Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Cerpen | Pulang

1 Maret 2020   22:28 Diperbarui: 22 April 2020   16:00 111 2
Kalau bukan karena bayi yang ada dalam rahimmu, tak sudi aku pulang ke sini!" teriak Bondan sambil menunjuk ke arah perut Rani.

"Bang, istigfar! Apa maksudmu dengan ucapan itu? Ini anakmu, darah dagingmu. Tega kau katakan itu padaku!" Rani menjerit mendengar kalimat yang dilontarkan Bondan.

"Sudahlah, aku pusing! Aku mau tidur. Jangan ganggu aku!" Bondan tak mau kalah bersuara lebih tinggi . Sambil berjalan sempoyongan dia masuk kamar, dengan mulut tercium bau alkohol. Rani hanya berdiri terdiam dan meratapi nasib bersuamikan Bondan.

Bondan yang dulu dikenal Rani baik dan penuh kasih sayang, kini sudah sangat jauh berubah. Perhatian Bondan yang berlebihan kepada Rani membuat Erwan --Kakak Rani-- mengizinkan Bondan menikahi Rani. Namun, kini keadaan berubah setelah Bondan mempunyai komunitas baru. Sering keluar malam dengan alasan ada urusan yang harus diselesaikan, dan pulang selalu dalam keadaan mabuk.

Tujuh tahun berpacaran ternyata belum cukup waktu untuk bisa saling memahami. Rani dan Bondan menikah atas dasar pilihan mereka sendiri. Bondan yang sering berkunjung ke rumah Rani adalah teman Erwan. Seharusnya bisa menjadi pertimbangan untuk berpikir jauh sebelum memutuskan untuk menikah.

"Ran, perutmu makin hari makin buncit. Pikir lagi kalo mau bertindak," Monik menasihati.

"Aku sudah nggak sanggup, tiap hari dia pulang malam dalam keadaan mabuk, marah, kadang juga merusak barang yang ada di dekatnya. Apalagi yang harus aku lakukan, selain pergi darinya?" Bulir bening mengalir di pipi Rani yang tirus.

"Kamu ingat dulu, sebelum menikah apa pertimbanganmu memilih Bondan. Kamu sudah minta nasehat Kak Erwan, kan? Kenapa sekarang kamu tidak minta nasihatnya lagi?"

"Kak Erwan nggak mau ikut campur urusan rumah tanggaku.  Dia bilang aku bisa menyelesaikan sendiri urusanku. Lagi pula, Bondan yang sekarang sudah berubah. Bukan lagi seperti yang aku kenal dulu, entah apa sebabnya," keluh Rani.

"Kamu harus kuat, Ran. Demi bayi yang ada dalam kandunganmu. Apa pun kondisimu, kau harus tetap tegar dan ceria. Agar emosimu tidak berpengaruh terhadap bayimu." Monik tetap membujuk Rani.

***

"Selamat, ya, Ran, sudah punya jagoan sekarang. Lama kita nggak ketemu, ya. Tahu-tahu sudah besar anakmu. Eehh, ke mana, nih, ayahnya? Kok, dari tadi belum kelihatan?" Pertanyaan Monik membuat Rani terdiam.

"Diminum dulu, nih, tehnya. Ngobrol terus nanti haus, lho." Rani mengalihkan pembicaraan.

 "Ran, ada yang kamu sembunyikan dari aku, ya? Ke mana Bondan? Apa yang terjadi? Kalian jadi berpisah?" Monik berusaha mencari jawaban dari rasa penasarannya.

"Entahlah, aku sendiri juga nggak tahu. Kalo hidup di mana tinggalnya, kalo pun mati di mana kuburnya." Datar Rani menjawab pertanyaan, sambil berlalu membereskan sesuatu.

"Ran, apa maksudmu? Apa yang terjadi dengan Bondan?" desak Monik.

"Kami sempat mengontrak rumah sendiri, berusaha mandiri tidak merepotkan saudara. Kebiasaannya pulang malam dan selalu dalam keadaan mabuk semakin menjadi. Bondan sudah berubah. Bukan yang aku kenal dulu. Suatu malam dia pamit hendak ke rumah temannya, bilang kalo mau lihat barang antik milik temannya itu. Namun, hingga hari ini, dia tidak pernah pulang atau menemuiku. Bahkan, anaknya pun tak pernah ia jenguk." Pandangan Rani menerawang jauh, membelah mendung yang menggelayut.

"Jadi, hingga sebesar ini Dio belum pernah bertemu ayahnya? Lalu apa jawabmu kalo dia bertanya tentang ayahnya?" Monik semakin dalam menanyakan keadaan Rani dan Dio.

"Aku hanya menjawab ayahnya sedang kerja di luar kota. Sambil menunggu waktu yang tepat untuk bisa menjelaskan keadaan yang sebenarnya."

"Lalu, kebutuhanmu tiap hari dari mana? Susu untuk Dio? Kebutuhan lain? Astaga Ran, bagaimana mungkin semua bisa jadi begini?" Monik mulai emosi mendengar cerita Rani. Sementara, Rani hanya tersenyum kecut membalas pandangan Monik.

Kepergian Bondan yang tanpa alasan meninggalkan berjuta derita bagi Rani. Usaha yang pernah dirintisnya pun menjadi beban berat tersendiri. Selain hutang yang menumpuk karena uang telah digunakan sebagai modal usaha, juga pesanan pelanggan yang belum di selesaikan.

Bukan hanya lahir yang tersiksa karena harus bekerja keras mencari nafkah bagi putra tercintanya. Namun, derita batin yang lebih menyakitkan, ketika Rani harus berbohong jika Dio menanyakan keberadaan ayahnya.

"Ma, lebaran nanti Ayah pulang nggak, Ma? Aku pingin dibelikan sepeda lipat seperti punya temanku itu," tanya Dio sambil menunjuk sepeda kuning yang di kendarai seorang bocah yang kebetulan melintas di depan rumah mereka.
"Biasanya kan Ayah selalu kasih aku uang kalo lebaran. Lebaran tahun lalu aku di belikan HP, yang sekarang aku ingin sepeda saja boleh 'kan, Ma?"

"Boleh, nanti Mama bilang ke Ayah. Sekarang Dio mandi salat trus berangkat ngaji, oke?" Rani berusaha tegar, meskipun dalam hati dia tak tega harus berbohong pada Dio.

Sewindu sejak kepergian Bondan tanpa kabar, membuat Rani menjadi perempuan tangguh yang siap dengan segala keadaan. Termasuk ketika harus mengurus surat cerai. Dengan percaya diri dia mengajukan gugatan cerai terhadap Bondan. Hakim pun tak mempersulit proses  persidangan. Surat panggilan sidang yang di tujukan untuk Bondan tak pernah dihadiri. Pun saudara atau orang tuanya tak pernah risau dengan keberadaan Bondan.

Hari itu, Rani mendengar kabar kalau Bondan ada di rumah saudaranya, yang kebetulan tinggal di ujung gang rumah Rani. Ada perasaan khawatir, marah, takut bercampur menjadi satu. Dia takut mengatakan keadaan sebenarnya kepada Dio. Dia juga takut kebohongannya selama ini diketahui oleh Dio.

 Selama ini, Rani selalu berbohong tentang ayah kandungnya yang bekerja di luar kota dan hanya akan pulang dengan bertumpuk-tumpuk uang. Namun, pada kenyataannya Rani sendiri tak tahu apa yang telah terjadi pada Bondan. Hanya kebaikan Bondan yang selalu Rani ceritakan kepada Dio. Tak pernah sekali pun dia menceritakan tentang keburukan Bondan.

Tetiba, telepon berdering saat Rani hendak berangkat menjemput Dio. Sambil tergesa diangkatnya HP yang sudah masuk dalam tas. Nomor tak dikenal yang muncul di layar. Tak seperti biasanya yang selalu mengabaikan nomor asing. Kali ini Rani mengangkatnya. Betapa terkejut ketika mengenali suara di ujung telepon.

"Kamu apa kabar, Ran? Maaf jika selama ini aku tak pernah memberimu kabar. Aku hanya ingin memastikan kamu dan anak kita baik-baik saja. Aku nggak akan mengusik kebahagiaan kalian." Suara Bondan mengacaukan suasana hati Rani. Diam tak berucap sedikit pun, sibuk dengan kalimat apa yang harus dikeluarkan. Rani hanya bisa meneteskan air mata.

"Untuk apa kamu datang? Apalagi yang akan kau hancurkan? Kurang banyakkah penderitaan yang kau tinggalkan untuk kami? Pergi sana! Biarkan aku dan anakku menjalani hidup tanpamu. Itu akan jauh lebih baik bagi Dio untuk tidak mengenal siapa ayahnya." Meluncur kalimat yang tak pernah disiapkan Rani sebelumnya.

"Aku tahu, aku hanya ingin melihat Dio dari jauh. Apa pun yang telah terjadi, dia adalah anakku. Darah dagingku. Terima kasih sudah merawat Dio dengan baik. Aku memang tak pantas menjadi ayah baginya." Suara Bondan terdengar serak menahan perasaan.

"Sudahlah, tak ada yang perlu dibahas. Urus saja dirimu sendiri! Aku akan jemput Dio. Maaf. Assalamualaikum." Rani mengakhiri telepon.

Pikiran melayang entah ke mana, sambil mengendarai motor Rani berpikir bagaimana caranya menjelaskan kepada Dio tentang ayahnya. Dia hanya takut Dio terpengaruh ayahnya setelah mengetahui kebohongan Rani selama ini. Tak ada pilihan lain selain harus jujur kepada Dio.

"Mama, melamun, ya?" sapa Dio mengejutkan Rani. "Dio perhatikan dari jauh Mama kelihatan bingung gitu?

"Eh, anak Mama sudah di sini. Iya, maaf, lagi nggak enak badan ini. Mama pingin makanan yang menyehatkan. Kita cari tempat makan, yuk!"

Dio dibonceng Rani menuju salah satu cafe yang terdekat dengan sekolah. Sambil menyiapkan kalimat yang hendak disampaikan, Rani memilih menu makan favorit mereka berdua.

"Dio, Mama ingin bicara sedikit. Dio jangan marah ya dengan apa yang Mama ceritakan nanti. Semua tujuan Mama demi kebaikan Dio." Hati-hati Rani menata kalimat.
"Mama minta maaf jika selama ini sering berbohong pada Dio tentang Ayah. Sebenarnya Mama juga belum tahu Ayah ada di mana. Namun, Mama yakin Dio anak baik. Akan bisa menerima keadaan yang sesungguhnya." Tampak Dio terdiam, berusaha memahami apa yang disampaikan Rani.

"Jadi aku harus bagaimana Ma, kalau Ayah datang dan mengajakku. Aku boleh ikut?" Dio bertanya dengan lugu.

"Boleh, kamu boleh ikut Ayah jika diajak, tapi tidak untuk menginap. Ingat pesan Mama, jangan pernah meminta yang berlebihan. Belum tentu juga Ayah bisa memberikan apa yang Dio minta."
***
Dio pun tumbuh menjadi pemuda yang tangguh. Tetap ramah dan sopan terhadap siapa pun, seperti yang diajarkan Rani. Walaupun dia terlahir dari keluarga yang bermasalah, tetapi kebaikan budi dan akhlaknya yang mulia tidak diragukan lagi. Tak pernah ia menyimpan dendam kepada siapa pun. Terlebih kepada ayahnya yang telah menelantarkannya dari kecil.

Suatu hari, Dio mendapat kabar kalau ayahnya dirawat di rumah sakit. Namun, ia tak menceritakan hal ini kepada ibunya.

Hingga suatu ketika, tetangga depan rumah mengabarkan keadaan Bondan yang terbaring lemah di rumah sakit. Rani pun segera memberitahukan kepada Dio.

"Dio, mama dengar kabar, ayahmu dirawat di rumah sakit. Apa kamu tidak ingin menjenguknya?"

"Untuk apa dijenguk? Biarkan saja mati!" ucap Dio.

Rani terkejut. Tak pernah mengira anaknya akan mampu mengatakan hal itu pada ayahnya.

"Dio! Bicara apa kamu? Apa pun yang telah terjadi antara mama dan Bondan, dia tetap ayahmu selamanya! Mama tak pernah mengajarkan kamu bicara seperti itu!" teriak Rani setelah mendengar jawaban Dio.

"Sudahlah, Ma! Mama tidak tahu apa pun tentang Ayah."

"Tapi tidak seperti itu mama mengajarkan kamu!"

"Maafkan Dio, Ma. Tidak seharusnya Dio berkata begitu. Tapi tahukah Mama?" Dio ragu melanjutkan kalimatnya. Beberapa saat dia memandang wajah lembut mamanya.

"Ayah pernah mengajakku minum minuman keras, sedangkan saat itu dia bersama perempuan lain. Apakah aku harus taat dan hormat padanya?"

Rani sangat terkejut dan terpukul mendengar ucapan Dio. Tak pernah sedikit pun menduga perlakuan Bondan pada anaknya. Pucat pasi wajah Rani seketika.

Dio mengerti perasaan mamanya. Segera ia hampiri dan memeluknya erat. Berusaha meyakinkan Rani bahwa ia tetap Dio seperti yang Rani inginkan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun