Mohon tunggu...
kknregulerposko24
kknregulerposko24 Mohon Tunggu... PESERTA KKN REGULER POSKO 24

hai fren! Kami adalah sekelompok mahasiswa yang siap beraksi dalam program KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Desa Peron. Di sini, kita bakal berbagi semua momen seru, tantangan, dan inovasi yang kita lakukan untuk memberdayakan masyarakat dan bikin perubahan positif.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menelaah Tradisi Desa Peron Limbangan: Nyadran

25 Oktober 2024   12:11 Diperbarui: 25 Oktober 2024   12:31 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Dokumentasi Kelompok KKN 24)

Menelaah Tradisi Desa Peron Limbangan : Tradisi Nyadran

Tradisi umum diberi makna sebagai kebiasaan yang telah lama dilakukan dan terus menerus menjadi bagian dari kehidupan sekelompok masyarakat dalam suatu negara, kebudayaan, waktu, dan agama yang sama. Setiap daerah memiliki tradisi yang masih berjalan secara turun-temurun, pada daerah Jawa Tengah mayoritas beragama Islam dan masih melaksanakan tradisi dan budaya yang menjunjung nilai keagamaan, salah satu tradisi yang dilaksanakan yaitu Tradisi Nyadran.

Pada hari Jum'at tanggal 25 Oktober 2024 masyarakat Dusun Ketro dan Dusun Nampu Wuluh yang terletak pada ujung Desa Peron, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal Jawa Tengah berkumpul di makam  untuk mendoakan leluhur, kemudian masyarakat diarahkan untuk berkumpul disepanjang jalan yang telah ditentukan oleh tetua Dusun atau Bapak Modin, Masyarakat yang hadir umumnya hanya kepala keluarga dari masing-masing rumah atau anak laki-laki yang menjadi perwakilan di setiap rumah. Tradisi ini dikenal dengan sebutan Nyadran. Tradisi Nyadran merupakan tradisi untuk memanjatkan doa kepada leluhur yang sudah meninggal dengan berziarah ke makam. Beberapa warga menyebut Nyadran atau Sadranan.

Urgensi pelaksanaan Tradisi Nyadran selain ditujukan untuk mendoakan para leluhur juga untuk mempererat tali silaturahmi sesama warga dengan kegiatan kembul bujono atau makan bersama setelah mengunjungi makam leluhur. Menurut para warga Tradisi Nyadran sudah dilakukan sejak 1284, Sedangkan berdasarkan sejarahnya Nyadran dilakukan sejak saman Hindu-Budha yang disebut Tradisi Sradha yang bertujuan untuk memperingati kepergian Raja.

Pelaksanaan Nyadran diikuti oleh kelompok KKN Posko 24 yang ikut antusias dalam kegiatan yang sudah jarang atau hampir tidak ditemukan di daerah kota-kota besar. Tantangan Nyadran tidak dilestarikan di daerah kota meliputi beberapa faktor seperti waktu untuk berkumpul sulit terjadwalkan karena kepala rumah tangga memiliki waktu pekerjaan yang berbeda-beda. Tradisi Nyadran di Desa Peron disepakati pada pukul 7.00 WIB. Para bapak-bapak atau kepala rumah tangga di dominasi dengan pekerjaan petani sehingga sebelum berangkat untuk berkebun dan bertani mereka menyempatkan untuk melakukan Nyadran.

Hal unik yang dapat ditemukan pada Tradisi Nyadran yaitu setelah mengunjungi makam para leluhur mereka berkumpul di sepanjang jalan, jalan yang disepakati ternyata merupakan jalan satu-satunya yang menghubungkan antara Dusun Ketro dan Dusun Wuluh Nampu. Warga menggelar daun pisang yang masih utuh secara horizontal di sepanjang jalan. Setiap kepala keluarga membawa satu wakul (tempat nasi) yang dibungkus dengan selendang sebagai pegangan yang memudahkan untuk dibawa sebagai pengganti kantong plastik yang tidak ramah lingkungan, selain membawa nasi para warga yang berkumpul tentunya membawa bermacam-macam lauk seperti ayam ingkung, mie goreng kering, tahu tempe goreng, sayur pecel, lalapan, kerupuk. Lauk yang paling ikonik adalah ayam ingkung, Ayam ingkung menjadi salah satu jenis makanan yang tidak pernah absen dalam berbagai perayaan syukuran dalam adat Jawa. Ayam ingkung merupakan ayam yang disajikan secara utuh atau tidak dipotong-potong. Ayam yang digunakan yaitu ayam kampung jantan, bukan betina. Ayam ingkung memiliki arti mengayomi. Kata ingkung diambil dari kata "jinakung" dan "manekung" yang berarti memanjatkan doa dalam bahasa Jawa kuno.

Tradisi nyadran memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat, terutama sebagai sarana untuk menjaga hubungan spiritual dengan leluhur dan lingkungan. Melalui nyadran, masyarakat dapat memperkuat ikatan sosial, merayakan warisan budaya, dan menanamkan nilai-nilai kebersamaan serta gotong royong. Selain itu, tradisi ini juga berfungsi sebagai pengingat akan pentingnya menghargai sejarah dan kearifan lokal.

Dengan demikian, momen nyadran seharusnya tidak hanya dianggap sebagai ritual semata, tetapi juga sebagai upaya pelestarian budaya yang perlu kita hargai. Menghormati dan melestarikan tradisi seperti nyadran adalah langkah penting dalam menjaga identitas dan keanekaragaman budaya bangsa. Mari kita bersama-sama mengapresiasi warisan budaya ini, agar generasi mendatang dapat terus merasakan makna dan nilai yang terkandung di dalamnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun