Mohon tunggu...
Ki Setyo Handono
Ki Setyo Handono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Musuh satu kebanyakan, kawan seribu kurang. Untuk apa saling membenci, damai lebih banyak manfaatnya. Untuk apa berceraiberai, bersatu lebih banyak manfaatnya. Untuk apa bertengkar, hidup guyub rukun lebih banyak manfaatnya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Surat Terbuka untuk Amin Bupati Ponorogo

25 Agustus 2014   21:40 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:35 2294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

1. Masyarakat Ponorogo sudah paham semua tentang latar belakang sekolah Anda. Ketika Anda jadi wakil bupati Anda baru selesaikan Kejar Paket C. Namun tidak lama berselang Gelar Sarjana dan Megister Hukum-pun Anda raih. Anda meraih gelar itu di universitas swasta di Ponorogo. Konon kuliah hampir nggak pernah dijalani, tahu-tahu Anda wisuda semuanya. Anda nampak senang peroleh dan gunakan gelar di belakang nama Anda. Masyarakat Ponorogo jadi kikuk melihat ulah Anda. Bayangkan,  ketika memberikan sambutan dalam acara resmi arah pembicaraan selalu tidak nyambung dengan tema acara. Lebih-lebih kalau sudah membaca istilah asing, maka cara mengejanya belepotan, nggak mudeng, nggak pas. Pesrsis tayangan 'Tukar Nasib' yang disiarkan secara rutin di televisi swasta.

2. Melihat realita tersebut ,masyarakat jadi bertanya-tanya, apa benar Anda dalam sekejap mampu selesaikan dua gelar tersebut? Padahal, dalam kesehariannya tidak paham materi hukum, sesuai dengan gelar yang Anda pakai. Kalau Anda membenarkan hal tersebut, maka Anda sebagai bupati telah melegalkan perdagangan gelar, dan sekaligus Anda menjadi pelopor pelannggaran hukum didunia pendidikan di Indonesia. Anda wajib bertanggungjawab, dan siap diuji secara hukum dan siap diuji dengan materi akademik sesuai dengan gelar keilmuan yang anda gunakan

3. Penghasilan bupati itu berapa per bulan? Kalau Anda dapat membangun rumah pribadi, kemudian bisa beli tanah di mana-mana hingga milyaran rupiah itu, uang dari mana? Kami sebagai masyarakat perlu tahu secara detail. Kami malu jika bupatinya tersandung korupsi, dan gratifikasi

4. Anda begitu bangga jadi bupati. Dan konon, 2015 bakal mencalonkan lagi. Sementara sejak Anda jadi bupati, Ponorogo menjadi runyam. Proyeng pembangunan banyak yang mangkrak, jalan-jalan banyak yang rusak, belum lagi ketika ada bencana Gunung Kelud meletus, Anda malah keluyuran pakai mobil dinas, yang plat merahnya Anda palsu dengan plat hitam. Anda tidak peduli dengan penderitaan masyarakat. Debu dibiarkan abadi bertaburan di seluruh jalan di Kota dan desa, se Ponorogo. Apakah begini ini sikap sebagai bupati?Anda paham, bahwa Masyarakat desa Ponorogo mudah terlena dengan sikap merakyat Bupati Amin. Anda rajin turun ke acara hajatan di desa-desa, anda rajin bagi-bagi uang kepada yang sedang punya hajatan. Masyarakat senang, karena seorang bupati mau datang di saat jam dinas, mau datang dengan pada acara yg tidak ada relevansinya dengan tugas Anda sebagai kepala pemerintahan. Anda hanyaberharapan dipuji oleh masyarakat pedesaan, dan peroleh dukungan, jika Anda menyalonkan bupati lagi. Dengan demikian Anda telah mendidik politik kepada masyarakat, bahwa tugas utama bupati adalah hadir di saat hajatan saja. Ujung-ujungnya Anda hanya tebar pesona untuk kekuasaan yang panjang. Jadi bupati lagi di Ponorogo?

5. Selama Anda jadi bupati, masyarakat tidak mengetahui, tidah paham arah pembangunan di Ponorogo seperti apa? Untuk itu, jika Anda bangga jadi bupati, tolong arah kebijakan itu Anda publikasikan di media masa. Tulisan itu hasil gagasan secara pribadi, bukan karya orang lain?

6. Berikut ini gambaran pemerintahan Anda hasil pengamatan praktisi lokal Ponorogo;

MENEBAK KONSTELASI
PILKADA 2015 DI PONOROGO
(Peluang Calon Alternatif)
Oleh:
Muh Fajar Pramono,
Dosen Universitas Darussalam Gontor
dan direktur LP2BM

Jika tidak ada hal yang luar biasa dalam politik di Ponorogo, kemungkinan besar Pemerintahan ADA (Amin dan Ida) pecah. Artinya, masing-masing akan maju sendiri-sendiri. Bupati Amin tentunya berusaha untuk mempertahankan posisinya sebagai Bupati. Sedangkan Wabub Yuni Widyaningsih (Mbak Ida) berusaha untuk memperebutkan posisi AE-1 dari Bupati Amin. Dalam perspektif kepentingan Golkar kecenderungan ini (pecahnya pemerintahan Ada) sebenarnya tidak diinginkan. Karena bersifat spekulatif/ gambling.
Sebenarnya bagi Golkar dengan mempertahankan statusquo (kondisi sekarang) ini cukup menguntungkan. Sekalipun hanya bisa menempatkan kadernya yang terbaik sebagai wabup, tetapi pengaruh, pengendalian dan penguasaannya terhadap pemerintahan Ponorogo relatif sempurna. Jadi, sebenarnya pemerintahan ADA tidak tepat disebut sebagai Pemerintahan Amin, tetapi yang tepat disebut sebagai Pemerintahan Golkar. Bupati Amin tidak lebih sebagai Bupati BONEKA. Jadi, baik buruknya pemerintahan Ponorogo 2010-2015 adalah menggambarkan hegemoni Golkar. Jika ada pengaruh Bupati Amin hanya sedikit saja.
Perpecahan ini tidak bisa dihindari karena disebabkan oleh dua faktor. Pertama, dari sisi Golkar. Bupati Amin tidak jelas konstribusinya dalam pemenangan Golkar dalam pemilu legislatif 2014. Karena dengan modal politik dan jaringan kekuasaan yang dimiliki ternyata tidak begitu efektif. Kenaikannya Golkar hanya 1 kursi (dari 9 kursi menjadi 10 kursi). Kedua, dari sisi Bupati Amin bahwa selama ini tidak mendapatkan porsi kekuasaan yang memadai. Istilahnya, raja, tanpa mahkota; atau penguasa, tanpa kuasa. Memang dapat proyek-proyek besar, tapi tidak cucuk (sesuai) dengan stempel yang diberikan.
Pemerintahan ADA bisa disatukan lagi jika dilakukan renegoisasi/ kontrak politik ulang, yakni format politik yang saling menguntungkan, baik untuk kepentingan Bupati Amin atau kepentingan Golkar. Atau dengan cara memutuskan akses atau mematikan langkah Bupati Amin untuk mencalonkan sebagai Bupati, baik dari jalur politik maupun jalur hukum. Jalur politik dengan cara “membeli” partai politik agar tidak bisa digunakan kendaraan politik Bupati Amin dengan istilah konspirasi dengan elit politik. Sedangkan jalur hukum dengan cara memanfaatkan celah-celah hukum, sehingga Bupati Amin “bertekuk-lutut” sesuai kemauan Golkar.
Sekalipun demikian langkah ke arah konsolidasi pemerintahan ADA tidaklah mudah. Sebagai bukti adalah wacana mutasi eselon II untuk 12 Agustus 2014. Bukan sebagai momentum untuk konsolidasi pemerintahan ADA, tapi justru yang terlihat untuk mempertotonkan ego-nya masing-masing (Bupati Amin dan Golkar), bahkan dipahami sebagai perjuangan hidup dan mati (secara politik). Mutasi ini jika tidak dikelola secara baik tidak hanya memperparah perpecahan Bupati Amin dan Golkar, tetapi tidak mustahil akan melahirkan calon alternatif. Semangatnya asal bukan Bupati Amin dan bukan asal Golkar. Karena kedua-duanya dinilai kurang/ tidak berhasil membawa perubahan dan perbaikan Ponorogo. Justru lahirnya berbagai kerusakan dimana-mana, baik dalam tataran politik maupun dalam penyelenggaraan pemerintahan sesuai kontribusinya masing-masing.
Pertanyaannya, siapa yang potensial menjadi calon atau kekuatan alternatif pada pilkada 2015 ? Menurut penulis ada beberapa perspektif, yaitu: Pertama, dalam perspektif kelompok-kelompok kepentingan adalah kekuatan-kekuatan yang merepresentasikan kepentingan pemberdayaan dan pembangunan desa, pendidikan dan kesehatan. Secara kongkrit adalah figur (calon Bupati dan wakil Bupati) yang bisa merangkul dan didukung oleh PGRI, Paguyuban Kepala Desa dan jaringan serta simpul-simpul kesehatan. Karena kelompok-kelompok itu yang kurang diuntungkan oleh Pemerintahan ADA.
Kedua, dalam perspektif ideologis. Kita ketahui bahwa pertarungan Bupati Amin dan Golkar adalah pertarungan kelompok merah/ kuning atau nasionalis sekuler, kongkritnya kelompok abangan dan priyayi sebagai kekuatan inti. Pertarungan ini sebenarnya menguntungkan kelompok hijau atau nasionalis agama atau kongkritnya kelompok santri. Setidaknya sebagai momentum konsolidasi kekuatan santri di Ponorogo, terutama unsur NU, Muhammadiyah dan pesantren. Maka dalam konteks ini figur (calon Bupati dan wakil Bupati) yang bisa menjadi alternatif adalah yang didukung dan bisa merangkul kekuatan santri dan kelompok abangan yang sakit hati atau kecewa terhadap performa pemerintahan ADA. Karena kelompok ini selama ini hanya sebagai kekuatan yang hanya dihitung, tetapi kurang diperhitungkan atau dilibatkan secara nyata oleh pemerintahan ADA.
Ketiga, dalam perspektif elit dan massa. Pengalaman pemilihan Presiden merepresentasi secara nyata pertarungan antara kepentingan elit dan kepentingan rakyat. Kita ketahui kini yang terjadi adalah elit berjalan dengan visi dan kepentingannya sendiri dan disisi lain rakyat berjuang dan bergerak dengan caranya sendiri. Selama ini elit politik bekerja dan berjuang hanya untuk kepentingan elit sendiri. Disisi lain kepentingan rakyat (grassroot) dalam kondisi terlantar. Maka dalam konteks ini adalah figur (calon Bupati dan wakil Bupati) yang mampu mengkonsolidasikan kekuatan rakyat dalam menghadapi kesewenang-wenangan elit politik. Karena selama ini rakyat hanya dijadikan sebagai obyek, kalau tidak boleh disebut sebagai bulan-bulanan pemerintahan ADA.
Dimana figur tersebut dalam waktu yang tidak lama akan muncul, bukan menjelma dalam diri Bupati Amin dan bukan dalam diri Mbak Ida ? Wallahu A’lam

Cokromenggalan, Selasa, 5 Agustus 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun