Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Yatim Piatu Akibat Covid-19 (Cerpen)

10 Agustus 2021   12:24 Diperbarui: 10 Agustus 2021   15:58 460 3
Surabaya - Angin sore menemani. Beberapa pembahasan seoalah melengkapi perbincangan kami. Dari mulai ringan, renyah sampai yang berat seputar kematian akibat Covid-19.

Hingga akhirnya, Pak Po aku sering menyebutnya, bercerita bagaimana akibat Covid-19, ponakannya menjadi yatim piatu sekarang ini.

"Kamu tau gak saudara yang tak ceritakan kemarin itu, akhirnya meninggal. Akhirnya anak-anaknya jadi yatim piatu Kedua orang tuanya direnggut Covid-19," kata Pak Po dengan mimik serius.

Pembicaraan yang semula santai, kini perlahan menjadi pembicaraan berat. Sekejap aku menghela nafas. Pikiran menyeruak mengemuka. Dalam hati berpikir," Sebegitu jahatnya Corona. Hingga menjadikan anak-anak yang masih butuh belaian kasih sayang orang tua harus ditinggalkan," gumamku.

Sembari menyeruput kopi, Pak Poh ini kembali bercerita. Kematian sodaranya ini hanya sebagian kisah pahit. Ia menerawang jauh. Rokok di tangan dihisapnya dalam-dalam.

Ia meneruskan ceritanya, sesekali tangannya digosok-gosokkan ke bale bambu tempat kami bercengkrama," Sebelum meninggal, cari rumah sakit sulit. Dirumah sakit sini ditolak, disana ditolak. Semua pada penuh. Ya mungkin karena kelamaan di jalan dan tidak dapat penanganan memadai, akhirnya meninggal di perjalanan," terangnya.

Awal kata Pak Po, keluarga tidak tahu jika saudara laki-lakinya ini terkonfirmasi Covid-19. Ia mengira hanya sakit biasa, tapi tak kunjung sembuh, hingga akhirnya nafas terasa sesak.

"Ya diketahui itu ketika sesak nafas. Terus di test di puskesmas, ternyata positif," kisahnya.

Pembicaraan kami mulai serius. Karena ketidak pahaman terkait penyakit ini, aku mulai bertanya-tanya. Bukan apa-apa sih, cuma untuk kewaspadaan siapa tahu hal yang sama pernah aku rasakan.

"Ya badane panas, batuk e lama. Ini masih bisa membau. Tapi sesak nafas," terangnya.

Sekilas aku mengangguk tanda paham," Dalam hati, Alhamdulillah apa yang di sampaikan Pak Po untuk saat ini tidak aku rasakan. Semoga aku sehat terus," kataku dalam hati.

Pak Po, lantas menceritakan, setelah mengetahui saudaranya tidak tertolong, akhirnya mobil yang dikendarai balik arah untuk pulang. Sembari berkaca-kaca, Pak Po berucap lirih," kasihan anak-anaknya masih kecil-kecil," ungkapnya.

Di rumah, diakui Pak Po orang kampung sigap, tetap dengan protokol kesehatan segala persiapan untuk pemakaman juga telah dipersiapkan. Sedangkan baru diketahui istri saudaranya ini juga terbaring sakit, sementara dua anak yang masih kecil ada pada sang nenek.

Singkat cerita, pemakaman sudah dilakukan. Sedangkan sang istri tak henti-hentinya menangis. Pak Po bercerita keluarga mencoba menenangkan dan mengikhlaskan, hingga akhirnya, hari berganti hari, sampai berganti minggu, kondisi istri saudara Pak Po ini menurun.

"Kondisinya drop. Gak tau mungkin mikir suaminya kali ya. Akhirnya dia nyusul, jam 11 Siang pas meninggal," terangnya.

Aku yang tepat berada di depan, tersentak. Tak terasa mata berkaca-kaca. Bukan terkait kematian suami istri yang meninggal dunia, tapi nasib dua anak kecil yang diceritakan Pak Po, sepeninggal orang tuanya.

Rasa hati ini terasa sedih. Aku tak bisa membayangkan anak yang masih kecil harus kehilangan orang tua sekaligus. Secara lirih aku bertanya pada Pak Po," anak nya sekarang sama siapa Pak Po.?

"Ya diasuh gantian. Mbah nya kan sudah tua. Kadang sama tetangga sebelah. Kadang sama Pakdenya," kata Pak Po.

Aku kembali tertekun. Aku tidak bisa membayangkan ada di posisi adek-adek ini dan berpikir," Bagaimana makan mereka ya. Tidak ada orang tua, sekolahnya gimana ya," pikirku berkecambuk.

Tak terasa, setelah berjam-jam bercengkrama, suara adzan di mushola terdengar," kami yang ada disitu kemudian diingatkan," wees sudah adzan, sholat dulu," katanya.

Sembari berjalan ke mushola, Pak Po mengingatkan kami yang ada disitu untuk tetap patuh pada protokol kesehatan. Menurutnya Covid-19 layaknya binatang buas yang mencari mangsa. Karena itu ia tak henti-hentinya menyuruh kami untuk manut (patuh).

"Wes diati-ati. Penyakit ini gak ketok (gak kelihatan), dijogo awak e (badannya). Wes ndang wudhu sana," suruh Pak Po pada kami.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun