Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Di Mana Ormas Dipijak, di Situ Konflik Dijunjung

8 Desember 2021   19:49 Diperbarui: 8 Desember 2021   19:51 1283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Konvoi massa organisasi massa Pemuda Pancasila (ormas PP). | Kompas/ Wahyu Adityo Prodjo)

Bahkan, lambat laun, Pemuda Pancasila kian kental dengan label sarang preman. Banyak kadernya yang berlatar belakang orang jalanan. Mereka memang sengaja dirangkul dan dibina oleh PP karena tak adanya program dari pemerintah dalam merangkul preman. Pemuda Pancasila, menurut kadernya, hadir untuk mengisi kekosongan tersebut. Begitu pula GMBI, yang gemar merekrut eks narapidana.

Preman-preman ini, dalam kamus kader PP, lebih dikenal dengan sebutan orang-orang bebas atau orang yang berani (free men) yang banyak didominasi "pekerja kasar". Sementara kata preman didopsi dari bahasa Belanda "vrijman", artinya orang yang tidak terikat kontrak kerja.

Ormas paramiliter yang awalnya disapih oleh pemerintah, kini harus dapat hidup secara mandiri jika mereka masih ingin eksis. Untuk menghidupi dirinya sendiri, selain berbisnis resmi, mereka juga acap memeras serta menjadi beking alias jasa keamanan usaha-usaha ilegal.

PP dan FBR, misalnya, sudah sejak lama menjadi aktor utama untuk pengamanan pasar, pusat perekonomian, lahan parkir, dan tempat hiburan. Potret insting dalam bertahan hidup mereka juga bisa diamati pada film "The Act of Killing. Dalam film itu, tampak bagaimana para kader ormas paramiliter secara blak-blakan memalak toko-toko milik warga keturunan Cina di Kota Medan.

Adapun pertikaian antar ormas acap kali dipicu karena adanya persaingan dalam memperebutkan lahan-lahan dan nilai-nilai ekonomis tersebut.

Adanya kelompok kepentingan (vested interest) membuat konflik antar ormas makin terekskalasi. Agar bisa bertahan hidup, ormas palamiliter harus punya inang yang kuat pula. Di sana lah relasi simbiosis mutualisme tercipta antara ormas paramiliter dengan elite politik.

Rivalitas antar ormas juga tak bisa luput dari relasi politik dengan elite partai yang berkuasa. Oleh karema relasi itu, mereka merasa mempunyai semacam wewenang sebagai perpanjangan tangan partai serta penguasa. Sehingga, kelompok vigilante (mereka yang kerap main hakim sendiri) itu cenderung berperilaku semena-mena, bahkan tak segan melakukan kekerasan.

Eksistensi ormas semacam PP dan FBR, amat dibutuhkan politisi sebagai perisai dan ujung tombak dalam menekan serta menyerang lawan politik atau kubu yang mereka anggap berseberangan.

Terlebih, mereka dikenal memiliki basis massa fanatik di akar rumput dan sangat piawai dalam memperluas pengaruh. Tak heran selama pandemi, massa dari kedua ormas itu kian meningkat seiring dengan kondisi ekonomi warga yang memburuk. Bagi mereka, bergabung dengan ormas menjadi opsi pekerjaan alternatif untuk memperoleh pundi-pundi penghasilan.

Timbulnya konflik juga kerap kali terjadi karena rasa kesetiakawanan (korsa) yang tinggi. Jika ada satu saja anggota terlibat konflik personal, teman-teman yang lain pun akan ikut-ikutan. Dari sana tawuran makin menjalar dan membesar.

Bagi anggotanya, ormas adalah identitas yang harus dijaga marwahnya, sehingga apabila ada yang menghina suatu ormas dapat merembet pada marahnya seluruh anggota ormas tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun