Saya memarkir motor tepat di depan tiga anak kecil. Dua orang sedang makan bakso tusuk, satunya lagi hanya melihat-lihat.
"Sudah makan bakso?" Tanyaku.
"Belum." Jawabnya.
Jawabannya membuatku merasa iba padanya. Saya memeriksa saku jubah saya dan menemukan uang yang lalu saya berikan padanya.
Ia menerimanya dengan ekspresi tidak percaya. Saya meyakinkannya jika uang itu buatnya. Ia tak mengucapkan sepatah kata pun padaku.
Di dalam masjid, ada perasaan ingin ke toilet. Saat setelah berwudhu, saya sejenak lupa mengambil songkokku. Anak kecil tadi itu mengingatkanku. Saya tersenyum berterima kasih padanya. Sesaat kemudian anak itu menyodorkan beberapa lembar uang receh kepadaku. Ternyata ia menungguiku hanya sekadar untuk memberiku kembalian. Saya menolaknya dan mengatakan jika semua itu miliknya.
Saya masuk ke dalam masjid kembali. Dan mengenakan jas yang saya tinggalkan dalam masjid. Anak itu kembali lagi bersama temannya menemuiku. Ternyata ia hanya ingin mengucapkan terima kasih padaku. Sesuatu yang tak saya duga sama sekali. Membuatku merasa kagum pada sang anak.
"Kamu kelas berapa sekarang?"tanyaku.
"Masih TK, Om" jawabnya pendek lalu pergi sambil tersenyum.
Apa yang anak itu lakukan dengan mencoba memberiku uang kembalian, mendatangiku di tempat wudhu yang saya pun tak tahu bagaimana ia bisa tahu saya di sana, mengingatkanku songkok yang saya tinggalkan, dan mendatangiku untuk mengucapkan terima kasih merupakan hal yang luar biasa hebat. Sebuah akhlak mulia yang ditunjukkan oleh seorang anak kecil yang hebat.
Ternyata hal sederhana dan pemberian tak seberapa itu memunculkan pelajaran berharga bagiku malam itu. Jauh lebih berharga dibanding ceramah tarwih yang saya sampaikan malam itu.
Terima kasih, Nak, yang saya bahkan lupa menanyakan namamu.
Cerita Ramadhanku....