Muncul sebuah pertanyaan terhadap mereka yang berniat mendapatkan sebuah manfaat bagi dirinya yang merupakan warga negara asing dengan datang ke Indonesia. Terlebih lagi sistem Masyarakat Ekonomi Asean yang akan mulai diberlakukan dari akhir tahun 2015 mendatang. Hingga saat ini telah terdapat begitu banyak pelajar asing dan tenaga kerja asing yang belajar dan mencari nafkah di Indonesia mulai dari menjadi tenaga pengajar di lembaga kursus bahasa asing hingga General Manager di hotel – hotel berbintang. Namun bagaimana dengan kemampuan berbahasa Indonesia mereka? Sudahkah mereka memenuhi nilai kemampuan berbahasa Indonesia sebelum masuk ke Indonesia sebagai pelajar atau pekerja?
Kejadian ini menjadi sebuah perhatian ketika menyadari bahwa sebenarnya negara kita telah memiliki Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI). TOEFL, IELTS, maupun TOEIC sudah sangat tidak asing di telinga masyarakat terutama akademisi, tapi UKBI? Jika bukan karena pernah mengikuti pemilihan Duta Bahasa di tingkat provinsi, sampai saat ini mungkin saya tidak akan mengenal nya. UKBI dikembangkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional sejak tahun 1997 sebagai rekomendasi Kongres Bahasa Indonesia III dan diresmikan penggunaannya oleh Menteri Pendidikan Nasional pada tahun 2006. Singkatnya, UKBI hampir sama dengan tes TOEFL maupun IELTS. UKBI termasuk jenis tes kemahiran (proficiency test) untuk tujuan umum (general purposes). Materi uji dibagi menjadi lima seksi antara lain Seksi I Mendengarkan, Seksi II Merespon Kaidah, Seksi III Membaca, Seksi IV Menulis, dan Seksi V Berbicara. Fungsi nya yang amat strategis diharapkan dapat meningkatkan kualitas bahasa Indonesia dalam penggunaan dan pengajarannya serta memupuk rasa bangga masyarakat Indonesia terhadap bahasanya.
Belum banyak instansi yang menerapkan standar ketercapaian nilai UKBI sebagai syarat sebelum memasuki instansi nya, padahal banyak warga negara Indonesia yang belum cukup baik dalam menggunakan bahasa Indonesia. UKBI juga belum tampak diterapkan bagi mereka yang ingin bekerja dan belajar di Indonesia. Beberapa perusahaan bahkan dipimpin oleh Warga Negara Asing yang dalam kesehariannya hanya mampu berbahasa Inggris tanpa sedikitpun mencoba memahami dan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Kondisi ini biasa terjadi pada usaha perhotelan terutama di Bali. Para WNA yang bekerja di Indonesia sebaiknya merupakan mereka yang mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia setidaknya dalam bahasa non formal karena dalam kesehariannya mereka akan berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya. Terlebih lagi dalam memimpin perusahaan. Bagaimana mungkin mereka memimpin sebuah perusahaan di Indonesia dengan begitu banyak tenaga kerja warga Indonesia namun tidak pernah berkomunikasi dengan mereka? Bayangkan berapa banyak manfaat yang mereka peroleh dari belajar maupun bekerja di Indonesia namun mereka sama sekali tidak mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.
Tulisan ini mungkin merupakan tulisan kesekian kalinya soal UKBI yang masih belum dirasakan keberadaannya, soal bahasa asing yang justru semakin mendarah daging, soal kedaulatan berbahasa kita yang belum merdeka. Namun selama usaha masih bisa dilakukan, baik dengan menulis, maupun sekedar berkicau di sosial media, semoga kemudian pemerintah melihat dan mau semakin bersemangat untuk melanjutkan program tes UKBI yang baik ini. Kesempatan kawan – kawan kami untuk belajar maupun bekerja di luar negeri sangat ditentukan oleh satu hari pelaksanaan tes – tes tersebut. Setidaknya lakukan hal yang sama untuk menghargai bahasa negeri kita sendiri mulai dari masyarakatnya sendiri hingga kepada mereka yang datang kemari demi memperoleh manfaat dari Indonesia.
I Gusti Ayu Agung Diah Acintya, SE.
Wakil I Duta Bahasa Provinsi Bali Tahun 2013