Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Mengamati Spiritualitas di Negeri Post-Christian

23 September 2010   10:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:02 386 0
Selama ini kekristenan seringkali di-identik-kan dengan Eropa dan ”Barat”. Namun sebenarnya sejak 2 dekade terakhir ini, identitas Eropa sebagai negeri Kristen nampaknya semakin memudar. Ada beberapa pengamat yang mengatakan bahwa Eropa telah memasuki era Post-Christian. Bagi mereka yang berpendapat demikian, mereka membandingkannya dengan suatu masa dalam sejarah di mana kekristenan begitu mengurat akar di dalam kehidupan masyarakat dan bangsa. Kekristenan memegang peranan yang penting dan mewarnai berbagai aspek kehidupan di dalam negara.

Meskipun demikian tidak semua pengamat setuju dengan pendapat tersebut. Ada yang berpendapat bahwa Eropa sebenarnya tidak pernah menjadi negeri Kristen, sehingga saat ini tidak tepat jika mengatakan mereka memasuki era Post-Christian. Meskipun demikian terlihat jelas sekali kekristenan pernah menjadi ”budaya dominan” di kehidupan orang-orang Eropa dari berbagai peninggalan sejarah yang mereka miliki. Kekristenan telah meniggalkan ”jejak” yang kuat dalam nilai-nilai kemanusiaan, kebenaran dan keadilan yang dipraktekkan hinga kini. Di samping itu, terlihat juga kehadiran bangunan gereja hampir di setiap sudut kota-kota besar maupun kota-kota kecil.

Kesempatan belajar di Inggris yang dialami penulis tahun 2004-2005, juga memberikan pemahaman dan pengalaman tentang kondisi kekristenan di Eropa (khususnya di Inggris). Memang sungguh sedih ketika melihat bagaimana gedung-gedung gereja (cathedral) yang besar hanyalah menjadi museum bagi para turis. Memang masih ada ibadah rutin yang dilakukan, tetapi isinya kosong melompong. Seolah-olah tidak sebanding dengan besarnya gedung tersebut. Belum lagi melihat perilaku sebagian besar orang yang nampaknya cuek dengan agama dan kerohanian. Sedih sekali melihat bagaimana kekristenan seolah-olah menjadi ”tamu asing” di rumahnya sendiri. Bahkan penulis pernah ditanya oleh seorang dosen di sekolah teologia tempat penulis kuliah, ”Apa kesan saudara setelah tiba di Inggris?” Dan penulis menjawab, ”Wah... ternyata Inggris tidak se-Kristen yang saya bayangkan”.

Penulis terinspirasi ketika mengikuti ceramah yang dibawakan oleh Jeff Fountain di L’Abri Fellowship UK tahun 2005 dengan topik “HOPE FOR EUROPE”. Topik ini merupakan kerinduan dan juga menjadi judul buku yang ditulis oleh Fountain. Dengan menggunakan pendekatan sejarah Fountain mencoba memberikan gambaran kondisi kekristenan yang terjadi saat ini di Eropa. Dalam salah satu kesimpulannya, Fountain menuliskan, ”In short, Europe is becoming a mission field of neo-pagans. The centre of gravity of the worldwide church has moved from Europe and the West to the Two-Third World”. Dalam konteks misi dunia pun ada paradigma yang berubah. Jika dahulu seringkali kita mendengar bahwa misi “from the west to the rest” namun saat ini misi dikatakan“from everywhere to everywhere”.

Fountain membeberkan fakta-fakta berikut ini untuk menggambarkan kemunduran besar dari segi jumlah orang Kristen di Eropa, Tahukah Anda:

Jumlah orang percaya di Cina melebihi jumlah seluruh penduduk Jerman (80 juta)?

Ada lebih banyak jumlah orang Anglikan di Nigeria (bekas jajahan Inggris) daripada jumlah seluruh orang Anglikan di Inggris dan Amerika?

Satu gereja di Korea memiliki jumlah anggota terdaftar yang sebanding dengan seluruh penduduk Amsterdam?

Ada lebih banyak jumlah anggota gereja Assembly of God di Brazil dibandingkan jumlah seluruh orang Injili di seluruh Eropa?

Di Perancis saat ini ada lebih banyak jumlah paranormal/dukun/cenayang (spiritist healers) daripada gabungan jumlah seluruh dokter, ahli hukum dan pendeta di seluruh Perancis?

Mengapa sampai terjadi demikian? Penulis mencoba menyimpulkan bahwa intinya adalah “manusia yang meninggalkan Tuhan”. Memang dalam prosesnya kemunduran kekristenan tentu dipengaruhi berbagai faktor. Tapi kembali menyadari bahwa hidup melepaskan diri dari Allah adalah suatu awal kehancuran.

Ketika manusia mencapai banyak prestasi yang mengagumkan, khususnya kemajuan dalam bidang tekonologi dan ekonomi, terlihat bagaimana rasa puas diri yang kemudian berakhir pada keinginan untuk menjadi “allah” atas hidupnya sendiri. Agama kemudian dianggap sebagai hal yang sudah usang.

Mungkin pula situasi ini dibarengi dengan gereja yang ketika itu mulai dimasuki oleh ajaran liberal yang meragukan kebenaran Alkitab (Firman Tuhan). Dasar yang teguh digantikan dengan filsafat manusia yang kosong. Tidaklah heran kalau pada akhirnya kita bisa menyaksikan kekristenan di Eropa yang hanya tinggal MONUMENT dan bukan lagi MOVEMENT.

Meskipun situasi kekristenan di Eropa saat ini terlihat begitu sulit, Fountain juga membahas secara khusus tentang masih adanya harapan di tengah-tengah kondisi yang menyedihkan yang dialami gereja di Eropa saat ini.

Memang terlihat ada suatu paradoks yang menarik dari kekristenan di Eropa. Meskipun manusia modern mencoba melupakan Tuhan, tetapi mereka tetap saja berupaya mencari kepuasan spiritual dalam kehidupan mereka. Spiritualitas agama-agama “Timur” menjadi pilihan yang diminati banyak orang di Eropa.

Seiring dengan globalisasi, penyebaran informasi semakin cepat dan semakin luas jangkauannya. Informasi bukan hanya menjadi informasi lokal, melainkan informasi sedunia. Di satu sisi, hal ini memberikan peluang bagi agama-agama pun menjadi tawaran pilihan hal yang bisa ditemui di berbagai tempat di dunia. Sehingga bukanlah pemandangan yang mengherankan ketika melihat jalan-jalan yang ramai di Inggris dan Amsterdam ada orang bule yang menjadi mempromosikan dan menjadi pengikut Sai Baba.

Peluang ini menjadi salah satu poin utama dalam pembahasan Fountain. Dia menyerukan orang Kristen di Eropa untuk meletakkan kembali dasar Tuhan di tengah-tengah kehidupan manusia yang sekarang ini. Istilah post (post-christian, post-modern, post-communist, post-migram, dll) menyiratkan bahwa segala sesuatu yang sifatnya post itu hanyalah sementara. Ketika kerajaan Romawi runtuh di seluruh Eropa, terjadilah kekacauan dan perpecahan, sampai pada akhirnya para pemberita Injil masuk dan menceritakan kabar baik itu. Masyarakat yang dibangun ini kemudian menjadi fondasi awal dari suatu keteraturan baru, western civilization.

Bercermin dari pengalaman ini, penulis menyadari bahwa kita tidak boleh melupakan sejarah. Kita tidak boleh melupakan akar kita. Seringkali dunia modern dengan segala kemajuannya, hanya menyibukkan kita dengan dimensi materi dan fisik, sehingga dimensi rohani cenderung diabaikan. Inilah masalah dalam dunia modern kita. Di sinilah pentingnya kita dapat melihat makna dan nilai nilai rohaniah dari hal-hal yang dapat dilihat dan disentuh. Makna rohaniah ini tidak bersifat sementara, tetapi kekal.

Di tengah segala kemajuan yang dicapai manusia, penting sekali untuk teguh berpegang kepada Tuhan. Tuhan bukanlah embel-embel yang menyertai keberhasilan manusia. Tuhanlah yang memberikan keberhasilan bagi manusia. Penting sekali untuk memelihara spiritualitas yang benar.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun