Mohon tunggu...
Frida Kurniawati
Frida Kurniawati Mohon Tunggu... Mahasiswa, penulis, book reviewer -

Seorang mahasiswi (menuju) semester akhir Jurusan Teknik Fisika UGM, yang lebih suka menulis (fiksi, review, apa aja, deh) daripada bikin sensor arah angin. Tapi, dia nggak merasa salah jurusan lho.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mendengar tapi Tidak Mendengar

21 Januari 2015   00:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:43 613
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya ikut kebaktian karena ingin mendengarkan khotbah sang pendeta. Untuk apa lagi saya rela pergi malam-malam menerabas hujan ke Gejayan selain untuk memuaskan kerinduan akan pengajaran? Dan tiap Minggu, saya dapatkan pembelajaran yang luar biasa, seperti Minggu ini. Saya sengaja, tidak membawa Alkitab, baik konvensional maupun aplikasi Android. Bukan karena tas saya terlalu kecil untuk memuatnya. Bukan juga karena Alkitab saya sudah tak keruan bentuknya. Hanya karena satu hal sederhana: saya ingin belajar menyimak ketika bacaan dibacakan di depan. Apa gunanya lektor ketika masing-masing umat malah membaca sendiri? Ajaibnya, Tuhan menanggapi keinginan saya untuk belajar menyimak. Siapa sangka kalau khotbah hari ini tentang keajaiban “mendengar”?

Saya sudah lama tahu kalau saya bukan orang yang sabar. Ada orang lain bicara. Saya tidak setuju dengan pendapatnya. Meletup-letuplah rancangan kata-kata serbuan dalam mulut saya. Dalam kondisi emosional, mungkin saya hanya sanggup mendengar lawan bicara saya selama 1 menit, karena saya sudah tak sabar untuk membalasnya. Namun, dalam kondisi percakapan biasa, dengan sahabat sebelah kamar kos saya, misalnya, saya sanggup mendengar cukup lama. (Karena dia suka bicara, dan saya lebih memilih untuk mendengarkan saja dongengannya). Betapa terkejutnya saya begitu disodori fakta menarik oleh sang pendeta, bahwa seberapa lama saya mampu mendengarkan orang bicara tanpa membalas dapat menentukan saya masuk kategori orang yang sabar atau tidak.

14217508261463168885
14217508261463168885

Kemudian, filosofi di balik mendengar; mendengar suara Tuhan. Pertama, mendengar itu berarti mengerti. Kalau tidak mengerti, berarti proses mendengar tidak berjalan dengan baik. Sesungguhnya, mendengar dan mengerti (alias menyimak) ini sulit dilakukan, menurut saya. Dalam mata pelajaran bahasa, sistem pendidikan dasar di Indonesia terbiasa mengajarkan membaca dan menulis dengan porsi yang lebih banyak ketimbang pelajaran mendengar. Itulah mengapa, dalam TOEFL kebanyakan teman saya mengeluhkan tes listening. Skor TOEFL ITP saya juga paling rendah berada pada bagian mendengarkan.

Banyak hal yang terlewatkan jika saya tidak mendengarkan kuliah dengan saksama. Seringnya, saya malah melamun atau baca novel, atau ngobrol dengan teman sebelah. Tidak jarang, saat ujian, dosen mengeluarkan pertanyaan yang jawabannya tidak ada di buku referensi maupun diktat kuliah. Ternyata, jawabannya ada di catatan teman saya yang paling rajin mencatat tiap omongan dosen yang dianggap penting. Begitu pula, jika saya menyediakan waktu untuk mendengar suara Tuhan, saya akan dapat mengerti apa yang Dia mau saya lakukan di dunia ini. Kedua, mendengar itu bisa dilatih dengan membaca firman Tuhan. Orang yang tekun membaca Kitab Suci setiap hari, niscaya suara hatinya akan terasah, sehingga dia bisa tahu mana yang suara Tuhan, mana yang suara iblis. Suara Tuhan itu senantiasa menyuarakan kasih, kekuatan, teguran mengingatkan akan tugas/kewajiban, dan penghiburan. Di luar itu, berhati-hatilah, mungkin itu suara iblis atau suara kedagingan.

Ketiga, mendengar berarti taat melakukan. Coba kalau saya yang jadi Samuel. Ketika dipanggil untuk kedua kalinya, saya pasti sudah jengkel. “Samuel! Samuel!”, dan saya akan berteriak, “Terseraaaahh! Ogaaahh!” Tapi, Samuel tidak seperti itu. Ia adalah orang yang sabar. Tiga kali dipanggil, tiga kali juga ia selalu bangkit dari tidurnya dan pergi ke Eli. Barulah, di panggilan keempat, ia mengerti bahwa itu suara Tuhan.

Mendengar suara Tuhan lantas bukan hanya mengendap dalam hati jadi sebatas pengetahuan. Tidak. Suara Tuhan harus dilakukan. Seorang penulis bukan penulis jika tak pernah menulis. Bagi penulis, menulis adalah latihan. Kemampuannya tak akan berkembang jika hanya berimajinasi, “Saya ingin menulis ini..., itu, banyak sekali!”, tapi tak pernah benar-benar menulis! Jika telah terbiasa melakukan sesuai dengan suara Tuhan, maka orang itu akan semakin bijaksana.

Keempat, orang yang banyak mendengar akan menjadi orang yang bijaksana! Zaman ini telah bergeser. Dulunya, perusahaan-perusahaan lebih suka memilih manajer yang pandai bicara. Rakyat pun lebih memilih pemimpin yang pandai bicara. Namun, kini, kita memilih pemimpin yang lebih banyak mendengarkan suara rakyat. Menteri-menteri pun begitu. Perusahaan-perusahaan pun memilih manajer yang lebih banyak mendengar. Sales asuransi di Amerika yang menerima penghargaan terbaik bukan orang yang pandai bicara. Orang itu malah tak pandai bicara. Ia hanya mendengarkan keluh kesah kliennya dengan sabar, kemudian menawarkan solusi asuransinya.

Saya jadi teringat akan pengalaman saya baru-baru ini, di mana saya gagal seleksi LGD TOTAL Summer School. Dari kelompok saya, empat orang yang lolos adalah yang paling pandai bicara. Yang tidak memberi kesempatan pada yang lain untuk bicara. Sementara saya, terperangkap di antara orang-orang yang sedemikian rupa menyebabkan saya lebih suka diam dan mendengarkan. Tak ada hal yang saya lewatkan begitu saja dari satu kuping ke kuping lainnya. Berarti saya lebih bijaksana dibandingkan mereka? Entahlah. Haha.

Di Skandal Raja Bohemia, Sherlock Holmes berkata pada Watson, “Kamu melihat, tapi tidak mengamati. Perbedaannya besar sekali.” Kini, saya berkata pada diri sendiri, “Kamu sering mendengar, tapi tidak menyimak! Perbedaannya besar sekali!” Yang jelas, yang saya butuhkan saat ini adalah diam dan mendengarkan baik-baik. Jawaban itu selalu ada; suara Tuhan selalu bergema di mana-mana, hanya saja saya mau mendengarnya atau tidak. Semoga saya bisa menjadi lebih bijaksana.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun