Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money Pilihan

Planning Fallacy

3 Februari 2022   18:39 Diperbarui: 3 Februari 2022   18:49 692 5
"Kami tidak mencapai target tahun ini, soalnya tidak didukung anggaran yang memadai." Jawaban ini selalu menjadi argumen, bahkan keluhan  pada setiap rapat perencanaan dan evaluasi program/kegiatan. Apakah benar keberhasilan pelaksanaan program/kegiatan pembangunan semata-mata akibat kurangnya anggaran?

Anggaran memang menjadi salah satu unsur penting dalam keberhasilan program / kegiatan. Tapi, tentu saja tidak bisa menjadi  alat pembenar keberhasilan dan kegagalan. Berhasil tidaknya program/kegiatan juga ditentukan oleh faktor lain mulai dari kapasitas SDM pelaksana, waktu, pemakaian material atau peralatan,  hingga penerapan mekanisme atau metodologi tertentu.

Meskipun demikian keberhasilan pelaksanaan program/kegiatan pembangunan sangat tergantung perencanaannya.  Benjamin Franklin pernah mengatakan jika anda gagal melakukan perencanaan, anda sedang merencanakan kegagalan. Jelas, sukses pembangunan tidak  by accident, namun didukung pengetahuan kemana dan bagaimana bisa sampai ke suatu tujuan. Dan itu hanya melalui perencanaan yang baik.  

Dalam sistim perencanaan pembangunan, kita sering mendengar konsep perencanaan HITS - tematik, holistik, integratif, dan spasial. Konsep ini adalah penjabaran perencanaan yang menyeluruh mulai dari hulu hingga hilir.  

Sejatinya, perencanaan adalah rangkaian kegiatan yang memadukan pemangku kepentingan dan pendanaan dalam satu kesatuan wilayah atau keterkaitan antar wilayah.  Dia menjadi pemandu arah untuk mencapai suatu goal. Dengan arah yang jelas ini, para pemangku kepentingan bisa bekerja sama satu sama lainnya.

Perencanaan mengurangi ketidakpastian, bisa mengantisipasi adanya perubahan sekaligus mengoptimalkan responnya. Banyak program/kegiatan yang "mubazir" dan berulang bisa diminimalisir jika proses perencanaan dilakukan secara terkoordinir dan terpadu.

Intinya, perencanaan adalah hulu dari sebuah proses yang saling terkait dalam pembangunan. Hasil yang baik tergantung perencanaan yang baik, dan sebaliknya. Tentu saja kondisi dan proses tidak selalu optimal. Proses perencanaan seringkali diwarnai planning fallacy, kesalahan perencanaan akibat bias kognitif yang sering melanda para perencana.

Planning fallacy adalah kecenderungan meng-underestimate berbagai faktor penting dalam perencanaan. Mulai dari soal waktu, SDM hingga berbagai resiko dalam penyelesaian suatu kegiatan.  Tentu saja termasuk masalah pembiayaan.

Planning fallacy terjadi saat perencana terlalu fokus pada aspek perencanaan tertentu, mengecilkan elemen risiko dan  terlalu optimis dengan kemampuan yang ada pada saat itu. Bias kognitif ini sering dihubungkan dengan orientasi individu manusia dengan positivity. Para perencana sering sangat optimistis akibat kejadian-kejadian positif dimasa lalu, dan cenderung mengabaikan hal-hal sebaliknya.

Akibatnya, mereka terjebak dengan informasi positif dalam perumusan perencanaan dan luput menangkap faktor-faktor krusial lainnya. Hammond, dkk. dalam the Hidden Traps in Decision Making mengatakan gejala ini sebagai anchoring trap (jebakan jangkar). Jebakan ini memberi bobot yang tidak proporsional terhadap informasi yang pertama kali diterima

Anchoring trap bisa membuat para perencana terlalu bergantung pada informasi awal saat merumuskan perencanaan dan keputusan. Karena hal ini, maka informasi yang datang belakangan sering terabaikan, kalaupun ada hanyalah penyesuaian sedikit.
 
Pakar ekonomi perilaku, Daniel Kahneman, mengatakan kondisi  ini disebabkan keterbatasan  mengelola informasi dan menyelesaikan persoalan yang digunakan dalam memutuskan sesuatu tindakan, atau bounded rationality. Bounded rationality mendorong individu membatasi jumlah penalaran yang  mereka gunakan ketika harus membuat keputusan karena ingin menghemat upaya kognitif yang diperlukan.

Bounded rationality juga sering diasosaisikan dengan kemalasan berfikir untuk mengolah informasi baru yang datang belakangan. Kemalasan berfikir ini semakin parah pada mereka yg memiliki fixed mindset, orang-orang yang cara berfikir monoton dan linear. Cara-cara berfikir seperti ini dengan mudah mendorong planning fallacy.  

Contoh sederhana seorang perencana yg terperangkap planning fallacy, misalnya saat merencanakan pengentasan kemiskinan. Karena bias kognitif di atas, kemiskinan hanya dipandang sebagai kekurangan materi semata.

Orang miskin diposisikan adalah orang yang tidak memiliki makanan untuk dimakan sehari-hari. Rumahnya beratap langit, beralaskan tanah. Untuk minum pun dijatah karena jauhnya sumber air untuk bisa menyediakan kebutuhan dasar ini setiap saat.

Akibatnya program yang dirancang sebatas untuk memenuhi kebutuhan diatas. Sifatnya pun jangka pendek, dan parsial. Itu pun sudah bagus kalau bisa meringankan penderitaan mereka.

Masalahnya, program kemiskinan sering menjadi bias, dijadikan proyek untuk kepentingan sendiri. Masih lekat dalam ingatan kita bagaimana bansos menjadi proyek seorang Menteri untuk mendapatkan keuntungan dari proses pengadaannya.

Sejatinya, isu kemiskinan adalah transboundary issues. Dia bersifat lintas waktu, lintas sektor dan pendekatan. Waktu untuk mengentaskan kemiskinan tidak setahun, dua tahun. Tahapannya memerlukan pendekatan dan kolaborasi multipihak yang bisa melewati satu tahun anggaran.

Seorang perencana yang baik akan mengenali kelemahan ini. Fokus perbaikannya tidak sekedar menguasai teknis perencanaan namun juga melalui pengenalan falasi perencanaan.

Banyak cara untuk menghindari planning fallacy. Pertama, seorang perencana perlu mengembangkan cara berfikir disruptif. Cara ini tidak hanya menguraikan benang masalah satu demi satu tapi mampu mengaitkan satu sama lainnya untuk mencari akar masalahnya.

Selanjutnya, perencana harus mampu mengolah informasi dalam siklus perencanan sebelumnya. Evaluasi perencanaan memang menghadirkan informasi tersebut, namun seorang perencana yang baik tidak boleh terperangkap dengan kondisi itu. Sebaliknya mereka perlu mengupdated informasi baru untuk menyediakan konatruksi brfikir komprehensifcdan holistik.

Namun yang terpenting, agar terhindar dari planning fallacy, seorang perencana harus mengembangkan growth mindset. Mereka akan terus belajar, memandang hal-hal baru secara positif untuk melengkapi informasi yang sudah ada sebelumnya.

Maka seoarang perencana yang baik akan terus belajar dan mengembangkan nalarnya. Para perencana ini akan menghasilkan rumusan skenario pembangunan yang baik melalui program kegiatan yang yang jelas, terah dan terukur.

Anggaranpun tidak lagi menjadi soal. Dengan prinsip money follow program, aspek pembiayaan akan lebih transparan mengikuti perencanaan. Sang kadis pun tidak perlu lagi mencari dalil pembenaran tentang gagalnya program /  kegiatan yang dikelolanya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun