Keberpihakannya pada rakyat kecil yang berusaha dipinggirkan secara sosial dan sistematis oleh pemerintah Orde Baru masa itu. Membuat Romo Mangun seperti dibenturkan oleh berbagai pihak dan berbagai kepentingan.Â
Sang Manyar Nyanyian Pinggir Kali, bukan sekedar film. Tapi cara bagaimana kita mesti merawat roh kebhinekaan. Jangan sampai Romo Mangun terbangun dari tidur abadinya, mendatangi kita. Kemudian marah-marah karena kita tidak dapat menjaga nyala roh kebhinekaan.
Saat temanku jadi "Romo" Mangun, saya merasa rindu dengan sosok yang dapat jadi suri teladan bagi bangsa ini. Ada roh Romo Mangun yang seolah membangun karakter Ojing J Raharjo.Â
Walau dia diam tanpa mengeluarkan sepatah kata. Rasanya kita berhadapan dengan sosok Romo Yusuf Bilyarta Mangunwijaya yang  multi dimensi. Walau "Romo" ini sedikit lebih pendek. Tapi paling tidak film ini  dapat mengobati kerinduan bagi mereka yang pernah berinteraksi dengannya.Â
Atau mengenalkan siapa sebenarnya sosok Romo Mangun Wijaya bagi mereka yang belum pernah mengenal kiprahnya dalam banyak bidang.
Saat Romo Mangun "pulang", di dalam dan di luar Gereja Fransiskus Xaverius, Kidul Loji Yogyakarta dipadati oleh mereka yang ingin memberi penghormatan terakhir. Termasuk jalan Panembahan Senopati yang cukup lebar, dipadati oleh mereka yang merasa kehilangan tokoh pembela orang kecil yang tersingkirkan.
Belum lagi saat iring-iringan mobil jenasah Romo Mangun melewati pinggir Kali Code. Warga Code tanpa dikomando berdiri  berjajar memberi penghormatan, untuk mengantar tidur abadinya.Â
Semua itu terjadi di bulan Februari 1999.