Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerpen: Pedang Matahari

8 Juni 2021   04:59 Diperbarui: 8 Juni 2021   05:04 371 5
Suara kokok ayam mengagetkan malam dengan lantang. Terdengar suara jangkrik yang semakin lama semakin memudar. Kalong dan kelelawar pulang untuk beristirahat. Sementara burung emprit baru bangun dari tidur nyenyaknya.

Di suatu gubuk yang hampir rubuh, sebuah pintu terbuka lebar. Seorang lelaki tua baru saja melangkah keluar darinya. Ia berdiri untuk beberapa lama, lalu memperhatikan dunia sekitarnya mulai hidup dan bergerak.

"Fajar menyingsing! Cepatlah sedikit!" teriaknya sambil setengah menoleh ke dalam gubuknya.

Tak berapa lama kemudian, tampak seorang pemuda berlari tergopoh -- gopoh. Ia seperti habis mengalami mimpi buruk, dan saat di tengah mimpi ia dibangunkan dengan tiba -- tiba. Dalam keadaan setengah mengantuk setengah terjaga, ia menegakkan tubuhnya di samping sang cenayang.

"Tidurmu tak nyenyak, ya?" kata si cenayang.

"Aku tadi mimpi bertarung melawan seekor naga. Tak bisakah kau membiarkan aku untuk mengalahkannya dulu?" kata pemuda itu.

"Sebenarnya aku mau begitu. Tapi sebentar lagi pagi tiba. Aku harus membangunkanmu lebih awal agar kita bergegas."

"Kau mau mengajakku kemana?"

"Kita akan jalan -- jalan sebentar." kata si cenayang sambil menerawang ke atas langit. Lalu ia membuka tutup botol yang dipegangnya. Ia menuangkan setetes air ke tangannya, lalu memercikkan air itu ke badannya. Ia juga melakukan itu kepada si pemuda.

"Hei, aku sudah melek! Kau tak perlu menyiprati dengan air segala!" kata si pemuda.

"Bukan begitu. Itu untuk perlindungan."

 "Perlindungan apa?"

"Perlindungan dari sinar matahari. Sudah, pejamkan matamu sekarang."

Lalu si pemuda pun menuruti perintah sang cenayang. Sedangkan si cenayang mengucapkan sebuah mantra, lalu mereka terbang ke atas langit menuju matahari. Anehnya, semakin dekat mereka dengan sang surya, tubuh mereka tak terbakar oleh panasnya.

Dan sampailah mereka di dunia matahari. Mereka berdua sampai di tempat yang serba putih. Kemanapun mereka melihat, hanya ada warna putih.

"Kau boleh membuka matamu sekarang."

Saat si pemuda melakukannya, ia terheran dan bingung dengan apa yang dilihatnya.

"Ada dimana ini?"

"Kita ada di pusat matahari sekarang."

"Kau menipuku lagi. Tidak lucu tahu."

"Lihatlah kebawah."

Si pemuda melongok ke bawah, dan ia melihat bumi dan planet lain begitu kecil seukuran semut. Ada beberapa bintang besar namun itu tak menghalangi pandangannya akan semesta yang gelap dan luas itu.

"Jadi, ini benar ada di matahari?" kata si pemuda masih tak percaya.

"Kenapa kita tidak hangus terbakar?" saking herannya mulutnya terus bertanya.

"Air yang kucipratkan tadi, membuat tubuh kita kebal akan panasnya. Ngomong -- ngomong, tujuan kita kesini bukan melihat pemandangan saja. Ayo kita cari sesuatu untuk misimu."

Lalu sang cenayang mengajak si pemuda pergi berjalan ke suatu arah. Mereka berdua mengikuti sebuah jalan kecil yang tak begitu tampak, dan sampai di ujung jalan itu ada sebuah batu berukuran sedang.

"Di dalam batu ini ada sebuah pedang kuno. Pedang itu tertancap didasar. Kau membutuhkan pedang itu untuk mengusir makhluk api itu."

"Jadi, bagaimana aku bisa mengambilnya?"

"Disini ada panas matahari yang membara. Dan disini juga banyak cahaya terang dimana -- mana. Pedang itu telah ditempa sekian lama oleh panas dan cahaya. Jadi untuk mengambilnya, kau butuh sesuatu yang dingin dan gelap."

"Aku tak paham maksudmu."

"Dimana kau bisa menemukan tempat dingin dan gelap?"

Si pemuda tampak berpikir. "Entahlah. Di dalam gua?"

"Tidak. Masih ada yang lebih gelap. Tempat itu ada pada dirimu sendiri."

Si pemuda melihat tubuhnya, namun masih tak mengerti. Lalu ia sadar kalau di sekelilingnya ada banyak cahaya putih, jadi tak mungkin tempat itu ada disana. Satu -- satunya tempat gelap yang mungkin adalah di pikirannya sendiri.

"Aku akan memejamkan mataku lagi." katanya dan setelah itu ia menemukan kegelapan dimana -- mana. Dalam warna hitam yang pekat itu, ia melihat seberkas cahaya putih kecil. Ia berjalan mendekatinya, dan ternyata sebuah pedang tertancap di atas tanah. Karena ia sudah menemukan pedang itu, ia segera berusaha mencabutnya. Lalu ia membuka matanya kembali.

"Selamat, kau berhasil menarik pedang itu. Ayo kita kembali." kata si cenayang.

"Tunggu. Aku masih belum puas melihat bumi dari atas sini."

"Tidak, tidak. Kau harus kembali secepatnya."

Si cenayang pun menyeret lengan si pemuda, lalu menyuruhnya untuk memejamkan matanya lagi. Setelah itu, mereka berdua kembali di depan gubuk reyot. Si cenayang masuk ke dalam gubuk itu, tapi si pemuda masih melihat ke atas, menatap matahari.

"Kau ingin kembali kesana?" tanya si cenayang.

"Tidak. Aku hanya berpikir, kenapa dia disebut matahari. Mungkin dia dinamakan matahari, karena dia ibarat mata yang selalu mengawasi kehidupan di bumi sepanjang hari."

"Memangnya kenapa?"

"Tidak apa -- apa. Aku pikir, hanya aku yang bisa melihat hal -- hal di sekitar sini. Tapi ternyata ada yang sesuatu yang lebih besar dariku."

Lalu si cenayang lagi -- lagi menyipratkan air ke badan si pemuda.
"Hentikan! Kau mau mengajakku ke atas lagi?"

"Bukan. Itu air tebu. Aku cipratkan ke badanmu agar kau tak bermimpi terus. Kembalilah berpijak dibumi."

"Baik, baik. Tapi hidup berawal dari mimpi, tahu!"

Lalu keduanya masuk ke dalam gubuk itu, untuk berkemas dan bersiap mengusir makhluk api yang ada di tengah hutan itu.

Tamat

Cerita sebelumnya:
Rahasia Air Suci

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun