Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Aksi Segera Menentang Eksploitasi Seksual Terhadap Anak

19 April 2011   16:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:38 561 1
EKSPLOITASI Seksual Komersial Anak (ESKA) atau CSEC (Commercial Sexual Exploitation of Children) bukan merupakan masalah baru. Masalah ini terus berkembang dan populasi anak yang menjadi korban terus meningkat. Anak-anak dijadikan komoditas perdagangan dan objek seks orang dewasa sehingga banyak anak kehilangan masa depannya. Di Indonesia, masalah CSEC masih belum diagendakan oleh pemerintah baik pemerintah lokal maupun pemerintah pusat. Penyebabnya karena isu ini dinilai baru. Komitmen dan sensitifitas pun dinilai masih lemah karena belum ditemukan model penanggulangan yang efektif untuk menentang CSEC.

Pada tahun 1996 digelar Kongres I menentang ESKA di Stockholm, Swedia. Pada pertemuan tersebut sebagian negara termasuk Indonesia setuju untuk membuat National Action Plan dan mengimplementasikan agenda aksi menentang CSEC. Sebagian Negara lainnya setuju untuk mengembangkan sebuah Rencana Aksi Nasional (RAN) di negaranya masing-masing menentang ESKA. Sebagai tindak lanjutnya, dilangsungkan Kongres II di Yokohama, tanggal 17-20 December 2001.



Batasan dan Besaran Masalah

Deklarasi Stockholm memberi batasan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) atau Commercial Sexual Exploitation of Children (CSEC) sebagai berikut: Sexual abuses by the adult and remuneration in cash or in kind to the child or a third person or persons. The Child is treated as asexual object and as a commercial object.

Sebagai catatan, dari defenisi di atas, anak dinilai tidak cakap untuk mengambil keputusan dirinya dieksploitasi. Dengan kata lain, keputusannya tidak bisa dijustifikasi sebagai pilihan yang bebas. Anak tetap harus dilindungi dari bentuk eksploitasi yang merugikan dirinya dengan alasan apapun.

Bentuk-bentuk ESKA yang ditemukan di Indonesia yaitu: anak yang dilacurkan (Prostituted Children), Pornografi Anak (Child Pornography), Perdagangan Anak untuk Tujuan Seksual (Trafficking of Children for Sexual Purposes),Pernikahan Dini (Early Marriage) dan Pornografi Anak (Child Pornography).

Anak yang Dilacurkan (Prostituted Children)

Anak yang dilacurkan (Prostituted Children) ini sebagai salah satu bentuk Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA). Anak-anak dijadikan objek seks untuk pemuas nafsu orang dewasa.

Masuknya anak-anak dalam 'kancah' pelacuran bukan merupakan pilihan anak, karena anak tidak dalam kapasitas yang kuat untuk bisa memberikan persetujuan (consent) untuk menjadikan dirinya sebagai pelacur, tetapi lebih karena adanya tekanan sosial, ekonomi ataupun mental dari orang-orang dewasa.

Untuk istilah prostituted children, banyak yang lebih menyetujui pemakaian anak-anak yang dilacurkan bukan pelacuran anak, dengan pertimbangan pada kenyataannya, anak dipaksa untuk menjadi pelacur bukan atas kemauan bebas dari anak-anak sendiri.

Dampak yang terbesar dari prostituted children adalah terjangkitnya PMS seperti HIV/ AIDS di kalangan anak sangat cepat, karena anak tidak memahami dengan baik masalah kesehatan reproduksi, demikian juga potensi untuk aborsi akibat dari kehamilan dini. Di samping itu penggunaan obat-obat terlarang sangat potensial sebab mucikari sengaja memberikan obat-obat tersebut agar anak memiliki ketergantungan.

Kendatipun belum ada data statistik yang berhasil mengungkap jumlah pelacuran anak, namun sebagai perbandingan kita bisa melihat besarnya jumlah pelacur dewasa di Indonesia tahun 1998-1999 yang mencapai 73.990. Diperkirakan 30 persen dari jumlah tersebut adalah berusia di bawah 18 tahun, maka diperkirakan jumlah child prostituted di Indonesia adalah berjumlah 22.197 orang.

Namun sebagai catatan, jumlah pelacur dewasa ini sebenarnya jauh lebih sedikit dibandingkan yang sesungguhnya, karena banyak dari mereka yang belum terdata. Data ini adalah fenomena gunung es, atau masih banyak data yang tidak terungkap ke permukaan.

Pornografi Anak (Child Pornography)

Pornografi terhadap anak merupakan penggambaran, penyebarluasan atau promosi kekerasan atau perlakuan seks terhadap anak termasuk di dalamnya gambar, video, film, komputer, atau bahan cetakan lain. Penampilan atau penayangan kepada publik adegan seks atau dengan organ seks anak-anak untuk maksud memberikan kepada para penontonnya juga termasuk pornografi anak.

Pemanfaatan anak-anak sebagai objek kegiatan pornografi masih belum begitu banyak menjadi perhatian publik, sehingga sulit untuk mendapat gambaran data secara kuantitatif besaran angkanya. Namun yang jelas, secara kualitatif intensitas penggunaan anak-anak sebagai objek sudah jelas terlihat dari situs-situs porno di internet.

Trafficking of Children for Sexual Purposes

ECPAT yang mengutip pendapat dari hasil Kongres I Stockholm memberikan batasan perdagangan anak sebagai, "Pergerakan atau perpindahan orang secara rahasia dan terlarang dengan melintasi perbatasan wilayah (lokasi) dengan tujuan akhir untuk memaksa orang-orang tersebut masuk ke dalam situasi yang secara seksual atau ekonomi bersifat menekan dan eksploitatif dan memberikan keuntungan bagi para perekrut, trafficker dan sindikat kejahatan."

Unsur-unsur trafficking yang terpenting adalah: perpindahan orang, melintasi batas wilayah, paksaan/eksploitatif, tujuan seksual/ekonomi, rekrutmen. Sama halnya seperti masalah child prostituted, jumlah korban perdagangan anak untuk kepentingan pelacuran (Trafficking of Children for Sexual Purposes) setiap tahunnya masih tertutupi. Tetapi kalau melihat data di Kepolisian RI, maka pada tahun 2000 saja, jumlah kasus child trafficking yang dilaporkan lebih dari 1,400 kasus, belum lagi yang tidak dilaporkan atau tidak diketahui.

Menurut laporan yang dikeluarkan UNICEF Representative Indonesia-Malaysia, jumlah perempuan yang diperdagangkan di Indonesia setiap tahun mencapai 40.000 orang dan dari data tersebut sekitar 30 persen di antaranya adalah anak-anak.

Pernikahan Dini (Early Marriage)

Di Indonesia, fenomena pernikahan dini sudah lama terlihat. Beberapa faktor penyebabnya adalah tekanan masalah ekonomi yang menimpa keluarga dan juga faktor budaya lokal yang permisif terhadap pernikahan dini. Anak-anak perempuan dinikahkan dalam usia di bawah 16 tahun, tekanan ekonomi keluarga sehingga anak tidak membebani keluarga lagi dan malah diharapkan mampu membantu keluarga.

Pernikahan dini anak perempuan ini, mengandung risiko amat besar bagi anak-anak, karena banyak menimbulkan ekses negatif seperti perceraian, keguguran dan gangguan kesehatan reproduksi lainnya.

Menurut Survey Nasional tahun 1998 ada lima provinsi dengan angka pernikahan dini yang cukup mengkhawatirkan di Indonesia yaitu Jawa Timur (39,43 persen), Kalimantan Selatan (35,48 persen), Jambi (30,63 persen), Jawa Barat (30,36 persen) dan Jawa Tengah (27,84).

Pedofilia

Seseorang yang merasa bergairah kepada anak-anak untuk berhubungan seksual dinamakan pedofilia (dari bahasa Yunani: paidophilia). Perilaku seks kaum pedofilia antara lain: memamerkan alat kelamin, mengambil foto anak-anak dalam situasi bugil atau setengah bugil, menyuruh anak menyaksikan persetubuhan, dibawa ke hotel dan kemudian diberi pil sehingga anak tidak sadar lalu diperkosa. Juga meraba atau mencium anak-anak, sodomi dan sebagainya.

Di Indonesia kasus pedofilia yang menonjol adalah kasus yang terjadi di Bali dan beberapa daerah tujuan wisata lain di Indonesia seperti Batam, Sumatera Utara dan sebagainya. Hasil penelitian Rohman dan Rosy (1999) tentang masalah ini sungguh mencengangkan. Selama penelitian, mereka telah menemukan 10 kaum Pedofil yang umumnya adalah orang asing dan para korbannya adalah anak-anak perempuan dari desa miskin di Bali. Anak-anak ini sebagian malah sudah diboyong ke negaranya.

Daerah lain sudah terbukti adanya kasus pedofilia adalah Sumatera Utara, yakni di kawasan Tanjung Morawa, Deli Serdang ada tiga kasus yang berhasil diekspos media massa dengan pelaku orang asing juga menyamar sebagai guru les bahasa Inggris.

Aksi yang Sudah dilakukan

Kalau dianalisis lebih jauh aksi untuk menentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) atau Commercial Sexual Exploitation of Children (CSEC) masih sangat terbatas dilakukan, dengan ruang lingkup yang kecil. Pasca Kongres I Stockholm, Pemerintah Indonesia belum menyusun National Action Plan yang disahkan sebagai agenda nasional yang resmi untuk menentang ESKA.

Dua elemen yaitu NGO dan pemerintah punya perhatian dan persepsi yang berbeda untuk masalah ESKA ini. NGO terbatas pada aksi berupa riset/investigasi, pendampingan terbatas untuk prostituted children, kampanye menentang perdagangan anak, penyelamatan dan pembentukan shelter/crisis center.

Sedangkan pemerintah baru melakukan pengesahan Konvensi ILO 182, penandatanganan Optional Protocol on CRC (Protokol Opsional Konvensi Hak Anak atau KHA) tentang Pornografi Anak, Perdagangan Anak dan Pelacuran Anak serta Keputusan Presiden tentang pembentukan Steering Committee the Worst Forms of Child Labour yang salah satunya adalah anak-anak yang dilacurkan. Disayangkan, pemerintah Indonesia belum segera meratifikasi Protokol Opsional KHA tentang perdagangan anak, pornografi dan prostitusi anak (masih sebatas menandatangani oleh Departemen Luar Negeri).

Padahal, tidak ada resistensi politik ataupun juridis bagi pemerintah untuk meratifiaksi Protokol Opsional KHA tentang ESKA tersebut. Perlu ditekankan bahwa ESKA belum dipahami sebagai pelanggaran HAM, namun hanya isu kemiskinan atau isu ekonomi saja.

Rekomendasi

Atas pertimbangan di atas, NGO dari Indonesia diwakili PKPA berkomitmen untuk melakukan langkah-langkah bagi melawan ESKA di Indonesia. Setelah Kongress Yokohama ini, kami NGO dari Indonesia akan membangun jaringan nasional untuk melawan ESKA (NGO untuk menentang ESKA). Di samping itu, NGO dari Indonesia, berkomitmen untuk mendesak dan mendukung upaya reformasi hukum yang pro anak, yakni menjamin realisasi aksi menentang ESKA. ***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun