaraan seperti itu, Okto tampaknya menahan diri untuk mulai tidak mulai mengontak Novi. Novi yang sebenarnya sudah sangat menyukai Okto gelisah. Ia menginginkan pemuda tetap memelihara persahabatan antara dirinya dengan Okto. Dan tentu, dari sisi Novi, ada cinta yang tersembunyi. Ia melihat Okto sebagai pemuda yang lebih dewasa dengan selisih tiga tahun. Dirinya masih kelas XII. Memang sebentar lagi ia akan memasuki masa perkuliahan. Ia berharap dari oemuda itu ada sesuatu yang lebih bermakna dibanding hanya sekedar bersahabat. Tentu, ia akan mengharapkan akan saling memberi tanggung jawab.
Oktooooo! Tahukah itu harapanku kakaaak! Begitu kadang-kadang Novi bersuara kecil di kamar. Aku mengharapkanmu, tetapi kita tak perlu pacaran.
Ting! Ada pesan masuk di WA.
Dari Okto. Ini yang pertama setelah sekitar dua minggu ia putus kontak. Hati Novi berdebar. Ia melihat DP bergambar Okto yang tersenyum manis. Aaah ....Novi mendesah.
“Vi .... apa kabar? Aku kangen....”
“Baik Kak....”

Gadis itu menulis balasan . Namun Novi gelisah, jaringan tak teratur. Lelet. Setelah sekitar dua menit, barulah pesannya terkirim.
“Kok lama Vi .... nggak komen kangenku ya?”
Keadaan terulang. Muka Novi terasa panas. Punggung terasa panas. Badannya terasa gerah. Jaringan benar-benar tidak bersahabat. Maklum, kampung. Ia ingin segera menjawab, tetapi apa daya. Ia kesal atas kondisi ini. Ketika ia baru menulis kata “Maaf,” mendadak tulisan itu terkirim. Novi menghela nafas dalam. Lima menit tak ada balasan dari Okto. Enam, tujuh, delapan menit lewat. Novi kecewa. Ia rebahan di kasur. Ponselnya ia taruh di dadanya.
Ting!
Novi terhenyak. Pesan masuk. Gadis itu buru-buru duduk dan ingin sekali melihat jawaban dari pemuda yang dicintainya. Namun mata gadis itu terbelalak.
Okto! Kali ini DP Okto bukan lagi senyum simpatik, tetapi wajah seorang gadis. Nafas Novi tersengal-sengal. Tidak! Ini tidak mungkin! Teriaknya. Ia kenal gadis itu. Dan kalimat Okto membuat sekelilingnya menjadi buram.
“Novi .... sepertinya persahabatan kita cukup sampai di sini ......”
“Kak Okto... biar aku jelaskan....”
“Novi, kenalkan ini pacarku.....”

Novi lemas. Ponselnya melorot ke kasur. Tangannya tak kuasa menahan beban walaupn hanya seringan ponsel. Bibirnya terkatub. Matanya panas.
Beberapa saat kemudian gadis itu menangis. Menelungkup ke bantal.
***
Tahun ketiga di UPI.
Ia ingat betul ketika tanggal 9 Mei 2016 dirinya diterima di program studi Teknik Sipil melalui jalur SNMPTN. Kebahagiaan waktu itu sekaligus ia anggap sebagai pengubur hilangnya harapan terhadap Okto. Sejak ia mulai kuliah, Okto mulai terkubur. Bahkan ia berusaha untuk menguburnya lebih dalam lagi. Bandung kini luas, tak sesempit Majalengka.
Pukul 13.15 . Usai shalat dzuhur di masjid Al Furqon.
Gerimis rintik-rintik. Gadis itu tampak menapaki tangga halaman gedung Isola. Sebuah payung biru ia gunakan sebagai pelindung badannya. Ia ingat titipan legalisir ijazah mantan gurunya harus diambil di gedung itu.
“Noviiiii!” menjelang sampai di pintu gedung putih itu, ada suara memanggil. Novi menoleh.
“Emmm.... siapa ya?” Novi melihat seorang pemuda dengan tersenyum memandanginya.
“Novi.... lupa dengan aku? Novi lupa?” tanya pemuda itu sambil menunjuk dadanya sendiri.
“A...aa..... Yud.... Yudaaaa????!” mata Novi terbelalak begitu pikirannya mengingat suara orang yang dihadapannya.
“Viiii...... bener Viiii.... ini Yuda.”
Keduanya bersalaman. Pemuda itu tersenyum. Novi masih tidak percaya.
“Ini Yuda Cikijing? Yuda.... Yuda yang dulu?”
“Iyalaaah Novi .... Yuda yang dulu. Masih yang dulu, belum berubah! Cuma tambah tua saja hahaa!”
Tak terperi rasa gembira Novi demi melihat Yuda di hadapannya. Demikian pula Yuda. Tak henti-hentinya pemuda itu tersenyum. Bahkan beberapa kali Novi melihat Yuda berbalik badan, melihat ke langit kemudian mengepakan tinjunya.
“Ada apa Yuda? Kok kelakuanmu aneh.”
“Perburuanku sudah berakhir Viii....”
“Aku melacak incaranku sudah setahun lebih.”
“Incaran apa maksudnya?”
“Novi .... lihat aku dooong!”
“Ih apaan sih! Dari tadi juga ngeliatin kamu!”
“Terima kasih banget Vi.”
“Terima kasih apa?”
“Kamu tak melupakan aku!”
“Iiih ge-er! Ngaco kamu Yud! Aku sudah lupa kamu Yud, bener, aku tadi pangling kan?”
“Tapi kamu selalu ingat aku kan?”
“Kadang-kadang, tapi banyak lupanya!”
“Vi .... terima kasih, setelah lima tahun sejak di halaman SMP Cikijing, kini bertemu lagi, dan kamu masih.... masih .....”
“Masih apa?”
“Masih menyimpan payungku ..... oooh.... Noviiii.... terimakasih!”
Novi tergagap. Ia baru sadar bahwa payung yang ia pakai memang payung Yuda. Dan kini dengan tak bisa mengelak lagi, ia telah ketahuan memakai payung itu. Wajah Novi memerah. Yuda tersenyum melihat Novi salah tingkah.
“Kuliah di mana sekarang Yud?” tanya Novi mengalihkan perhatian.
“Unpad. Aku ambil program Humas. Soalnya dulu di Pangandaran jurusanku IPS. Novi di Teknik Sipil kan?”
“Iya benar. Tahunya dari mana?”
“Panjang ceritanya Vi. Dulu aku sempat mencari informasi tentang SNMPTN di SMA-mu itu. Lah ada nama Novi. Sejak saat itu itu, kalau ada kesempatan aku main ke sini, yah walaupun jauh dari Jatinangor, tetapi dorongan ingin ketemu itu yang nggak bisa aku tahan. Ya di sekitaran fakultas teknik ini, kadang-kadang di Al Furqon, kadang-kadang di taman sebelah utara itu, yang ada  kolam. Tapi tak pernah ketemu. Hanya aku punya keyakinan, suatu saat pasti aku dapat temukan gadis yang bernama Shera Pindia Novianty! Novi!  Dan inilah.... akhir dari buah usahaku.”
“Ya ampuuun Yudaaa.... jadi tadi kamu bilang perburuanmu itu berakhir itu kisah yang ini?”
“Maafkan aku Novi, Novi nggak apa-apa kan? Nggak marah?”
***
Sejak Yuda menemukan kembali gadis berpayung biru benhur, Novi merasakan semangat baru. Ada sosok yang kembali menemani dirinya di tengah-tengah perasaan kecewa pada saat kelulusan SMA dulu.
“Vi ... aku kangen masa kecil kita di halaman SMP 1001 Cikijing.” kata Yuda suatu waktu di taman dekat gedung Isola.
“Iya, aku juga masih ingat ketika aku hujan-hujanan ... Yuda bilang jangan hujan-hujanan nanti kamu sakit. Yud, kata-kata itu sangat menyentuh perasaanku waktu itu.”
“Kapan kita bernostalgia di Cikijing lagi Vi?”
“Mau cari pelepah daun pisang lagi?”
“Hehehe masih ingat juga ya....”
“Lucu siiih!”
“Vi, ingat nggak pepatah dunia tidak selebar daun kelor?”
“Ya ingat lah.”
“Tapi aku aku justru memimpikan dunia ini tetaplah selebar daun kelor.”
“Maksudnya?”
“Aku ingin tetap dunia ini sempit. Tetap satu area Cikijing. Anak Cikijing dengan anak Cikijing lagi. Biar sedaun kelor juga! Biarlah orang katakan nggak kreatif, Cikijing dengan Cikijing. Yang penting sesuai dengan hati.”
“Iiiihhh...... “
“Aku ingin berpayung bareng Novi, seperti yang pernah aku bayangkan dulu di pelataran sekolah kita. Dan aku yakin itu karena payung bertuliskan Novi itu masih kamu simpan. Tahu artinya Vi?”
“Enggghaakkk!” kata Novi sambil menahan tawa.
“Aku ingin selalu memayungi Novi, biar nggak sakit.”
Kalimat sederhana dari Yuda benar-benar mengusik kehalusan hati Novi. Dulu, dulu sekali, ketika SMP ia pernah memiliki perasaan aneh. Ia hanya mampu menangkap sinyal ketika Yuda memberikan payung untuknya, tetapi ia tidak mampu menerjemahkannya.
Novi melirik ke arah Yuda. Pemuda itu sedang memandang ke depan. Novi mengatubkan bibirnya. Matanya terasa panas. Dadanya berdesir.
Yudaaa..... aku baru tahu, kaulah cinta pertamaku.  Bisik hatinya.***

                                                                                                                  Majalengka, 21 Juni 2016
*Edisi dramatisir request Shera "Novi" Pindia Novianty Alumnus 2016 XII MIPA 6 - Mhs Teknik Sipil UPI Bandung

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun