Mohon tunggu...
David Abdullah
David Abdullah Mohon Tunggu... Lainnya - —

Best in Opinion Kompasiana Awards 2021 | Kata, data, fakta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

George Floyd, Obby Kogoya, dan Jejak Rasialisme di Indonesia

4 Juni 2020   08:15 Diperbarui: 4 Juni 2020   09:36 2655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
George Floyd 2020, Obby Kogoya 2016 | haluan.co

Rasialisme layaknya sebuah reaktor nuklir besar yang terus menerus diproduksi hingga menunggu terjadinya reaksi fusi untuk memicu ledakan.

Rasialisme telah melekat dengan sejarah berdirinya negara Amerika Serikat. Keadaan tersebut semakin memburuk di tengah kesenjangan dan diskriminasi yang dialami oleh orang-orang kulit hitam.

Mereka hanya dianggap sebagai budak dan hak-hak mereka dibatasi oleh orang kulit putih yang merasa lebih superior.

Jauh sebelum tewasnya Floyd, sejarah diskriminasi rasial berada pada puncaknya setelah Perang Sipil (Civil War) meletus pada tahun 1861 sampai 1865. Orang-orang berkulit hitam tersegregasi dari akses fasilitas publik.

Hingga akhirnya rasisme sistemik itu mengodifikasi praktik perbudakan yang tidak manusiawi dan telah diwariskan sejak Perang Sipil menjadi produk hukum formal yang dipraktikkan sampai saat ini.

Di Indonesia sendiri, rasialisme yang dialami Floyd memiliki kemiripan dengan peristiwa pengepungan di asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta pada 2016 serta di Surabaya dan Malang pada 2019 yang diwarnai dengan ujaran-ujaran rasial yang dipertontonkan.

Warga--sebagian besar orang Papua--yang terpicu amarahnya atas tindakan rasial itu menggelar unjuk rasa sebagai wujud protes dan solidaritas di Papua dan Papua Barat bahkan sampai ke Jakarta.

Obby Kogoya adalah salah satu mahasiswa Papua yang berada di peristiwa pengepungan asrama di Yogyakarta. Ia mengalami nasib serupa dengan George Floyd. Beruntung, dia masih selamat.

Saat itu asrama mahasiswa Papua dikepung oleh beberapa Ormas dan aparat keamanan. Atas dasar solidaritas, Obby tergerak untuk memberikan bantuan makanan kepada rekan-rekannya yang sedang terkepung. Sebelum memasuki asrama langkahnya dihadang.

Obby Kogoya, Jogja 2016 | suarapapua.com
Obby Kogoya, Jogja 2016 | suarapapua.com
Dia dituduh membawa senjata tajam. Obby yang berusaha melarikan diri kemudian dikejar oleh aparat dan dijatuhkan ke tanah sembari diinjak kepalanya. Lalu lubang hidungnya ditarik oleh jari-jari salah seorang aparat.

Akhirnya dia dikenakan tuduhan melawan petugas, kemudian dihukum penjara 4 bulan dengan masa percobaan satu tahun. Meskipun seluruh bukti menunjukkan justru Obby-lah yang menjadi korban.

Apa yang dialami oleh Obby adalah bukti bahwa sistem peradilan di negeri kita juga mengandung 'systemic racial bias' khususnya terhadap orang-orang Papua.

Impunitas merupakan noda dalam demokrasi yang dapat menimbulkan ancaman serius bagi hak asasi manusia. Terlebih jika itu menyangkut aparat yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat.

Gerakan protes melawan rasialisme lewat tagar #BlackLivesMatter menyebar sampai ke Indonesia. Tagar itu dipakai sejumlah aktivis dan simpatisan right to self-determination (hak menentukan nasib sendiri) Papua untuk mengingatkan bahwa Republik Indonesia memiliki masalah rasialisme yang sama.

Para aktivis dan simpatisan Papua meyakini bahwa, rasisme yang diterima orang kulit hitam di Amerika setara dengan nasib orang Papua di Indonesia.

Akar rasialisme di Indonesia bisa ditelusuri sejak upaya perebutan Papua Barat (Irian Barat) yang dilakukan oleh Indonesia dari kekuasaan Belanda.

Nasib Papua mencapai titik nadir ketika Soeharto memberikan ruang seluas-luasnya pada Freeport melalui kontrak karya berdasarkan UU Penanaman Modal Asing untuk mengeruk kekayaan alam Papua.

Pegunungan Erstberg yang disebut-sebut sebagai tambang emas terbesar di dunia yang juga menjadi tempat tinggal penduduk asli dari suku Amungme dikeruk habis-habisan.

Akibat aktivitas penambangan Freeport, Gunung Grasberg berubah menjadi lubang raksasa sedalam 700 meter. Selain itu, limbah pembuangan tambang juga mencemari sungai dan Danau Wanagon yang dianggap suci oleh orang-orang Suku Amungme.

Suku Amungme dan suku-suku lainnya akhirnya terjepit oleh migrasi pendatang baru dari luar Papua. Soeharto menganggap masuknya pendatang akan membawa modernitas ke daerah-daerah terpencil Papua, serta bertujuan untuk manjadikan mereka lebih berbudaya dan beradab. 

Dengan kata lain, Soeharto selama ini menganggap masyarakat Papua sebagai orang-orang tertinggal yang layak terusir dari tempat tinggalnya demi membuka akses invasi dan investasi Amerika untuk mengeruk kekayaan alam Papua.

Bagi Suku Amungme, Freeport adalah gerombolan perampok yang menjarah kekayaan alam di rumah mereka tanpa ijin. Sedangkan, janji kompensasi untuk mendirikan fasiltas sosial berupa sekolah, pasar, hingga perumahan urung diberikan.

Hingga akhirnya terpiculah konflik pada 1977, suku Amungme yang terdesak murka. Mereka memotong pipa penyalur biji tembaga, membakar gudang, dan membuang persediaan bahan bakar milik Freeport sebagai bentuk perlawanan atas penindasan yang mereka alami di bumi Papua.

Tak berselang lama, insiden sabotase itu terdengar sampai ke istana. Soeharto kemudian bereaksi melalui pendekatan represif dengan menurunkan ABRI.

Kebun dan rumah-rumah milik suku Amungme serta suku lainnya dihancurkan, sejumlah orang dibantai. Pemerintah mengumumkan jumlah orang yang meninggal di Tembagapura sebanyak 900 orang. Para saksi lapangan memperkirakan dua kali lipatnya. Ungkap Harsutejo di laman Historia.id.

Represi lanjutan dilakukan dengan menetapkan Papua (d/h Irian Jaya) sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) selama 20 tahun (1978-1998). 

Tindakan represif oleh Soeherto adalah simbol rasialisme terbesar di Indonesia. Bagaimana tidak, penduduk asli Papua yang terusir dari tempat tinggalnya serta kekayaan alamnya dikeruk secara masif, namun justru dilawan dengan sikap represif-militeristik hanya karena mereka menuntut keadilan.

Masuknya investasi Amerika yang dianggap sebagai tonggak pembangunan justru menjadi malapetaka bagi pribumi Papua. Gelar "Bapak Pembangunan" yang melekat pada dirinya sangat berlawanan dengan apa yang ia lakukan di tanah Papua.

Jika rasisme di Amerika merujuk pada superioritas kulit putih atas kulit hitam, maka pandangan rasisme di Indonesia ditandai dengan superioritas ras Melayu atas ras Melanesia.

Perlakuan diskriminasi rasial adalah faktor potensial yang merusak semangat kesatuan dan persatuan bangsa. Pun sangat berlawanan dengan asas Bhineka Tunggal Ika.

Selanjutnya dapat menciderai tatanan sosial dalam masyarakat serta mengancam keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia.

Bangsa Indonesia perlu belajar merangkul Papua dari mendiang Gus Dur yang memilih pendekatan persuasif yang humanis, menggelar dialog, dan menumbuhkan kepercayaan orang-orang Papua.

Istilah Papua adalah hal yang tabu untuk digunakan selama rezim Orde Baru dan selalu diidentikkan dengan gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka oleh Soeharto. Namun, Gus Dur datang dan meruntuhkan streotip itu.

Nama Papua adalah "hadiah" dari Gus Dur sebagai wujud kecintaannya pada Bangsa Papua.

Pace Mace, kitorang samua basudara toh?

Sumber literasi: 1 & 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun