Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

"Kiamat" di Tangan Vladimir Putin

7 Februari 2022   09:19 Diperbarui: 8 Februari 2022   15:15 8999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Rusia Vladimir Putin (AFP/Getty Images)

Rusia, Ukraina, dan potensi Perang Dunia Ketiga merupakan kata kunci yang paling banyak dicari masyarakat akhir-akhir ini. Fakta itu tak terlalu mengejutkan karena konflik antar kedua kubu bisa mengubah jalannya sejarah peradaban manusia.

Kedua negara yang pernah menjadi bagian dari imperium Uni Soviet itu sedang diselimuti ketegangan dalam sedekade terakhir. Krisis itu pun berujung pada aneksasi Krimea dan memicu lahirnya gerakan separatis di Donbas, Ukraina.

Kini, ketegangan Rusia-Ukraina sudah mendekati situasi perang. Kremlin pun telah mengerahkan 127.000 pasukan di perbatasan, yang sewaktu-waktu bisa menginvasi negara tetangganya itu.

Sejarah panjang hubungan Rusia-Ukraina sendiri kerap kali diwarnai pasang-surut. Kedua bangsa sebelumnya pernah menjalin romantisme dalam satu institusi negara, Rus Kiev dan Uni Soviet. Di sisi lain, mereka juga pernah saling bersitegang, bahkan berperang.

Tensi Rusia-Ukraina mulai memanas pada 2000-an, khususnya sejak Presiden Viktor Yushchenko mulai menjabat dalam periode 2005. Keinginan Presiden ketiga Ukraina untuk menjalin kedekatan dengan Uni Eropa dan NATO, membuat Rusia geram.

Kedua pihak juga berselisih perihal pasokan gas. Moskow menuding Kiev ingin bersekutu dengan Barat sekaligus mengeksploitasi gas milik Rusia.

Akan tetapi, relasi keduanya berbalik 90 derajat. Mereka tiba-tiba menjadi mesra selama tahun 2010. Yanukovych bahkan sempat dinilai sebagai presiden Ukraina yang paling pro-Rusia.

Rezim Yanukovych menyetujui berbagai kerja sama strategis dengan Rusia, salah satunya menyewakan pangkalan militer kepada Rusia di Sevatospol, kota terbesar di Krimea sekaligus salah satu pelabuhan terpenting di teritorial Laut Hitam.

Situasi lagi-lagi berbalik. Setelah rezim Yanukovych lengser pada tahun 2014, suksesornya ternyata lebih memilih untuk merapat ke Uni Eropa dan "membersihkan" sisa-sisa rezim pendahulunya dari pemerintahan.

Sejak saat itu, Ukraina lebih memihak ke Barat yang akhirnya membuat relasi dengan Rusia makin memanas. Etnis Rusia di dalam negeri pun tak terima aats pemakzulan Yanukovych. Konflik dalam negeri itu akhirnya membelah warga Ukraina menjadi dua kubu yang saling berselisih, pro-Uni Eropa dan pro-Rusia.

Puncaknya, dengan bantuan separatis pro-Rusia, pasukan Putin menginvasi Krimea. Manuver itu memicu lahirnya referendum. Hasilnya, Krimea melepaskan diri dari Ukraina sebelum kemudian dianeksasi oleh Rusia.

Hubungan Rusia-Ukraina makin tegang seiring keinginan Kiev untuk bergabung dengan NATO. Moskow sejak dahulu menegaskan tidak ingin NATO menerima anggota dari negara eks Uni Soviet.

Konflik berkepanjangan antara Rusia dan Ukraina sejatinya sangat kompleks lantaran bukan hanya melibatkan klaim wilayah kekuasaan, tetapi juga hegemoni Rusia dan Barat.

Kekuatan Militer

Menurut Global Fire Power, kekuatan militer Rusia berada di peringkat kedua atau hanya kalah dari rival abadinya, AS. Sementara Ukraina hanya bercokol di posisi ke 22. Sangat timpang.

Perbandingan kekuatan militer Rusia dan Ukraina. | Aljazeera.com
Perbandingan kekuatan militer Rusia dan Ukraina. | Aljazeera.com

Adapun dari sisi pengeluaran militer, Negeri Tirai Besi pada tahun 2020 tercatat mencapai US$61,7 miliar (Rp885 triliun). Sementara lawannya hanya 10% dari angka itu atau hanya US$5,9 miliar (Rp85 triliun), merujuk data dari Stockholm International Peace Research Institute.

Dari sisi pasukan, Tentara Merah (Red Army) Rusia berjumlah 900.000 personel aktif. Adapun Ukraina hanya mempunyai 209.000 personel aktif. Artinya, satu tentara Ukraina akan melawan empat tentara Rusia di medan peperangan jika diterjunkan serempak.

Dari sisi kekuatan militer darat, Global Fire Power mencatat, Ukraina juga kalah telak dengan jumlah tank hanya 2.596 dibanding 12.420 yang dimiliki Rusia. Kendaraan taktis Ukraina tercatat ada 12.303 unit dan Rusia memiliki 30.122.

Ketimpangan senada juga tampak pada kekuatan militer udara. Total pesawat tempur Ukraina hanya 318 unit, tidak mencapai 10% dibanding milik Rusia dengan 4.173 unit.

Meski begitu, NATO tentu tak akan tinggal diam melihat ketimpangan itu. Beberapa hari terakhir, NATO sudah menyiagakan pesawat serta kapal perangnya guna memperkuat sejumlah anggota aliansinya di Eropa Timur.

Jika blok Barat, khususnya AS ikut turun dalam konflik antar-saudara lama itu, keseimbangan militer akan berubah signifikan, mengingat AS adalah negara dengan kekuatan militer terkuat di dunia sampai detik ini.

Tanpa bantuan militer dari AS dan blok NATO, kekuatan militer Rusia akan amat sulit disaingi Ukraina. Jika Putin benar-benar memusatkan seluruh kekuatan tempurnya, wilayah Ukraina bakal rata oleh tanah dalam sekajap.

Potensi Perang Dunia III

Memanasnya situasi geopolitik antara Rusia dan Ukraina, menjadi ancaman nyata yang membuat publik global gelisah. Ketakutan itu bukan tanpa alasan, mengingat banyak analis menilai jika tak terselesaikan, invasi yang dilakukan Rusia dapat menjadi pemicu pecahnya Perang Dunia Ketiga.

Presiden AS, Joe Biden, pun turut menyebut kemungkinan perang Rusia-Ukraina sebagai peristiwa yang akan mengubah dunia untuk selamanya dan akan menjadi yang terbesar sejak Perang Dunia II.

Gerbang menuju Perang Dunia III kian terbuka setelah sekutu Ukraina seperti Amerika Serikat hingga NATO terus mengirimkan bala bantuan keamanan dan alutsista guna membantu Kiev.

Pemerintah Inggris sejauh ini menjadi salah satu pembela Ukraina yang paling gigih. Negeri Ratu Elizabteh telah menandatangani ekspor senjata dengan Ukraina. Inggris punya kewajiban hukum untuk membela Ukraina dari agresi pihak ketiga.

Senada dengan AS yang juga berencana hendak mengirim 8.500 pasukan dan altileri ke sejumlah anggota NATO di area Eropa Timur demi mengantisipasi manuver militer Rusia ke Ukraina.

Adapun pada Jumat (4/2/2022), pasukan terjun payung, kendaraan lapis baja, serta jet milik AS dilaporkan telah tiba di Polandia. Joe Biden pun sebelumnya mengungkapkan soal pengerahan hampir 3.000 tentara AS ke Eropa timur dalam beberapa hari mendatang di tengah kebuntuan konflik.

Perlu diketahui, NATO didirikan pada tahun 1949 untuk melindungi anggotanya dari agresi Soviet. Aliansi anti-Rusia itu bahkan telah berkembang hingga ke 30 negara, termasuk eks Uni Soviet di Lituania, Estonia, dan Latvia.

Sesuai pakta yang disepakati bersama bahwa jika salah satu negara diserang, maka semua anggota NATO akan secara kolektif memobilisasi kekuatan militernya. Hingga hari ini, NATO telah menyiapkan ribuan pasukan di negara Baltik anggotanya, yakni Latvia, Polandia, dan Lithuania.

Sampai di sini, bisakah Anda menerka skenario apa yang akan terjadi jika Putin gegabah dalam mengambil keputusan?

Meski begitu, Rusia tidak akan sendirian. Ada sekitar sembilan negara yang siap mendukung langlah Putin andai AS dan NATO berani menginjakkan kakinya di medan pertempuran.

Mengutip analisis The EurAsianTimes, sembilan negara yang bisa mendukung Putin antara lain 5 negara CSTO (Armenia, Belarusia, Kazakhstan, Kirgistan, dan Tajikistan), Iran, Kuba, China, dan Korea Utara.

Keterlibatan China sebagai kekuatan baru dunia agaknya tidak akan terhindarkan. China dan Rusia sebelumnya bahkan mengumumkan kemitraan strategis. Pernyataan tersebut diucapkan dalam pertemuan tatap muka antara Presiden China Xi Jinping dan Vladimir Pitin pada hari pembukaan Olimpiade Musim Dingin Beijing, (4/2/2022).

Dalam pernyataan bersama ini, kedua negara menegaskan bahwa hubungan baru mereka lebih unggul dibandingkan aliansi politik atau militer mana pun di era Perang Dingin. "Persahabatan antara kedua Negara tidak memiliki batas, tidak ada bidang kerjasama terlarang," ujar kedua presiden.

Komitmen itu tentu tidak bisa dianggap sepele oleh AS dan NATO. Sebab, saat ini China menunjukkan kemajuan pesat dalam teknologi rudal, senjata nuklir, dan kecerdasan buatan untuk menunjang kekuatan militer mereka. Negeri Tirai Bambu juga menempati rangking ketiga dalam hal kekuatan militer menurut Global Fire Power.

Betapa mengerikan skenario pertempuran yang bakal terjadi antara dua poros kekuatan global seperti Rusia dan China melawan AS dan NATO. Perang adalah hal yang amat mengerikan. Jika skenario itu terjadi, bisa mengakibatkan banyak korban berjatuhan, begitu juga dari pihak Rusia.

Menurut analisis intelijen AS, invasi Rusia Ukraina dapat menyebabkan jatuhnya 50.000 korban sipil, runtuhnya Ukraina dalam waktu dua hari, dan krisis kemanusiaan dengan 5 juta pengungsi.

Selain mengancam kemanusiaan, konflik saudara lama ini juga akan berimplikasi pada publik global, terutama komoditas energi. Eropa akan diselimuti kabut gelap ekonomi yang amat ekstrem. Negara-negara di luar Eropa pun berisiko terdampak.

"Neraka" di Tangan Putin

Ketika Rusia mengumpulkan lebih dari 127.000 tentara di dekat perbatasan, Putin berkata tidak merencanakan invasi, tetapi dapat mengambil tindakan militer jika tuntutan keamanannya tak dipenuhi oleh AS dan NATO.

Rusia menentang kemungkinan masuknya Ukraina sebagai anggota NATO karena dikhawatirkan akan memicu pendirian pangkalan militer NATO di dekat wilayah Rusia. Dalam pembicaraan damai pun Putin acap meminta jaminan terhadap AS dan NATO mengenai hal tersebut. Namun, selalu menemui deadlock, termasuk dalam perundingan pada Jumat lalu.

AS yakin Rusia memiliki opsi selain invasi skala penuh, termasuk serangan terbatas. Akan tetapi, Putin terus menempatkan kekuatan yang memungkinkannya untuk mengeksekusi berbagai skenario.

Putin berulang kali membantah akan melakukan invasi terhadap Ukraina dan menegaskan bahwa negaranya tidak mengancam pihak mana pun.

Uniknya, Rusia terus mengerahkan pasukan ke perbatasan dengan dalih bahwa langkahnya itu merupakan wujud kedaulatan dan haknya guna menyiagakan kekuatan militer di dalam wilayah mereka sendiri.

Namun, di tengah memanasnya situasi di area perbatasan, muncul kecurigaan jika Rusia akan melancarkan operasi "bendera palsu". Tentara Rusia akan berpura-pura menjadi pasukan Ukraina, lalu menyerang separatis pro-Rusia atau personel militer Rusia sendiri.

Taktik itu akan dijadikan legitimasi oleh Rusia guna melancarkan serangan balasan ke wilayah Ukraina sebagai upaya membela diri. Meski terkesan cukup berlebihan, Rusia diduga telah melakukan taktik itu berulang kali sebelumnya.

Perlu juga dicatat bahwa ada pertukaran artileri, mortir, tembakan senjata ringan, dan tembakan penembak jitu antara kedua belah pihak setiap harinya di sepanjang perbatasan di Donbas.

Sementara itu, langit Eropa pun kini telah dipenuhi oleh jet tempur dan pesawat mata-mata. Apa pun bisa terjadi apabila kedua belah pihak melepaskan tembakan akibat bendera palsu atau kecerobohan sepersekian detik oleh pilot. Pertempuran itu bisa menyebar dengan sangat cepat di sekitar wilayah Rusia dan Ukraina.

Kremlin memiliki kendali penuh atas dimulainya peperangan besar atau diakhirinya konflik lewat dialog-dialog damai dan gencatan sejanta. Jika diputuskan secara gegabah, keputusan Vladimir Putin bisa jadi akan membuat "kiamat" selangkah lebih dekat.

Apa jadinya jika konflik antara Rusia dan Ukraina terekskalasi, bahkan melibatkan senjata nuklir?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun