Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana Pilihan

Pindah Rumah (Genre Horor)

3 Juli 2021   10:37 Diperbarui: 5 Juli 2021   19:14 917 2

Ini adalah pengalaman nyata seorang pembaca saya bernama Novi yang disampaikan kepada saya melalui messenger. Novi meminta saya menuliskannya dalam bentuk cerita. Sayapun menyanggupi. Dengan catatan, cerita boleh saya modifikasi.

*****

Namaku Novi. Yang akan kuceritakan ini adalah pengalaman 3 tahun yang lalu.

Awalnya, aku sekeluarga memutuskan pindah ke sebuah rumah yang lebih besar. Tujuannya supaya bisa sekalian jadi tempat yang lebih memadai untuk usaha jahitku yang semakin berkembang.

Hari pertama di rumah baru, aku dan suami masih direpotkan dengan urusan menata barang pindahan dari rumah yang lama.

Sejak pagi, aku dan suami sudah sibuk. Sementara, kedua anak kami, Arumi 5 tahun dan Naomi 3 tahun, juga asik bermain di halaman belakang. Halaman belakang rumah memang nyaman untuk tempat bermain anak-anak. Karena teduh ternaungi oleh pohon sirsak besar yang sudah berumur puluhan tahun.

Sambil sibuk berbenah, aku bisa mendengar celoteh mereka yang asik bermain. Sepertinya juga ada anak-anak tetangga yang datang dan ikut bermain. Karena dari tadi suara Arumi terdengar heboh sekali. Dia tidak pernah seheboh itu jika hanya bermain berdua dengan adiknya.

Selepas Ashar, Naomi sudah balik ke rumah. Karena kelelahan, dia langsung tertidur di salah satu kamar yang sudah selesai dirapikan. Sementara, Arumi masih heboh bermain di bawah pohon sirsak besar itu. Lamat-lamat masih terdengar suaranya seperti bercengkrama.

"Biar sajalah dulu dia bermain. Nanti saja menjelang magrib disuruh masuk rumah," pikirku.

Akupun melanjutkan membantu suami menata barang-barang di dapur.

Beberapa menit sebelum azan magrib, semua ruangan telah selesai kami tata. Suami langsung mandi. Aku juga langsung menuju belakang rumah hendak memanggil Arumi dan menyuruhnya segera masuk rumah. Suaranya sedang bercakap-cakap masih jelas terdengar. Sepertinya anak tetangga yang dari tadi bermain dengannya juga belum pulang.

Begitu pintu belakang kubuka, terlihat Arumi masih berdiri menghadap ke pohon sirsak itu sambil menggendong boneka Teddy Bear kesayangannya. Aku heran, ternyata Arumi sendirian. Lantas, suaranya yang aku dengar tadi itu, sedang bercakap-cakap dengan siapa?

"Arumi!" Panggilku.

Arumi tidak merespon. Seperti tidak mendengar suaraku. Dia masih saja berdiri menghadap pohon itu, dan malah kembali terlihat seolah sedang bercengkrama dengan seseorang.

"Arumii!!" Kembali aku panggil bocah itu dengan suara lebih lantang.

Arumi menoleh.

"Ayo, Nak. Masuk rumah. Udah mau Magrib!"

"Ya, Ma. Sebentar," jawab Arumi.

Mulutnya kembali terlihat komat kamit seperti sedang berbicara, lalu diiringi tawa. Kemudian dia melambaikan tangan ke arah pohon besar itu, lantas segera berlari ke arahku.

"Arumi, Mama lihat Arumi kayak ngobrol dengan seseorang tadi, ngobrol dengan siapa memangnya?" Tanyaku dengan perasaan was-was.

"Itu loh, Ma, sama tante dan adik kecil." Jawab Arumi polos sambil terus berjalan memasuki rumah.

Aku terkesiap dan sontak menoleh kembali ke arah pohon itu. Tiba-tiba aku merinding.

Segera kususul Arumi ke dalam rumah dan meraih tangannya. Lalu aku berlutut di hadapannya sambil memegang bahunya dan menatap matanya lekat-lekat, kemudian bertanya dengan nada serius.

"Arumi, kamu tadi ngobrol dengan siapa, Sayang? Mama gak melihat ada siapa-siapa di sana."

"Kan sudah aku jawab, Mama. Ngobrol sama tante dan adik kecil. Masak Mama gak lihat, sih?"

Arumi menepis kedua tanganku kemudian berlari kembali ke arah pintu belakang. Dia buka pintu itu.

"Tuh, Mama lihat! Tante dan adik kecil itu masih di sana, loh, Ma. Masak Mama gak lihat sih? Itu loh, Ma. Tante itu pakai baju putih, rambutnya panjang, adik kecil pakai baju hitam, rambutnya juga panjang."

"Kasihan loh, Ma. Tante itu kayaknya sakit. Mukanya pucat. Ngomongnya pelan sekali. Bajunya kayak ada darah-darah gitu deh, Ma. Tadi tante itu ngajak aku ikut dengannya. Katanya supaya adik kecil ada teman bermain."

"Trus, Arumi jawab apa?" Tanyaku cemas.

"Aku bilang, aku gak bisa. Aku kan punya Adik juga di rumah. Aku juga bilang, mamaku pasti gak bolehin."

"Trus, apa kata tante itu?"

"Tante itu bilang, dia dan adik kecil akan terus menunggu di pohon itu. Dia minta aku besok main lagi ke sana."

Aku makin merinding. Tapi kemudian mencoba berpikiran positif saja. Kata orang, biasa kok, anak kecil begitu.

Pada tahapan dan kondisi tertentu, kadang memang ada anak-anak yang seolah punya teman imajinasi. Sepanjang tidak berlebihan, itu fenomena yang wajar terjadi pada anak-anak.

Aku tepis segala pikiran negatif, lalu segera membawa Arumi ke kamar mandi.

Selepas Isya, suamiku yang kelelahan segera tertidur. Tak lama kemudian, Naomi juga terlelap di sampingnya.

Aku masih berberes. Merapikan hal-hal kecil yang belum sempat dikerjakan siang tadi.

Sementara Arumi masih asik bermain dengan Teddy Bearnya sambil bersenandung-senandung kecil.

Tak lama kemudian, hujan turun diiringi kilat dan petir. Cahaya kilat tembus ke dalam rumah dari celah-celah gorden dan fentilasi.

Tiba-tiba Arumi berlari ke jendela kaca belakang rumah dan menyibakkan gordennya. Kemudian dia medekatkan dua tangan dan wajahnya ke kaca itu untuk bisa melihat lebih jelas ke luar.

"Ma, itu tante dan adik kecil masih di bawah pohon loh, Ma. Mereka kehujanan, kasihan. Kita ajak masuk, yuk, Ma!"

Aku kaget luar biasa mendengar kata-kata Arumi barusan.

Segera aku dekati dia dan ikut melihat keluar dari kaca yang gordennya tadi dia sibakkan.

Ketika pandanganku mengarah ke pohon sirsak, kilat menyambar. Suasana menjadi terang sesaat. Sekilas aku melihat memang ada dua sosok di depan pohon itu. Bulu kudukku langsung merinding.

Tapi kemudian suasana kembali gelap.

Aku tunggu kilat kembali menyambar supaya bisa melihat dan memastikan bahwa benar ada dua sosok di pohon itu.

Namun, ketika beberapa saat kemudian ada cahaya kilat yang menerangi, tak terlihat lagi ada apa-apa di sana. Dua sosok itu tak tampak lagi.

Segera aku tutup lagi kaca itu. Lalu aku tuntun Arumi ke kamarnya.

"Udah, Arumi tidur ya, Sayang. Udah malam." Ujarku sambil mengusap-usap kepalanya.

Setelah sekitar 10 menit aku menemaninya di kamar itu, Arumipun tertidur.

Aku kembali ke luar. Aku ambil senter besar yang biasa digunakan suami kalau dapat giliran ronda.

Aku sibakkan lagi kaca jendela belakang. Aku sorotkan cahaya senter yang cukup terang itu ke arah pohon sirsak. Meskipun takut, aku penasaran. Ingin memastikan, benarkah tadi itu ada dua sosok di sana?

Sekitar pohon terang oleh cahaya senter. Aku cermati, tapi tidak terlihat ada apa-apa di sana.

Bersamaan dengan itu, hujanpun reda.

Aku tak terbiasa tidur cepat. Jam di dinding baru menunjukkan pukul delapan lewat dua puluh.

Aku putuskan untuk menyicil mengerjakan pesanan jahitan.

Sudah sekitar 1,5 jam aku asik menjahit, ketika sekilas aku merasa ada yang lewat ke arah kamar mandi.

Aku tak menoleh dan terus saja menjahit. Aku pikir, pasti yang barusan lewat itu suami yang mau ke kamar mandi.

Tapi, selang sepuluh menit, suami belum balik juga.

"Hmm, kenapa lama sekali, ya?" Batinku.

Akupun menyusul ke kamar mandi. Ternyata pintu kamar mandi terbuka. Dan suami tidak ada di sana.

Aku terus ke belakang. Rupanya pintu belakang terbuka.

"Oh, rupanya suami keluar." Kembali aku membatin.

Suami memang suka begitu. Kadang, malam-malam dia keluar sebentar untuk sekedar merokok. Karena aku memang melarang dia merokok di dalam rumah.

Akupun kembali menjahit.

Tapi, lagi-lagi aku heran, sudah lebih setengah jam, suami masih belum kembali masuk rumah. Biasanya, kalau keluar untuk merokok, paling lama hanya 10 - 15 menit saja.

Di kamar, aku mendengar suara Naomi seperti merengek. Mungkin dia terbangun. Akupun buru-buru ke kamar.

Perlahan aku dorong pintu kamar. Setelah terbuka, astaga, jantungku benar-benar serasa copot. Suamiku masih tertidur pulas di sebelah Naomi.

Lantas, siapa tadi yang lewat? Siapa yang membuka pintu belakang?

-bersambung-

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun