Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

(Dari Kisah Nyata) Rahasia Ritual Embun, Jejen Bukan Koboy Lagi (04)

22 Oktober 2020   01:44 Diperbarui: 22 Oktober 2020   17:32 62 5
(kisah nyata ini didedikasikan teruntuk kru dan kompasioner, dirgahayu 12 tahun kompasiana ! )

Brak !
Pyuuur
!
Kaca koperasi pun berkeping - keping. Kru awak medis, yang mendengar suara kaca pecah, tergopoh - gopoh mendekat ke jendela, melihat apa yang terjadi.

Jejen masih memegang kayu, ingin memecahkan lebih banyak kaca lagi. Kesal dia, hak nya sebagai anggota tidak dihargai, simpanan wajib dan sukarela yang disimpan selama 36 tahun semasa kerjanya. Menjadi abdi negara sampai pensiun.

 Iuran yang diipotong dari hasil jerih payahnya tidak bisa diambil. Ada yang tidak beres, mungkin ada korupsi di menejemen pengurusnya.

Bau busuk dan asap tindak tercela, begitu jelas terbaca. Tidak seperti anggota lain yang mencoba kalem dan bijak menyikapi situasi.

Jejen tidak bisa tinggal diam.

"Saya tidak bisa tinggal diam, kami biasa diabaikan dan dianggap berbeda. Hajatan pernikahan saja, karyawan yang sehat, sedikit yang datang", urai Jejen, mencurahkan isi hatinya, kepada Yayan sahabatnya, suatu sore, sambil menyeruput kopi. Dan cemilan singkong rebus.

Kisah duka pun mengalir dari mulut bapak paruh baya ini. Betapa sebagai mantan penderita kusta, acap mendapat diskriminasi.

Meski ratusan sejawat kerja yang diundang, adapun yang hadir tidak lebih dari sepuluh orang. Disitulah, ia merasa berbeda.

Sejak itu, gampanh sekali, ia disulut rasa marah tiba - tiba. Emosinya acap lepas begitu saja. Tingkahnya acap meledak - ledak ala koboy main pestol, ugal - ugalan dengqn kuda liar emosinya.

Lebih - lebih setelah ia terlanjur berkomitmen kepada dua istri,yang keduanya memberi.lima anak. Jejen yang tadinya pendiam dan lembut berkata - kata.

Sekarang gampang meletup, terpancing, apabila.lawan bicaranya ngawur  bicara. Buatnya, dirinya dan segenap mantan penderita lepra, harus mendapat perhatian prioritas.

Lain dulu, lain sekarang. Karena banyak bergiat di masjid, sebagai pengurus, sesuai amanat almarhum Bapaknya, Rumedjo yang jadi ustad, pembina keimanan di lingkungan komplek serba guna.

Perlahan seiring perjalanan usia, Jejen sudah semakin lembut dan bisa mengontrol ledakan kemarahannya.

Emosi mirip kuda liar tanpa pelana. Pelan pelan Jejen sebagai legenda hidup.  Banyak mengembang senyumnya. Melihat kelima anaknya belajar dan mengaji. Senyum itu makin meleleh saat melihat dua cucunya, terlahir sempurna.

Nikmat Allah SWT, yang engkau dustakan. Batinnya. Ia masih berjuang menegajkan dua bahtera dengan kekuatan enerji harmonisasi.

Juga menggugah, para pengurus koperasi mengembalikan kerugian yang diderita anggotanya. Jumlahnya tidak sedikit.

Perjuangan amar ma'ruf nahi mungkar. Mengajak ke jalan kebenaran meninggalkan kebatilan itu, butuh pedang yang bernama kasih sayang !.

***
Kini saat ia menatap patung warna emas Dokter Sitanala yang terekspos gagah di teras RSUP  yang dulunya pusat perawatan kusta.

Jejen memiliki sebersit kebanggaan, patung itu dibuatnya bersama Seniornya Sudarman.

Trial dan error, perlu waktu satu tahun untuk membangun kemiripan dengan tokoh medis yang banyak jasanya melayani pengidap kusta di masa lalu.

Meski semua bentuknya sudah sangat mirip dalam patung tersebut. Namun ada yang lepas. Entah apa.

Setelah menyepi bermalam - malam, dan konsultasi dengan ahli patung dari Bandung. Ditemukan juga rahasia detail kekurangannya, yaitu matanya.

Pada hari peresmian, Jejen pun dipeluk anak Dokter Sitanala, yang melihat bapaknya kembali hidup dalam karya patung setengah badan itu.

Terima kasih Jejen !

Kisah nyata hidupmu, memberi banyak pelajaran pada kami tentang kealpaan,kelemahan sekaligus kelebihan manusia biasa.  Berjuang hidup atas nama cita dan cinta sejati.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun