Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Kontrakan Haji Goni

4 Juli 2019   13:24 Diperbarui: 4 Juli 2019   13:33 20 0
Haji Goni marah-marah lagi. Kali ini, seorang pemuda tertikam kalimatnya yang tajam. Matanya jalang. Urat-uratnya muncul di sela-sela pelipisnya yang basah karena keringat.

"Lu kencing jangan sembarangan! Ini bukan WC umum!"

"Maaf, Aji. Tadi saya kebelet," Dani menunduk. Jari-jarinya basah.

"Elu tahu, ini kamar mandi fasilitas buat orang yang tinggal di kontrakan gue. Bukan buat elu!"

"Makanya elu ngontrak aja di sini. Tuh kamar yang pojokan kosong," lanjut Haji Goni, jarinya menunjuk kamar yang dimaksud.

"Anu, Aji. Sebenarnya saya itu ...anu ...," ujar Dani terbata-bata sambil mengusap-usap tengkuknya.

"Eh, ada Nak Dani. Kok ga bilang-bilang kalau mau kemari?" tanya wanita paruh baya dengan daster motif abstrak.

"Elu kenal dia, Mah?"

"Kenal lah, Bang. Kan dia calon mantu aye. Calon lakinya Rika," ujar Fatimah sambil menarik tangan Dani agar segera masuk ke kontrakannya.

"Nah, mumpung elu lagi nongol. Gue minta uang kontrakan elu. Elu udah nunggak dua bulan," cerocos Haji Goni mengambil kesempatan untuk menagih uang kontrakan.

Setiap awal bulan Haji Goni berkeliling menagih uang kontrakan ke para penyewa. Tidak banyak kamar yang ia kontrakan, hanya lima kamar. Selain itu, ia juga menyewakan opelet. Jumlahnya juga lima.

"Hush, jangan keras-keras, Bang! Ntar calon mantu aye dengar. Aye kan malu. Sabar dulu napa, Bang," rayu Fatimah sambil mengelus-elus lengan Haji Goni.

"Hush! Hush! Bukan mahram!"

Haji Goni refleks menepis tangan Fatimah.

"Bulan depan aye kan mantu. Abang tunggu sampai bulan depan, ya! Kepala aye masih pusing ngurusin pernikahannya Rika," kata Fatimah memelas.

"Oke, gue tunggu bulan depan. Kurang sabar apa coba?"

"Sabar, Abang orangnya sabar banget. Kagak ada duanya."

Fatimah mengangkat dua jempol tangan untuk mendukung ucapannya.

Haji Goni tersenyum lebar mendengar pujian Fatimah.

Kepala Haji Goni menoleh ke arah derap kaki yang melaju kencang ke arahnya.

"Eh, eh, mau lari ke mana elu?" teriak Haji Goni begitu melihat laki-laki yang hanya mengenakan kaus oblong dan sarung. Tangannya mengacung ke arah laki-laki itu. Haji Goni berlari mengejar, meski napasnya senin kamis.

"Kejar terus, Bang. Jangan sampai lepas!" provokasi Fatimah.

Jali sudah berusaha lari sekencang-kencangnya saat Haji Goni sedang bicara dengan Fatimah. Rupanya radar satu juta Haji Goni yang canggih mampu mendeteksi salah satu sumber penghasilannya lewat.

"Saya kebelet, Bang Aji," teriak Jali seraya berlari tanpa berhenti sedikitpun.

"Elu kebeletnya kalau tanggal muda aja."

Haji Goni menghentikan langkahnya. Ia memilih meninggalkan Jali yang sudah berada di dalam WC.

"Jangan lupa disiram!" teriak Haji Goni meninggalkan tempat terakhir ia berhenti.

Kini Haji Goni melangkah ke kontrakan berikutnya.

"Pagi, Haji Goni!" sapa laki-laki yang sedang menyalakan dupa.

"Pagi juga!"

"Elu aman. Gue demen ama orang yang tertib kayak elu. Akhir bulan, belum gue tagih sudah bayar duluan. Gue demen yang begini."

"Kalau gitu, tyang dapat diskon dong, Pak Haji. Di mana-mana yang bayarnya tertib dapat diskon sebulan tidak membayar," rayu Wayan dengan logat Bali yang kental.

"Iya, ntar gue pikirin. Baru juga tiga bulan di sini, elu sudah minta diskon aja," elak Haji Goni.

Wayan mengangguk dan pamit untuk sembahyang di sanggah yang ia pasang di depan pintu rumah.

Haji Goni melangkah ke pintu kontrakan berikutnya.

Tok-tok.

Kepala wanita sekitar usia 30 tahunan nampak dari pintu yang hanya terbuka separuh.

"Eh, Pak Aji. Tumben pagi-pagi sudah ke sini," kata wanita itu sambil membuka pintunya lebar-lebar.

"Mau pesan sate? Jam segini belum siap, Pak Aji. Kita bukanya sore, sekitar jam empat."

"Siapa juga yang mau pesan sate kambing elu. Emang elu mau tanggung jawab kalau gue kenapa-kenapa terus ga ada lawannya?"

"Enggak lah, Pak Aji. Saya kan cuma ngira-ngira kedatangan Pak Aji ke sini itu ngapain?"

"Kalau Pak Aji enggak mau pesan juga enggak masalah," lanjut Romlah, wanita penjual sate itu.

"Gue ke sini mau kayak biasanya. Awal bulan."

"Biasanya itu ngapain, ya? Seingat saya Pak Aji ke sini kalau mau beli sate aja."

"Duh, Romlah! Gue heran sama elu. Sudah dua tahun ngontrak di sini kok kagak paham-paham juga. Gue mau ngobrol sama suami elu aja. Panggil ke sini!" kata Haji Goni geram.

"Cak, sini!" teriak Romlah dari daun pintu.

"Haji Goni mau ketemu sama Cak Brodin."

"Apa, Dek? Aku lagi sibuk ini. Suruh dia balik saja nanti!"

Haji Goni menggerakkan bibirnya pelan.

"Se-ka-rang."

"Kata Haji Goni sekarang, Cak."

Laki-laki bertubuh tegap muncul dari dalam rumah dengan membawa clurit.

"Ada apa?" tanya Brodin lantang.

"Kata Haji Goni, biasanya."

Haji Goni keder melihat penampilan Brodin. Pasalnya, ia pernah mendengar rumor kalau Brodin pernah menghabisi preman pasar dengan clurit. Haji Goni membayangkan clurit yang dibawa Brodin.

"Awal bulan, Din. Biasanya," suara gemetar Haji Goni terdengar jelas.

"Sabar dulu, Pak. Apa Pak Aji ga lihat saya lagi bawa clurit? Saya lagi motong-motong daging kambing."

"Emang motong daging kambing bisa pakai clurit?"

"Bisa. Brodin!" ujar Brodin seraya menepuk dadanya.

"Motong leher pakai clurit juga bisa," lanjut Brodin dengan menggerakkan tangannya ke leher.

"Oh ... Teruskan kalau gitu. Saya pamit dulu," ujar Haji Goni undur diri.

Haji Goni berjalan gontai menuju rumahnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun