Mohon tunggu...
Kimi Raikko
Kimi Raikko Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Just Another Days In Paradise \r\n\r\n \r\n\r\n\r\n \r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Identitas Online versus Identitas Offline?

2 Maret 2012   06:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:38 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_174572" align="aligncenter" width="425" caption="ilustrasi/admin(shutterstock.com)"][/caption] Bisakah anda sejenak saja berhenti dari kehidupan hyperconnected? Bila anda terkoneksi dengan banyak hal terutama di kehidupan online, anda akan membentuk jati diri baru, yaitu identitas online. Identitas online ini, bagi sebagian mereka paling tidak merupakan perwujudan dari identitas offline atau keseharian. Namun karena adanya pilihan anonim dan alias, seringkali identitas online tidak sama dengan identitas offline. Zaman kemajuan media sosial saat sekarang ini, mau tak mau anda harus ikut. Media sosial memang sudah menjadi kebutuhan harian sebagian manusia di bumi ini. Jika kita lihat empat tahun ke belakang, media sosial belumlah segegap gempita sekarang ini. Kini setiap orang paling tidak punya satu akun media sosial, bahkan ada yang punya lebih dari lima. Hal ini membuat mereka menjadi orang yang Hyperconnected. Di antara kelima akun media sosial tersebut bisa saja di setiap akun memiliki identitas online tersendiri. Contohlah misalnya di kompasiana dengan nama Bobo, di Twitter @Obob dan di Google Plus Bobi Bobo. Bila ditambahkan dengan akun MySpace, Friendster dan Facebook, tentulah identitas online tersebut semakin bertambah. Pertanyaannya, samakah apakah identitas-identitas yang saling berbeda tersebut sama dengan identitas offline? Dulu sewaktu saya masih awam dalam internet, sekitar tahun 2000 - 2001, saya berkesimpulan, dunia internet bukanlah sesuatu yang aman sehingga saya memilih menggunakan alias atau identitas yang berbeda dengan yang di offline. Kesimpulan tersebut hingga saat ini masih saya pertahankan, kecuali jika suatu aturan tertentu mengharuskan menggunakan nama asli. Dalam berinteraksi di dunia online sekarang ini, saya masihlah termasuk orang yang sulit untuk langsung percaya dengan identitas online seseorang. Dulu jika anda ingat Chatting MIRC atau Dalnet, bermacam-macam identitas saya buat. Orang lain pun demikian. Saya pun pernah kena tipu karena merasa percaya dengan identitas tertentu begitu saja. Ini artinya sangat terbuka kemungkinan seseorang yang online akan sangat berbeda dengan kehidupan offline. Permasalahan timbul ketika kebebasan untuk menjadi anonim atau alias tersebut digunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak baik. Dari data yang saya baca beberapa tahun yang lalu, sebagian identitas yang ada di chatting ternyata identitas palsu.  Ini artinya kebebasan untuk menjadi anonim dan alias digunakan secara tidak bertanggung jawab sehingga kemudian menipu orang lain. [caption id="attachment_164210" align="aligncenter" width="576" caption="Ilustrasi, sumber: http://www.chemical-check.com"]

13306703522059706038
13306703522059706038
[/caption] Saya sering menayakan kepada teman yang asyik chatting via Yahoo Messenger atau fasilitas lain, apakah ia yakin bahwa yang ada dibalik layar/identitas itu benar-benar seseorang yang sesuai dengan gambaran yang diberikan sebelumnya. Misalnya mengaku seorang pria, usia 27 tahun, sedang mencari pacar, sudah bekerja dan punya rumah sendiri. Bila kita ambil sisi curiga, saya beranggapan belum tentu penggambaran itu menjadi benar karena sangat terbuka untuk melakukan kebohongan. Kini dengan semakin majunya media sosial permasalahan identitas online versus identitas offline ini semakin membesar. Media sosial seperti Facebook memungkinkan penggunanya berteman dengan siapa saja di seluruh dunia. Identitas yang dipasang pengguna pun kadang disesuaikan lebih dahulu dengan tujuan membuat akun Facebook. Bahkan sering terindikasi, pengguna Facebook mengganti status mereka menjadi single atau in a relationship untuk tujuan tertentu. Ini artinya identitas yang dipasang tersebut kadang tidak bersesuaian dengan kondisi nyata yang ada. Selain itu, saya sering mengalami, teman-teman saya yang heboh di media sosial ternyata seketika bertemu di dunia nyata, orangnya sangat kalem, sangat sedikit berbicara. Padahal kalau update status bukan main hebohnya. Apakah ini yang dimaksud identitas ganda pengguna media sosial? Bisa jadi demikian. Di media sosial yang kita hadapi bukanlah realitas, melainkan hiperrealitas atau sesuatu yang melebihi sangat jauh realitas yang sebenarnya. Hiperrealitas ini kita hadapi sepanjang hari, tujuh hari seminggu dan 30 hari sebulan. Dengan demikian di otak akan terbentuk suatu pemahaman terhadap teman-teman di media sosial. Namun ketika berada di dunia yang sebenarnya, pemahaman itu tidak sesuai. Media sosial telah memaksa kita menjadi orang lain, berbeda dengan kita yang sebenarnya. Saya percaya sekali, hiperrealiatas di media sosial tersebut akan hilang dengan sendirinya jika terjadi kontak di dunia offline secara terus-menerus dan berkesinambungan. Gap yang ada antara identitas online dengan identitas offline sedikit demi sedikit akan terkikis, jika anda, saya dan kita semua bisa terkoneksi secara offline. Namun untuk bisa terkoneksi secara offline bukanlah perkara yang mudah. Banyak orang menghindari bertemu di dunia nyata. Banyak di antara kita yang cukup puas hanya bertemu via chatting, komentar dan update status. Nah tentunya pilihan ada di diri kita masing-masing. Identitas online bagi saya oke, offline pun tak masalah. Koneksi online bagus dan terkoneksi secara offline lebih bagus.

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun