Mohon tunggu...
KOMENTAR
Analisis Pilihan

Pemilu Serentak: Hemat Biaya, "Boros Nyawa"

27 April 2019   10:43 Diperbarui: 27 April 2019   10:50 173 1
Dari kabar yang beredar, usai pesta demokrasi terbesar di dunia digelar, sejumlah kepala negara dunia mengucapkan selamat bagi Indonesia atas keberhasilan melaksanakan pemilu serentak secara damai dan berlangsung secara baik.

Pemilu serentak 27 April 2019 lalu tentu saja menjadi sejarah atau track record bagi perjalanan sistem demokrasi di Indonesia. Jika sebelumnya Indonesia sudah terbiasa melaksanakan pemilu langsung pada pileg dan pilpres secara parsial. Namun baru pertama kali Indonesia juga berhasil melaksanakan pemilu pileg dan pilpres sekaligus pada waktu bersamaan di seluruh Indonesia.

Istilah pemilu serentak pun disematkan sebagai bentuk istilah penggabungan variabel-variabel yang begitu banyak dan kompleks menjadi sederhana. Pemilu serentak kemudian ditengarai dapat menghemat begitu banyak sumber daya atau dikatakan efisien karena mampu menyederhanakan pemanfaatan sumber daya dalam sekali waktu.

Pemilu serentak menjadi babak baru dalam melaksanakan pemilihan umum di Indonesia. Lebih kurang 190 juta pemilih baik dalam maupun luar negeri yang memiliki hak suara dan memberikan hak pilihnya bagi capres cawapres, caleg (pusat, provinsi, kab/kota), dan DPD RI.

Berbeda dengan pemilu 2014 misalnya, pelaksanaan pemilihan dilakukan dengan waktu terpisah antara pileg dan pilpres. Setelah dilaksanakan pileg kemudian 3 bulan selanjutnya baru diselenggarakan pemilihan presiden dan wakil presiden.

Presidential Threshold atau ambang batas syarat parpol bisa mengusung capres-cawapres pada Pemilu 2019 juga menjadi sesuatu yang baru. Pada Pemilu 2014, Presidential Threshold menggunakan hasil Pileg tiga bulan sebelumnya. Ketentuannya parpol atau koalisi parpol bisa mengusung capres-cawapres apabila memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional.

Meskipun Indonesia sukses mewujudkan pesta demokrasi yang efisien dan hanya dengan anggaran 25 triliun rupiah (murah nggak ya?), namun bukan berarti tidak ada harga yang harus dibayar mahal. Ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), petugas PPK, dan para saksi yang meninggal dunia akibat kelelahan.

Data KPU (26/04/2019), Jumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia kini berjumlah 230 orang dan sakit 1.671 orang. Angka tersebut bukanlah jumlah kecil, bahkan satu orang saja pun hendaknya tidak boleh menjadi "korban" meriahnya pesta demokrasi.

Penyebab utama banyaknya jatuh korban dikalangan KPPS karena mereka mengalami kelelahan dalam mengawal pemilu. Dengan jam kerja 24 jam bahkan hingga 32 jam tanpa henti membuat daya tahan tubuh mereka menjadi drop. Ditambah lagi bila terdapat penyakit bawaan dari mereka sendiri. Maka ancaman kematian pun didepan mata.

Kondisi ini sangat memilukan dan sekaligus memalukan kita semua. Bagaimana tidak pilu? Seorang suami atau istri yang secara rela membantu negara menyukseskan pesta demokrasi namun harus meninggalkan dunia ini beserta sanak keluarga karena diforsil untuk kepentingan para aktor politik.

Walaupun kemudian bagi mereka yang telah meninggal dunia dalam tugasnya itu diberikan santunan oleh negara, namun bukan berarti masalah telah selesai dan pihak keluarga akan bahagia kembali. Santunan berapapun tidak akan mengembalikan apapun.

Hebatnya, santunan itu pun ternyata tidak direncanakan sebelumnya dalam anggaran pelaksanaan pemilu. Hal ini dapat kita lihat pada pernyataan Ketua KPU RI.

Menurut Ketua KPU Arief Budiman, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menyetujui usulan KPU soal pemberian santunan ini. Namun demikian, belum ada kepastian mengenai besaran anggaran santunan yang disetujui oleh Kemenkeu. (Kompas, 26/04/2019).

Ini tampak sekali bahwa para pekerja pelaksana pemilu di TPS-TPS mereka hanya disediakan honor harian sebanyak 150 ribu rupiah saja dengan beban kerja yang begitu berat, tekanan tinggi, dan dibawah ancaman termasuk resiko dibunuh. KPU tidak memperhitungkan segala kemungkinan itu serta menyediakan kompensasi yang pantas dan layak bagi mereka. Apakah karena mereka bukan bagian dari KPU?

Negara memang abai terhadap pekerja KPPS dan lainnya yang ikut serta dalam penyelenggaraan pemilu. Selain tidak diberikan fasilitas kesehatan dan asuransi kecelekaan serta kematian, mereka juga tidak diberikan jaminan perlindungan dari berbagai potensi ancaman dan teror.

Akibatnya banyak Ketua KPPS yang diperlakukan secara sadis, dipukuli, dan dianiaya oleh kelompok-kelompok preman politik yang ingin meneguk keuntungan. Seperti kasus di Makassar, Jawa Barat dan beberapa daerah lain. Jadi posisi KPPS sangat rentan dan kurang dihargai oleh negara.

Maka patut disayangkan, ketika rakyat dengan suka rela membantu negaranya dalam menyukseskan pemilu dan tanpa pamrih, namun di sisi lain masih ada pihak-pihak yang tega mencurangi pemilu itu sendiri. Ini sama saja dengan melecehkan rakyat yang sudah bersusah payah mengawal pemilu dalam rangka mewujudkan pemilu beritegritas.

Maraknya dugaan kecurangan pada pemilu 2019 yang dilakukan oleh oknum-oknum pengkhianat demokrasi telah ikut mencederai kualitas pemilu kita. Kecurangan yang juga mungkin terlibat pihak-pihak penyelenggara itu sendiri itulah yang membuat kita malu dengan dunia internasional.

Saya mau sampaikan bahwa dengan pengorbanan pemilu kita yang demikian besar ternyata secara kualitas gagal menghasilkan pemilu yang beritegritas, bermartabat, jujur dan adil. Meskipun ada pihak yang menilai bahwa prosentase gagal itu hanya 0,0%. Artinya hanya sedikit.

Banyaknya berbagai masalah yang timbul. Maka sudah selayaknya Pemilu serentak model 2019 memang harus di evaluasi secara menyeluruh. Mulai dari kebijakan seperti Undang-undang pemilu, anggaran, pelaksanaan, hingga jaminan akan menghadirkan hasil pemilu yang berkualitas dan dapat dipercaya.

Harapan kita kedepan tidak ada lagi korban yang berjatuhan. Terlalu murah harga nyawa manusia bila hanya untuk kepentingan pemilu apalagi jika didalamnya kental dengan nuansa kecurangan. Tidak usah hemat biaya tetapi mengobral nyawa.

Boleh saja kita menyebut mereka sebagai pejuang demokrasi atau ntah gelar apalagi. Tetapi satu hal bahwa mereka meninggalkan anak yatim, janda atau istri yang telah tiada. Sebutan pejuang demokrasi hanyalah gelar basa-basi tanpa makna bagi mereka yang masih membutuhkan kasih sayang orang tua mereka atau seorang ibu yang merindukan anaknya.

Pejuang demokrasi tak lain hanyalah kalimat penghibur agar mereka (sanak saudara dan keluarga) merelakan kepergian orang-orang yang disayanginya. Sekaligus sebagai tirai untuk menutupi betapa buruknya wajah penyelenggaraan pemilu kita kali ini yang banyak makan korban. Kita perlu lebih banyak melakukan autokritik dan koreksi diri sendiri. (*)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun