Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Hari Pendidikan Nasional, Jangan Muluk-Muluk, Belajar Lagi Saja Etika-Etika Sederhana

2 Mei 2024   16:52 Diperbarui: 9 Mei 2024   01:57 96 4
PERNAHKAH Anda mengalami kejadian-kejadian ini :

Berada satu lift dengan teman sekantor yang usianya jauh lebih muda, lalu mereka hanya diam saja. Sibuk mengutak-atik handphone tanpa peduli lagi bahwa Anda adalah teman satu ruangan yang berada persis di depan atau di sampingnya.

Pernahkah Anda berangkat ke kantor membawa bawaan berat, lalu teman satu ruangan yang lewat seolah tak peduli. Ia hanya bergegas berjalan dan menganggap bahwa Anda  adalah seseorang yang tak perlu lagi diperhatikan. Toh, Anda juga merasa mampu membawa beban itu tanpa sekalipun meminta tolong.

Pernahkah saat sibuk presentasi di depan kelas, tiba-tiba satu atau dua murid Anda duduk menyilangkan kaki, seolah tak lagi mempedulikan bahwa Anda adalah pengajar yang seharusnya sangat mereka hormati dan orang terpenting di kelas hari itu.

Pernahkah Anda naik kendaraan umum dan tidak mendapatkan tempat duduk, lalu orang-orang jauh lebih muda tak lagi mempedulikan Anda sebagai orang yang harus dituakan dan harus mendapatkan prioritas tempat duduk.

Pernahkah Anda memiliki tetangga dekat berpendidikan tinggi dari kampus ternama, lalu berlalu berjalan saja tanpa permisi, ketika Anda sibuk mencuci mobil di depan rumah. Mereka hanya menganggap Anda adalah seorang tak penting untuk disapa. Toh, juga tidak kenal meski tinggal bersebelahan.

Ya, yang pasti banyak sekali kejadian sehari-hari yang membuat kita prihatin dan mengelus dada.

Prihatin karena yang melakukan adalah orang-orang terdekat yang seharusnya sangat peduli dengan kita dalam kehidupan sehari-hari. Mengelus dada karena sesungguhnya kita tidak bisa melakukan perubahan apa-apa terhadap kejadian-kejadian yang terus berulang semacam itu.

Semuanya adalah hal-hal menjengkelkan yang tidak patut, tapi tetap saja terus berulang lagi pada esok harinya.

Karenanya, saya kagum dan salut kepada Budayawan Sujiwo Tejo yang selalu mengingatkan praktik etika-etika sederhana ini kepada manusia lainnya.

Dalam sebuah pertemuan, Mbah Tejo meminta orang yang duduk di belakang untuk keluar ruangan karena sama sekali tidak memperhatikannya berbicara. Ketika Mbah Tejo berucap, mereka malah sibuk berbicara sendiri tanpa peduli keberadaan sosok di depannya.

Dalam kesempatan lain, dalam sebuah talk show, Mbah Tejo mengingatkan seorang yang sibuk mengoperasikan handphone, tanpa peduli pembicaraan yang disampaikan Mbah Tejo sendiri. Padahal, selama orang tadi berbicara, Mbah Tejo begitu konsentrasi memperhatikannya. Seolah yang berbicara pada diskusi itu adalah orang terpenting di ruangan tersebut.

Tanpa disadari itulah dinamika etika umum yang kita pegang saat ini. Etika kita saat ini seolah sedang mengalami kemerosotan tanpa ada upaya untuk mengembalikan lagi pada keadaan semula.

Mbah Tejo adalah satu dari sekian juta orang di Indonesia yang ingin etika-etika sederhana kembali dijunjung dan dipraktikkan.

Pernahkah kita sadari bahwa transfer pengajaran etika tersebut hanya diberikan saat kita masa kanak-kanak, lalu semakin menurun frekuensinya seiring kita beranjak dewasa. Terlebih lagi, kesibukan orang tua kita, membuatnya tidak lagi mengevaluasi apakah etika-etika sederhana itu kita terapkan lagi dengan tepat ataukah tidak.

Orang tua kita tidak lagi menegur, tatkala melihat kita tidak lagi menyapa tetangga. Mereka hanya menganggap bahwa itu hanya hal yang biasa dan lumrah saja. Tanpa kita sadari kelumrahan tersebut berulang setiap hari lalu menjadi kewajaran yang kita tuai bersama belakangan ini.

Di sekolah, etika bukan lagi pengajaran dalam tataran praktik. Etika sudah dibakukan menjadi pelajaran akademik saja. Evaluasi pengajaran etika hanya melalui angka-angka saja lewat berbagai macam pelajaran. Mana kala, seorang murid sudah mendapatkan nilai yang bagus, seorang guru pun sudah menganggap dirinya sukses melakukan dua transfer : ilmu sekaligus etika.

Kini, tidak terbayangkan bila ternyata pelanggaran-pelanggaran sederhana itu dilakukan banyak orang. Hari Pendidikan Nasional seperti sekarang ini seharusnya menjadi refleksi bersama. Bahwa pendidikan bukan lagi mengukur hal-hal yang terasa formal dan angka-angka saja.

Hari pendidikan seharusnya menjadi perenungan bersama sudahkah etika berjalan seiring makin baiknya tingkat pendidikan kita yang terus kita bangga-banggakan hari ini.

Keberhasilan pendidikan harus lebih mengubah kita pada makin meningkatnya tingkat keadaban sebagai manusia.

Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka etika sederhana yang kita terapkan  seharusnya semakin kuat. Bukankah orang yang terdidik, memiliki kesadaran otomatis untuk melaksanakan etika-etika sederhana dalam kehidupan itu.

Seorang terpelajar dengan sertifikat master tentu memiliki cara bertetangga yang jauh lebih baik  dengan orang yang hanya lulusan SMP. Ia seharusnya memiliki kepedulian yang sangat tinggi kepada tetangganya, dibandingkan mereka yang hanya mengenyam pendidikan dasar. Tapi, kita merasakan kualitas yang sebaliknya.

Seorang mahasiswa di kampus, tentu jauh lebih bisa menghormati dosennya yang mengajar di depan kelas, dibandingkan siswa kelas dua SD.

Rasanya sudah benar, kalau kemudian beberapa daerah di Jawa Timur memikirkan pendidikan karakter di sekolah.

Namun, hal tersebut jangan sampai hanya menjadi rutinitas kurikulum semata, dimana pendidikan tidak  mampu menginternalisasikan kepada siswa soal etika-etika sederhana.

Jangan sampai, pendidikan karakter hanya program semata yang menggerus anggaran negara tapi tidak lagi mampu mengubah penghargaan orang kepada etika.

Sekali lagi, pendidikan bukan sekadar angka, tapi harus bisa mengubah keadaban manusia.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun