Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Teroris Tak Membuat Agama Sendiri?

29 Maret 2021   16:38 Diperbarui: 29 Maret 2021   16:48 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi teroris. | Sumber: forum-ekonomiczne.pl

Para teroris acapkali membajak dalil serta dalih agama sebagai justifikasi terhadap semua aksi biadabnya. Sebenarnya mereka tidak sedang menjalankan titah agama, tetapi nafsunya sendiri.

Lagi, awan kelam menyelimuti negeri ini. Insiden bom bunuh diri terjadi usai umat Katolik melakukan prosesi Misa Minggu Palma di Gereja Katedral Kota Makassar, pada Minggu, 28 Maret 2021.

Bom yang meledak oleh perilaku biadab teroris itu menyebabkan 20 korban luka. Sementara itu, dua mayat yang tewas di tempat diduga kuat adalah sang pelaku.

Sudah terlalu sering aksi keji semacam itu terjadi di Indonesia dan negara lain. Sebagian besar pelakunya melancarkan aksi teror menggunakan ayat dan dalil agama sebagai justifikasi.

Situasi pandemi juga dianggap memiliki 'andil' atas berkembangnya radikalisme. Ide tentang intoleransi dan ekstremisme kekerasan makin mudah beranak-pinak dalam kondisi krisis seperti sekarang ini.

Selain dalil, mereka juga memanfaatkan isu-isu terkini dalam mendelegitimasi pemerintah, misalnya, pandangan yang menyatakan bahwa negara dinilai sudah gagal perihal penanganan pandemi.

Narasi tersebut lantas 'digoreng' untuk menanamkan kebencian dan bibit-bibit radikalisme. Yang menjadi target adalah kaum minoritas, aparat keamanan dan otoritas negara yang acapkali dianggap sebagai simbol taghut (berhala).

Ujaran kebencian yang intimidatif dapat berwujud macam-macam, salah satunya, ialah tentang kebijakan pelarangan solat berjamaah di masjid akibat pandemi.

Narasi itu yang lantas 'dipelintir' sebagai bentuk penindasan terhadap umat Islam dan menempatkan mereka sebagai kaum yang terzalimi. Hingga akhirnya terlahir sebuah premis bahwa pemerintah harus dilawan--dengan berbagai cara.

Ujaran kebencian seperti itu akan begitu mudah berujung pada aksi ekstremisme, bahkan terorisme, teruhlah seperti yang terjadi di Gereja Katedral Kota Makassar.

Sejatinya mereka tidak sedikitpun peduli dengan pandemi. Ketimbang bersimpati, mereka justru memanfaatkan kondisi itu untuk melancarkan aksi biadabnya.

Ketika perhatian negara dan masyarakat tengah berfokus pada penanganan serta pemulihan pandemi, mereka mengendus momemtum untuk dieksploitasi.

Penyebaran hoaks dan kebencian makin terbantu dengan eksistensi media sosial. Banyak dijumpai narasi tendensius pada ruang siber yang mengaitkan kebijakan pemerintah pada pendiskreditan agama atau kelompok tertentu.

Terkadang, kita secara tidak sadar turut membantu mereka dengan menyebarkan narasi itu di jagat medsos. Mereka pandai mengisi bias antara kritik dan hoaks demi melancarkan misi jahatnya.

Setelah teror bom bunuh diri di Surabaya dan Sidorajo pada 2018 lalu, asumsi yang mengatakan, agama kerap dimanfaatkan guna menanamkan bibit-bibit terorisme, berkembang di ruang diskusi publik.

Ketika itu tagar #TerorismeBukanIslam sempat menyeruak dan viral dalam jagat Twitter. Netizen menolak tudingan yang mengatakan, agama merupakan sumber radikalisme, tetapi tak jarang pula yang mengamini meski sedikit malu-malu.

Diskursus itu memperlihatkan perebutan makna, tafsir, serta simbol agama. Dan, hal itu tidak hanya terjadi di Indonesia, di negara lain pun demikian.

Makna dan simbol agama akan diartikan oleh masyarakat sesuai pemahamannya masing-masing. Ada yang menggunakan agama sebagai inspirasi untuk berbagai kegiatan dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan kemanusiaan.

Namun, bisa juga sebaliknya. Agama pun bisa dijadikan simbol, identitas, dan titik mobilisasi gerakan kelompok-kelompok tertentu untuk tujuan yang destruktif dan bertentangan dengan nilai kemanusiaan.

Itu fakta yang agaknya sangat sulit untuk dibantah. Diskursus tersebut bisa muncul pada agama manapun, tidak sebatas pada satu agama tertentu saja.

Seorang peneliti radikalisme dari UGM, Doktor Najib Azca, mengatakan bahwa agama, khususnya yang tertuang dalam kitab suci, memiliki dimensi ambigu.

Karena karakter ambivalensi dari kitab suci itu, menurut Najib, banyak orang yang menafsirkannya dengan perintah menegakkan kebenaran (amar makruf nahi munkar) sebagai justifikasi untuk serangkaian tindakan teror.

Pada dasarnya, semua agama dan ragam ideologi dalam peradaban umat manusia pernah dijadikan alasan aksi kekerasan.

Terorisme merupakan gejala global. Tak hanya Islam, penganut agama Shinto di Jepang, Hindu di India, serta Buddha di Myanmar, mereka turut memanfaatkan dalil dan dalih agama dalam melakukan kekerasan pada pihak lain yang menurut mereka terjustifikasi dan terlegitimasi.

Gerakan terorsime global juga dijumpai di antara kaum fundamentalis agama-agama samawi lainnya seperti Kristen dan Yahudi. 

Di Amerika Serikat ada kelompok militan Kristen Army of God yang meneror orang yang mendukung dan melakukan praktik aborsi.

Sebelum menjadi Perdana Menteri Israel, Menachmem Begin serta Yitzhak Shamir pun pernah menjadi pemimpin kelompok teroris Yahudi.

Kendati berbeda keyakinan, eks Presiden Negeri Paman Sam, George Walker Bush, maupun pemimpin kelompok Al-Qaeda, Osama Bin Laden, sejatinya sama-sama teroris. Keduanya adalah fundamentalis yang amat gemar melancarkan berbagai aksi teror dan kekerasan.

Para pelaku teror tidak mempedulikan nyawa masyarakat sipil. Semua orang bisa menjadi korban, apapun agamanya.

Deklarasi lawan terorisme oleh para pemuka agama FKUB, (16/5/18). | Antara/Prasetia Fauzani BBC.com
Deklarasi lawan terorisme oleh para pemuka agama FKUB, (16/5/18). | Antara/Prasetia Fauzani BBC.com
Fakta itu yang sejatinya harus disadari semua kalangan bahwa aksi terorisme adalah musuh bersama. Musuh agama, peradaban dan kemanusiaan.

Aksi keji para teroris menorehkan noda hitam pada agama yang mengajarkan cinta, kasih sayang, dan perdamaian.

Sebenarnya aksi mereka tidak mewakili agama mana pun. Tidak satupun agama yang mengajarkan teror dan kekerasan. Para pelakunya acapkali membajak dan mendistorsi ajaran agama demi agenda dan nafsunya sendiri.

Mereka datang dengan ide seakan-akan ingin membela agama, padahal apa yang mereka lakukan justru "merusak" agama dan citra para pemeluknya.

Telah banyak jatuh korban akibat adanya diskriminasi dan segregasi pada pemeluk agama tertentu yang diakibatkan karena munculnya stretotip seputar terorisme.

Jika sudah begitu, pihak atau agama apa yang mereka wakili? Bukankah lebih baik mereka membuat agamanya sendiri?

Namun, sebutan "agama" sebagai wadah untuk teroris dan aksi terorisme agaknya kurang tepat lantaran agama akan selalu mengajarkan nilai-nilai kebaikan.

Mungkin wadah yang tepat bagi mereka bukanlah agama, melainkan neraka!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun