Mohon tunggu...
Chandra Sujana
Chandra Sujana Mohon Tunggu... Administrasi - CORRECTIONAL POLYTEHNIC

Taruna Utama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Narasi Usang Pemasyarakatan Indonesia

24 Mei 2019   22:26 Diperbarui: 24 Mei 2019   22:43 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Banyak  "narasi" berulang-ulang disampaikan sebagai penyebab persoalan yang dihadapi oleh sistem pemasyarakatan di Indonesia. Mulai dari buruknya pelanyan, perawatan, dan termasuk tidak memadainya fasilistas pendukung yang memperburuk keadaan. Hal ini menjadi pola pembinaan yang direncanakan dan diprogramkan tidak berjalan dengan baik dan tidak mendapatkan esensi yang ingin dicapai.

Namun akar penyebab banyaknya permasalahan ini yaitu situasi di mana jumlah tahanan melebihi kapasitas penjara atau dikenal dengan istilah overcrowding (terlalu padat), memang masalah besar.  Hal ini menimbulkan persepsi di penjara yang jumlah tahanan melebihi daya tampung ada anggapan bahwa prestasi minimal seorang kepala Lembaga Pemasyarakatan adalah mencegah kerusuhan dan pelarian. Sehingga mengabaikan keberhasilan dari proses pembinaan yang direncanakan, bahkan pembinaan hanyalah sekedar formalitas semata. Sehingga, hal ini berdampak pada pola pengendalian perilaku narapidana dalam penjara yang kurang tegas. Karena ketika kepala penjara bersikap tegas dan represif, ada ketakutan potensi konflik akan membesar.


Jumlah petugas yang sangat terbatas kemudian menyebabkan pola pengendalian informal justru lebih banyak digunakan. Narapidana tertentu diberikan "keistimewaan" sebagai kepala kamar atau pemuka untuk mengendalikan narapidana lain.  
Namun permasalahannya, relasi-relasi informal inilah yang menjadi cikal bakal sejumlah penyimpangan yang terjadi di dalam penjara. Adapun jika kita telaah lebih dalam lagi penyebab overcrowded di Lapas dan Rutan sangatlah nampak diantaranya


1. Lebih dari 150 Peraturan Perundang-Undangan yang merekomendasikan pidana penjara. Bayangkan saja update status di media sosial bisa saja        terancam pidana penjara.


2. Kebijakan pecandu atau pemakai narkotika bukannya direhabilitasi melainkan dipidana penjara. Malah belakangan ini Peraturan perundang-undangan mengatur semakin tinggi ancaman pidananya atau di atas 4 tahun.


3. Masih adanya overstaying Hal ini dikarenakan ada keengganan kepala rutan untuk membebaskan demi hukum bagi tersangka atau terdakwa yang sudah lewat masa tahanannya.


4. Belum optimalnhya penegak hukum dalam menerapkan tahanan rumah atau tahanan kota, mereka masih cenderung menerapkan tahanan rutan.


5. Belum optimalnya penerapan pidana alternatif. Pada berbagai kasus tindak pidana ringan, seperti kasus pencurian sandal, kayu, buah, sayur dan sebagainya yang seharusnya tidak perlu dipidana penjara, namun bisa dipidana bersyarat atau pidana alternatif lainnya.


6. Berlakunya PP 99 Tahun 2012 mengenai pengetatan aturan remisi dan pembinaan luar lapas berdampak. Bagi narapidana yang seharusnya cepat bebas namun harus tetap berada di dalam lapas akibat regulasi tersebut.


KUHAP mengamanahkan tiap kabupaten atau kota ada rutan dan lapas, namun kenyataannya hal tersebut tidak terealisasi, Jadi, apabila saat ini ada 600 kabupaten atau kota, maka seharusnya ada 1.200 lapas dan rutan. Kenyataanya saat ini baru ada 489 lapas dan rutan yang ada di Indonesia.


Disamping itu, paradigma dan pandangan masyarakat mengenai setiap tindak pidana harus di hukum penjara merupakan persepsi using yang seharusnya dirubah dengan memperhatikan pulihnya hidup, kehidupan, dan penghidupan. Mengingat overcrowded ini akan menyebabkan makin kompleksnya permasalahan di bidang pemasyarakatan. Oleh karena itu, dibutuhkan beberapa solusi dalam menyelesaikan persoalan tersebut diantaranya


1. Pemerintah sesegera mungkin mengesahkan RUU KUHP yang mutannya lebih menerapkan sanksi pidana alternatif daripada pidana penjara, seperti pidana denda, pidana ganti rugi, pidana kerja sosial, pidana bersyarat dan sebagainya


2. Merevisi PP 99 tahun 2012 yang memuat persyaratan yang memungkinkan, Dengan berlakunya PP tersebut lebih banyak menimbulkan persoalan karena diskriminatif, serta persyaratan yang cukup sulit dan prosedur yang berbelit-belit.


3. Bagi para pecandu atau pemakai narkoba sebaiknya direhabilitasi secara medis dan rehabilitasi sosial. Lapas bukan merupakan tempat yang ideal untuk para pecandu narkotika. Lebih dari 30 persen warga binaan adalah kasus narkotika. Perlu asesmen yang kuat apakah yang bersangkutan benar sebagai pemakai ataukah sebagai bandar. Mengingat dari aspek hukum, korban penyalahgunaan Narkotika adalah orang yang wajib menjalani rehabilitasi. Persoalannya adalah jumlah lembaga yang memberikan pelayanan rehabilitasi korban Narkotika masih sangat terbatas dan belum mampu mengimbangi laju pertambahan jumlah Korban Narkotika. Kondisi ini mengisyaratkan pentingnya partisipasi masyarakat luas dalam penyelenggaraan rehabilitasi. Peran masyarakat dalam bidang rehabilitasi tercermin dari UU 35/2009 tentang Narkotika Pasal 57: Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.


4. Para penegak hukum lebih mengoptimalkan penahanan kota dan tahanan rumah daripada penahanan rutan, terutama kasus tindak pidana ringan (tipiring), seperti pencurian sandal, buah buahan, sayuran dan sebagainya.


5. Mempercepat pemeberlauan program remisi online dan pemebebasan bersyarat secara online. Sehingga apabila ingin mendapatkan remisi ataupun pembebasan bersyarat perlu ada usulan, maka untuk konsep tersebut dibalik yang diusulkan adalah yang melakukan pelanggaran saja untuk pembatalan SK untuk mendapatkan remisi atau PB tersebut.


6. Kemenkumham dapat bermitra atau menggandeng pihak kea tau swasta untuk membangun lapas-lapas industri yang dapat menunjang pola pembinaan bagi para narapidana. Pihak swasta menyediakan tempat kerja hingga kamar hunian. Manajemen produksi sampai dengan pemasaran ada pihak swasta namun manajemen administrasi pemidanaan dan pengawasan ada pada Kemenkumham.


7. Sebagaimana amanah KUHAP setiap kota dan kabupaten perlu dibangun laps dan rutan, tentunya diimbangi dengan pengadaan fasilitas dan petugas pemasyarakatan yang terlatih dan berintegritas.


Dengan demikian, disisi lain Direktorat Jenderal Pemasyarakatan perlu memberi ruang yang lebih luas untuk pengawasan dari lembaga-lembaga nonpemerintah, khususnya organisasi masyarakat sipil yang bergerak dalam bidang bantuan hukum, hak asasi manusia, atau pemantau sistem peradilan pidana, serta memastikan disiplin seluruh petugas dan narapidana, dengan melaksanakan seluruh standar atau prosedur yang sudah ada sehingga narasi -narasi usang yang menyebabkan banyaknya persoalan dan permasalahn di sistem pemasyarakayan ini dapat diselesaikan dengan baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun