Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana Pilihan

Pendekar Pedang Sunyi (3)

27 Maret 2020   19:58 Diperbarui: 27 Maret 2020   20:17 137 1
PENDEKAR PEDANG SUNYI (3)

Kelabang Ireng mendobrak sana dan sini, begitu ia tak menemukan apa yang dicarinya segera ia perintahkan tempat itu dibakar.

Satu demi satu murid perguruan Pedang sunyi yang ia temui dengan keras ia jenggut ujung rambut kepalanya. Begitu yang ia tanya mengeleng tanda tak tahu  maka bilah Golok Karangantu mengayun menyelesaikan kehidupan anak-anak muda yang tak berdosa.

Satu dua melakukan perlawanan dengan beberapa jurus yang mereka  dapat dari perguruan namun dengan empat lima kali jurus penghindaran, kelabang Ireng mampu melumat mereka yang umumnya masih memiliki sedikit llmu dari perguruan Pedang sunyi.

"Kuingatkan sekali lagi hai murid murid Pedang Sunyi...barang siapa tak ada yang memberitahuku dimana Pedang guru kalian berada, aku tak akan segan melenyapkan kalian semua dari muka bumi!" kelabang Ireng kembali menyarungkan golok karangantu senjata pusakanya, darah mengalir saat ia menyusupkan ujung golok tersebut ke sarungnya.

Pusaka perguruan pedang sunyi yang bernama Pedang Surosowan lenyap bagai ditelan bumi bagi Kelabang Ireng. Mahesa telah merenggutnya cepat dari dinding tersembunyi kamar sang guru  sambil  ia berlari dan berguling menghindari dua orang yang menghalanginya di lumbung sebelum ia meluncur deras ke arus sungai yang deras.

Kelabang ireng marah bukan alang kepalang,hampir seluruh bangunan beratap sirap di perguruan itu lenyap oleh kobaran api yang tersulut dari ujung-ujung obor yang dibawa pasukannya.

"Kalian harus dapatkan pedang itu sebelum purnama nanti. Cari kemanapun sekitar hutan ini sampai dapat. Bunuh siapapun yang membawanya..cari sampai dapat!" suara geram dan mendengus terlontar dari mulut kelabang ireng yang dihiasi kumis yang lebat. Tubuhnya yang kokoh gempal bergerak kesana kemari memutar memberikan perintah pada pasukannya yang menunduk hormat padanya.

Obor-obor yang berisi api merah dan asap hitam masih  digenggaman mereka dan mereka bergerak berkeliling menyentuhkan ujung api pada benda yang mereka temui menuruti amarah pemimpin mereka, kelabang Ireng.

Tubuh kelabang Ireng melesat bagai panah, ia mendekati kuda yang terikat di gerbang perguruan, kuda yang konon ia dapatkan turun temurun dari bibit yang dibawa pasukan dari kapal 'Compagnie van Verre'.

Kuda putih berkalung bulu coklat itu berlari  cepat menyusuri pingiran sungai dengan suara gusahan kelabang ireng yang menunggang dengan jumawa. Menjauhi perguruan pedang sunyi yang merah membara.

Beberapa hari lagi purnama, Pedang Surosowan pusaka guru Pendekar Pedang sunyi tersandar gagah dalam gelapnya gua bersama mahesa yang tetap memejamkan mata. Sukmanya menerawang sinar yang seolah datang, membawa sekian kenangan dulu dikala ia bertemu dengan  sekelompok orang berbola mata hijau.

Dentuman mesiu menyalak tak berhenti ketika ia dan kedua orang tuanya keluar dari rumah kecil di tepi hutan karena terkejut. Butir-butir peluru tak henti menderas seperti hujan.

Bapak Mahesa berteriak demikian keras dan memunggungi gerombolan orang yang kian mendekat dengan batang besi hitam yang menyalak-nyalak.

Dekapannya kian kuat melindungi Mahesa yang hanya bisa mendekatkan pipinya di dada sang bapak, lalu cairan hangat terasa mengalir kesekujur tubuh mahesa diiringi teriakan dan jerit perempuan dua depa disampingnya.  

Bapak ibunya tertembus peluru dari sebagian orang-orang yang baru tiba dari Amsterdam berminggu sebelumnya. Kemarahan gerombolan itu terhadap sang bapak dari sebuah  peristiwa di pelabuhan Bantam tiga hari sebelumnya mengoyakkan jalinan keluarga Mahesa dan menjadikannya seorang yatim dan piatu yang sebatang kara.

Yang terakhir Mahesa ingat pada peristiwa itu, sebuah terpaan angin tiba-tiba mengencang  disekujur tubuhnya yang dipeluk oleh bapaknya yang tengah bersimbah darah. Kepakan bilah besi membentur biji-biji timah yang terlontar dari beberapa senapan yang menghujan.

Tubuh-tubuh tiba-tiba terkapar dalam sabetan sunyi yang meyerupai angin mendesir yang menyerupai sentuhan angin di pucuk-pucuk daun  pohon nira.

Kepalanya tiba-tiba mendingin dan kerjapan mata menampakan sosok dengan rambut sedikit memutih dalam gelungan tertutup kain putih yang menutup pucuk kepala. Tangannya yang lincah menelusuri sebagian tubuh Mahesa yang bersimbah darah.

Ditepi sungai itu lelaki yang kelak menjadi gurunya mengusap kepala Mahesa  yang tertutup kerak berjelaga merah. Pedang yang gagangnya berwarna perak dengan sedikit ukiran bercorak ombak laut menyembul dibalik punggung lelaki itu.

"Jangan takut! Aku Pendekar Pedang Sunyi sedang berusaha menolongmu!"  

(Cerita Silat Bersambung)

-Pengarang: Aryadi Noersaid WFH 270320 Sukra-

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun