Desa Welahan, Kecamatan Welahan, Kabupaten Jepara, adalah contoh nyata bagaimana keberagaman budaya dan agama bisa hidup berdampingan secara harmonis. Di tengah aktivitas masyarakatnya yang beragam, berdiri sebuah bangunan cagar budaya yang tidak hanya bernilai sejarah, tapi juga sebagai simbol toleransi yakni Klenteng.
Dalam kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN), kami sekelompok mahasiswa KKN Universitas Islam Nahdlatul Ulama (UNISNU) Jepara di desa Welahan berkesempatan mengunjungi Klenteng Hian Thian Siang Tee dan menyaksikan sendiri bagaimana warisan budaya dipelihara dengan penuh rasa hormat. Kelenteng Hian Thian Siang Tee yang berada di Welahan adalah salah satu kelenteng tertua di Indonesia. Berdiri megah di tengah Pasar Welahan, bangunan ini menjadi pusat spiritual umat Konghucu sekaligus simbol perjalanan budaya Tionghoa di Jawa Tengah. Bangunan ini juga menjadi saksi bisu perjalanan waktu dan hidup berdampingnya berbagai elemen masyarakat.
Salah satu ikon spiritual klenteng ini adalah Dewa Langit, yang dikenal sebagai Hian Thian Siang Tee. Dewa ini bukan sekadar patung bagi mereka, melainkan lambang pengakuan atas kekuatan spiritual yang dipercaya umat. Keistimewaan kelenteng tampak dari rancangan bangunannya yang menggabungkan atap yang terbuat dari kayu jati dan dinding tembok yang kokoh, sehingga keotentikan bentuknya tetap terjaga. Kelenteng ini menyimpan kisah menarik tentang pusaka yang dibawa oleh Tan Siang Boe, seorang pemuda yang datang dari Tiongkok.
Yang membedakan Klenteng Hian Thian Siang Tee dari klenteng lain adalah terdapat tulisan Tionghoa klasik yang terukir rapi di depan pintu utama, menunjukkan sejarah panjang dan otentisitas budaya yang masih dijaga.
Ketika memasuki halaman klenteng, suasana sakral langsung kami rasakan. Ukiran naga yang megah melilit pilar-pilar, lampion merah tergantung rapi, aroma hio menguar lembut, dan lilin-lilin yang menyala menambah keheningan dan kekhidamatan.
Sebelum memasuki altar atau tempat sembahyang, umat mereka terlebih dahulu berdiam sejenak menghadap Tuhan Yang Maha Esa, menurut kepercayaan mereka itu adalah sebuah bentuk penghormatan yang melampaui batas keyakinan dan mencerminkan nilai universal dan sarat makna.
Pak Suwoto, pengurus klenteng, menjelaskan bahwa klenteng ini bukan hanya tempat ibadah, tapi juga titik kumpul masyarakat dalam berbagai acara adat dan perayaan bersama. "Klenteng ini sudah ada sejak zaman dulu, tempat ini menjadi saksi bagaimana warga dari berbagai latar belakang saling menghormati dan menjaga kebersamaan," ujarnya.
Setiap ukiran dan ornamen di klenteng memiliki makna mendalam. Naga, misalnya, melambangkan kekuatan, kemakmuran, dan perlindungan. Semua itu dibuat dengan doa, harapan, dan rasa syukur yang tulus.
Kunjungan ini membuka mata kami bahwa keberagaman bukan hal yang menghambat, melainkan memperkaya. Desa Welahan adalah contoh bagaimana toleransi yang kokoh bisa menjadi pondasi masyarakat yang damai dan beradab.
Warisan budaya di sini tidak hanya soal bangunan fisik, tetapi nilai-nilai luhur yang dijaga dan diwariskan dari generasi ke generasi. Klenteng Hian Thian Siang Tee adalah lambang nyata bahwa tradisi dan keberagaman dapat bersinergi, memperkuat ikatan sosial dan menjaga keharmonisan bersama.