Timnas Indonesia gagal meraih kemenangan saat menjamu Lebanon dalam laga FIFA Matchday di Stadion Gelora Bung Tomo. Skor akhir 0-0 bertahan hingga akhir pertandingan. Meski secara taktik permainan menunjukkan arah yang jelas, efektivitas di lini depan dan mentalitas untuk menuntaskan laga menjadi perhatian penting dari laga ini.
Pelatih Patrick Kluivert menurunkan formasi dasar 4-2-3-1 dengan fleksibilitas tinggi dalam menyerang. Pemain-pemain sayap diberi ruang untuk eksplorasi, sementara lini tengah tampil aktif dalam membangun serangan dari bawah.
Indonesia tampil dominan dalam penguasaan bola, mengurung Lebanon hampir sepanjang babak pertama. Tapi dominasi ini tidak diikuti dengan ketajaman di depan gawang. Permainan terlalu berputar-putar di luar kotak penalti, nyaris tak ada umpan yang menusuk atau penyelesaian akhir yang meyakinkan.
Masalah utama terlihat jelas: ketika bola mendekati sepertiga akhir lapangan, semuanya mulai macet. Pemain depan seringkali tampak kebingungan menentukan keputusan---menembak, mengumpan, atau menggiring. Alhasil, peluang-peluang potensial terbuang percuma.
Miliano Jonathans, salah satu pemain debutan yang cukup mencuri perhatian, justru jadi titik perhatian tersendiri. Pemain muda ini memang menunjukkan teknik individu yang impresif, namun terlalu sering menggiring bola tanpa tujuan jelas. Alih-alih membuka ruang atau mempercepat tempo, gocekannya justru memperlambat aliran bola dan memberi waktu pertahanan Lebanon untuk menutup ruang.
Bakat Jonathans tak diragukan, tetapi pada level internasional, efektivitas lebih penting daripada estetika. Dalam pertandingan seperti ini, setiap detik dan setiap keputusan di sepertiga akhir harus dihitung dengan cermat. Terlalu banyak dribel yang tak produktif justru membuat skema tim terhambat.
Yang paling terasa dari pertandingan ini adalah ketiadaan nafsu menang. Indonesia bermain aman---menguasai bola, menghindari kesalahan, tetapi tidak menunjukkan agresivitas yang cukup. Bahkan di 15 menit terakhir, ketika seharusnya menjadi momen untuk all-out, tak terlihat upaya masif untuk mengubah skor.
mungkinkah karena ini hanya sekadar laga ujicoba? mungkin saja. Tapi sebagai tim yang ingin naik level dan bersaing di Kualifikasi Piala Dunia, laga seperti ini semestinya dijadikan simulasi tekanan dan keberanian. Dalam sepak bola modern, dominasi tanpa keberanian hanya akan menjadi angka statistik tanpa arti.
Hasil imbang ini menjadi cermin bahwa meskipun secara struktur permainan sudah mulai terbentuk, penyelesaian akhir dan mental bertanding masih perlu diasah. Tanpa keberanian mengambil risiko, tanpa visi menyerang yang tajam, dan dengan keputusan-keputusan individual seperti yang ditunjukkan Jonathans yang belum matang secara taktikal, Indonesia akan kesulitan menghadapi tim-tim besar Asia.
Timnas Indonesia telah memiliki fondasi taktik yang cukup menjanjikan, tetapi belum ada killer instinct di lini serang. Para pemain harus belajar membedakan kapan harus bermain indah dan kapan harus bermain efektif. Talenta seperti Miliano Jonathans perlu diarahkan agar potensi besarnya bisa berdampak langsung terhadap hasil tim, bukan hanya menjadi tontonan teknik individu.
Pertandingan ini bukan hanya tentang skor imbang---tapi soal kegagalan untuk membuktikan bahwa Indonesia benar-benar siap naik kelas. Waktu evaluasi sudah habis. Kini saatnya membangun tim yang tidak hanya bermain bagus, tetapi juga berani menang.