Dusun Banjaran Cengklik, Cukilan, Kab. Semarang– Malam di pertengahan bulan Juli 2025 itu terasa berbeda di Dusun Banjaran Cengklik, Desa Cukilan, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang. Tenda-tenda sederhana berdiri rapi di halaman rumah warga, dihiasi daun kelapa muda, lampu gantung, serta peralatan pengajian. Ratusan warga dari berbagai penjuru, termasuk dari luar desa, berdatangan untuk mengikuti Khoul dan Sadranan Ki Ageng Banjar, sebuah tradisi spiritual yang telah diwariskan turun-temurun oleh masyarakat setempat.
Acara khoul (peringatan wafat) ini diselenggarakan sebagai bentuk penghormatan dan doa kepada Ki Ageng Banjar, seorang tokoh ulama dan penyebar ajaran Islam di wilayah Banjaran pada masa lampau. Tradisi ini tak hanya menjadi bagian dari agenda keagamaan tahunan, tetapi juga merupakan sarana memperkuat tali silaturahmi, meneguhkan nilai-nilai keislaman, dan menjaga warisan budaya lokal.
Rangkaian Acara yang Penuh Makna
Kegiatan dimulai tepat setelah waktu isya. Para hadirin memadati area yang telah disiapkan sejak sore. Suasana khidmat terasa ketika pembukaan dimulai dengan pembacaan tahlil dan doa bersama, dipimpin oleh sesepuh desa. Setelah itu, kelompok hadrah remaja masjid melantunkan shalawat dan pujian kepada Rasulullah SAW dengan penuh semangat dan keindahan suara yang menyentuh hati.
Rangkaian pengajian kemudian dilanjutkan dengan ceramah agama oleh KH. Zainal Abidin, tokoh ulama setempat yang sangat dihormati. Dalam tausiyahnya, beliau menyampaikan pentingnya khoul sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur dan tokoh-tokoh agama yang telah meletakkan dasar-dasar spiritual di masyarakat.
"Khoul bukan hanya untuk mengenang yang telah wafat, tetapi juga momentum bagi kita semua untuk memperkuat keimanan, memperbaiki akhlak, serta meneladani semangat perjuangan dan keikhlasan para pendahulu dalam menanamkan nilai-nilai Islam," ujar beliau dalam ceramahnya.
Keterlibatan Pemuda dan Perempuan
Salah satu keistimewaan dalam pelaksanaan acara tahun ini adalah keterlibatan penuh generasi muda dan kaum perempuan. Para pemuda berperan aktif sebagai panitia teknis, dokumentasi, hingga pengatur lalu lintas di sekitar lokasi. Para pemudi membantu menyiapkan konsumsi, merapikan tempat duduk, serta tampil dalam sesi pembacaan maulid.
Kolaborasi antar generasi ini memperlihatkan bahwa tradisi tidak hanya milik masa lalu, tetapi bisa tumbuh dan berkembang bersama semangat zaman.
"Kami ingin menjaga tradisi ini agar tidak hilang. Dengan cara melibatkan anak-anak muda, kami belajar memaknai acara ini tidak hanya sebagai ritual, tapi juga tanggung jawab untuk merawat warisan," ujar salah satu anggota panitia muda.
Simbol Keislaman dan Pelestarian Budaya
Tradisi Khoul Sadranan merupakan bagian dari Islam Nusantara, yaitu corak Islam yang tumbuh dari budaya lokal yang santun, toleran, dan penuh kearifan. Di tengah era digital dan perubahan sosial yang cepat, acara seperti ini menjadi penanda bahwa masyarakat pedesaan masih memiliki akar spiritual yang kuat dan mampu menjaga nilai-nilai tersebut secara kolektif.
Tak hanya aspek ibadah dan silaturahmi, acara ini juga mengandung unsur pelestarian budaya Jawa, seperti pembacaan doa dalam bahasa Arab dan Jawa, penggunaan simbol-simbol lokal dalam dekorasi, serta adat nyadran atau ziarah ke makam sesepuh.
Penutupan dan Harapan Masyarakat
Acara berakhir sekitar pukul 22.00 WIB dengan suasana tenang dan penuh kepuasan batin. Banyak warga berharap agar tradisi ini tetap hidup dan diwariskan kepada generasi mendatang, bukan hanya sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur, tetapi juga sebagai penyatu masyarakat dan penjaga moralitas desa.
"Kami ingin acara ini terus ada. Ini bukan hanya milik kami, tapi milik semua generasi Banjaran Cengklik," tutur seorang tokoh masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI