Oleh : Wahyu Barata
Pada saat Gubernur Jendral Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC), Jan Pieterszoen Coen ingin menyampaikan berbagai informasi dagang kepada anak buahnya yang tersebar di berbagai tempat, ia meminta para schrijfer (juru tulis) menuliskannya dalam selebaran yang dinamai Memorie der Nouvelles, kemudian mengedarkannya di kalangan pegawai VOC. Para julis itu harus menuliskan berulang-ulang sejak tahun 1615.
Penerbitan surat kabar pertama di Jawa Baratdianggap sebagai pers putih sebab surat kabarnya “dari dan untuk kulit putih”. VOC sebagai pembawa budaya barat hanya memperhatikan kepentingan mereka sepanjang tidak menentang kebijakan VOC.
Pada masa Gubernur Jendral VOC Van Imhoff, diterbitkan surat kabar resmi pertama, Bataviasche Nouvelles pada tanggal 7 Agustus 1744, oleh pedagang VOC Jan Erdmans Jondens, isinya terutama berita-berita kapal, pengangkatan dan pemberhentian pejabat VOC, peraturan-peraturan pemerintah di Belanda dan VOC sendiri, ditambah berita-berita singkat dari berbagai tempat di mana ada pangkalan VOC (mulai dari Nusantara hingga Tanjung Harapan di Afrika Selatan).
Tetapi Heren XVII (Tuan-tuan 17), para pemilik modal VOC di Belanda, tidak suka dengan isi surat kabar ini yang dipandang merugikan VOC, sehingga dilarang terbit pada tanggal 20 November 1745 (meski baru berhenti terbit pada tanggal 20 Juni 1746) karena perintah larangan dari kerajaan Belanda lambat diterima di Batavia. Inilah kisah pembredelan pers pertama, setelah 30 tahun Batavia tanpa surat kabar, pada tahun 1776 terbit mingguan Vendu Nieuws yang bertahan cukup lama, yaitu hingga kompeni (VOC dibubarkan pada tahun 1799. Surat kabar yag disebut-sebut “Surat Lelang” ini bisa bertahan lama karena isinya hanya advertensi dan sedikit berita.
Gubernur Jendral Daendels, Sang Reformis, pada tahun 1810 membidani surat kabar Bataviasche Koloniale Courant yang berisi berita berbagai kebijakan “Mas Galak” (sebutan dari orang Indonesia untuk Daendels) itu, termasuk pengumuman pemberian pangkat militer kepada elite-elite pribumi (patih, bupati, dan lain-lain). Pada masa pemerintahan interregnum Inggris, Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles yang menggantikan posisi Daendels, Bataviasche Koloniale Courant berganti nama menjadiJava Government Gazette (1811-1815). Pemerintahan Inggris berakhir tahun 1816 dan pemerintahan kembali ke tangan Belanda. Pada tahun ini, Java Government Gazette berganti nama menjadi Bataviasche Courant dan pada tahun 1827 diubah lagi namanya menjadi Javasche Courant.
Pemerintah Hindia – Belanda mewarisi sifat otokratis VOC, sehingga pers swasta baru muncul pada pertengahan abad ke 19, yang dibatasi dengan ketat melalui Drukpers Reglement tahun 1856 memberlakukan sensor preventif, kemudian diubah tahun 1906 menjadi sensor represif. Hingga akhir abad ke 19 surat kabar putih ini berhaluan politik netral.
“Pada peralihan abad ke 19, 20, muncul surat kabar-surat kabar yang memuat berita politik, bahkan yang bersikap kritis terhadap pemerintah kolonial Belanda. Kebebasan pers mengakibatkan delik pers. Pengadilan terhadap wartawan menjadi hal biasa sehingga timbul ungkapan “seorang redaktur surat kabar di daerah jajahan selalu bekerja dengan satu kakinya di penjara.”
Beberapa surat kabar putih yang pernah terbit di Jawa Barat antara lain : Tjerimai (1887), De Noordkust (1913), Cheribonsche (1918) di Cirebon; Preanger Bode (1895), mingguan yang bertahan sangat lama hingga menembus masa penjajahan. Nicork Express (1914), mingguan De Indische Post (1920-1939) di Bandung; Bataviaasch Nieuwsblad di Batavia (dengan redaktur seorang Indo – Belanda, F. K. H. Zalberg, pada tahun 1907 muncul E. F. E. Douwes Dekker), Soekaboemipost (1918), De Preanger Post (1922) di Sukabumi; De Archipel Post (1917); De Buitenzorg Post (1922) di Bogor.
Ada juga surat kabar dan majalah bersifat khusus, seperti mingguan bisnis De Bedrijfscourant (1915) di Sukabumi, Weekblad van de Handelsvereeniging (1920) di Bandung, majalah bulanan pariwisata The Garoet Express and Tourist Guide Geillustreerd Weekblad di Garut. Di Bandung ada dwibulanan militer De Indische Legerkrant (1919). Koran untuk tentara ini menarik, harga langganannya untuk perwira tinggi f 1,- per kuartal, untuk perwira menengah f 0,50, sedangkan untuk kopral dan prajurit gratis. Pada tahun 1940 di Bandung William Booth menerbitkan Strijd Kreet, surat kabar resmi untuk tentara Hindia-Belanda yang menginduk ke London. Masih ada lagi De Indo – Europeanen (1922) yang diterbitkan Serikat Buruh kereta Api di Bandung, Harian Katolik De Koerier (1938) di Batavia, dan Bantam (1923) surat kabar gratis berisi iklan terbit di Rangkasbitung Kereside nan Banten”. (Lubis : 2006).
Keadaan berubah signifikan saat Harian De Indische Telegraaf (1924) di Bandung muncul dalam edisi pagi dan sore, kecuali hari Minggu dan hari libur. Pada akhir tahun ini muncul pesaingnya, Preanger – Post. Menjelang penjajahan Belanda berakhir masih ada surat kabar yang diterbitkan, yaitu Indisch Weekblad (1941), Indie Bode (1942) di Bandung. Setelah kemerdekaan, masih ada media cetak berbahasa Belanda. Pada tahun 1946 di Bogor masih terbit surat kabar Buitenzorg’s Dagblad.
Pada akhir abad ke 20 wartawan dan pemilik percetakan atau pengusaha surat kabarnya umumnya adalah orang-orang Belanda, Indo Belanda, dan sedikit orang Cina Peranakan ada pula orang pribumi ikut di dalamnya sebagai wartawan dan redaksi kemudian melahirkan Pers Cina Peranakan Melayu.
Terbit juga surat kabar berbahsa Melayu yang dikelompokkan antara surat kabar yang diterbitkan kaum Cina Peranakan yang menggunakan bahasa Cina dan surat kabar yang diterbitkan orang pribumi dan orang Belanda.
Surat kabar pertama yang diterbitkan kaum Cina Peranakan adalah Li Podi Sukabumi pada tanggal 12 Januari 1901 (berakhir tahun 1907). Pada tahun 1903 terbit kabar Perniagaan (kemudian menjadi Perniagaan) yang diusahakan kaum opsir Tionghoa di Batavia; mingguan Tionghoa Wie Sin Ho (1905) di Bogor; dan Sin Po (1910) di Batavia yang pada tahun 1912 berubah menjadi Harian. Pada tahun 1928, Perniagaan dipimpin seorang mahasiswa bernama Oh Sien Hong, dan pada tanggal 1 Juli 1930, Perniagaan diganti namanya menjadi Siang Po.
Masih ada terbitan lain, yaitu Keng Po (1923), Sin Bin (1925-1926), dan Hong Po (1939) di Batavia. Kiauw Po (1930) dan tahun 1932 berganti nama menjadi Sumanget di Bandung; Asia (1933) di Sukabumi, dan mingguan Bin Po (1933-1934)”.(Lubis : 2006).
Orang pribumi dan Indo pun menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu, Pers Melayu ini ditujukan untuk kalangan pribumi. Redaksi dipegang pribumi atau Indo – Eropa, begitu juga wartawan-wartawan dan pengusaha penerbitannya. Usaha ini dimulai dengan Soerat Chabar Betawie (1858), Pemberita Betawie (1874), Taman Sari (1898), Pancaran Warta (1901), Bintara Hindia (1901) di Batavia; Mingguan Pengadilan (1897) yang diterbitkan De Vries & Fabricius di Bandung, dan Mingguan Pewarta Prajangan (1898) di Bandung.
Tokoh-Tokoh Pers Pertama Di Indonesia
1). Mas Marco Kartodikromo, mengelola penerbitan Sinar Djawa di Surakarta. Salah seorang “Bapak Jurnalis” Indonesia pernah berkata, “Apakah sebabnya ini soerat kabar kami namakan “hidoep”?Tidak lain soepaja jang merasa hidoep dengan mengoempoelkan tekatnja boeat bergerak goenamentjapai “hidoep?” kita sedjati, jang gilang-gemilang dan soetji, tidak tertjampur dengan pikiran jang kedji. Menilik aliran doenia dan menetepi koewadjiban kita sebagai manoesia, seharoesnja kita tidak poetoes pengharepan boeat berdaja oepaja goena melakoekan koewadjiban mendjoendjoeng kemanoesiaan kita.”(Marco, Hidoep,Hidoep, 1 Juli 1924)”(Manshur & Ponomban : 2003). Tulisan-tulisan pemuda ini membawa semangat solidaritas bangsa terjajah yang pada gilirannya bermuara pada semangat perlawanan.
2).Rd. Mas Tirto Adhi Soerjo
Pada tahun 1903 Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, seorang jurnalis pertama bumiputra, mengelola surat kabar Soenda Berita di Cianjur,yang terbit setiap hari Minggu. Raden mas Tirto Adhi Soerjo biasa menuliskan namanya dengan inisial “T.A.S.” lahir di Blora tahun1880 dengan nama Raden Djokomono. Setamat Europeesche Lagere School (ELS/sekolah dasar Belanda) di Rembang, TAS meneruskan ke Sekolah Dokter Jawa (STOVIA) di Batavia selama 6 tahun namun tidak sampai tamat. Dalam usia muda ia sudah mengirimkan tulisan-tulisan ke sejumlah surat kabar dalam bahasa Belanda da Jawa.
Selama dua tahun ia ikut membantu Chabar Hindia Olanda, pimpinan Alex Regersburg, setelah surat kabar itu berhenti terbit, ia pindah menjadi redaktur Pembrita Betawi pimpinan F. Wiggers, yang kelak digantikannya.
Setelah bergaul beberapa bulan, TAS mendapat pelajaran bagaimana mengelola penerbitan sendiri, juga belajar hukum untuk mengetahui baas-batas kekuasaan Hindia-Belanda, belajar agama Islam dan hukumnya untuk lebih mengenal bangsanya.TAS sempat menjadi redaktur di Pewarta Priangan, terbitan Bandung, namun tidak berumur panjang. TAS pun kembali ke Pembrita Betawi.
Pada tahun 1902, TAS menikah dan membawa istrinya pindah ke Desa Pasir Cabe, yang jaraknya 3 pal dari Bandung. Di Bandung ia ditawari pekerjaan pegawai negri oleh asisten residen Bandung, tetapi ditolaknya. Dengan modal hasil penjualan semua hartanya di Batavia dan ditambah modal pemberian Bupati Cianjur R. A. A. Prawiradiredja, diterbitkan Soenda Berita, pada tahun 1903, surat kabar pribumi pertama, yang dimodali, dicetak, ditangani oleh pribumi, oles TAS sendirian, one – man business, surat kabar yang terbit setiap hari Minggu ini dijual dengan harga langganan 80 sen per bulan, seringgit per kuartal, atau f 7,50,- per tahun, dengan harga eceran 20 sen. Surat kabar dengan tiras 1.500 eksemplar ini, cukup memiliki langganan mulai dari raja-raja, para bupati, hingga para hartawan Cina, Soenda Berita banyak memuat iklan dari perusahaan besar dan menengah.
Untuk memperluas jaringan, pada tahun 1904 redaksi dipindahkan ke Weltreveden, Batavia, dan percetakan ditangani F. B. Smits. Namun kepindahan ini kemudian disusul dengan kesulitan keuangan dan akhirnya Soenda Berita berhenti terbit pada tahun 1906. Setelah itu TAS berkeliling Hindaia Belanda untuk bertemu raja-raja dan berbagai kalangan masyarakat. Perjalanan panjang ini sampai ke Maluku , di mana ia menikahi Prinses Fatimah, adik Sultan bacan, Oesman Sjah. Sepulang berkeliling, TAS tinggal di bogor kemudian bersama beberapa priyayi di Batavia, mendirikan Sarikat Prijaji dengan anggota sekitar 700 orang dari berbagai daerah di Hindia – Belanda.
Tetapi menurutH. Rosihan Anwar (2006), koran pertama milik pribumi adalah Medan Prijaji terbit di Bandung tahun 1910. Sebelumnya, koran yang terbit di Hindia-Belanda milik Indo Belanda. Kemudian Raden mas Djokomono atau Raden Mas Tirto Adhi Soerjo atau Aditirto, putra Regent (Bupati) Bojonegoro tampil dengan koran bermoto “Organ boeat bangsa jang terprentah di H. O. (Hindia-Olanda) tempat akan memboeka swaranja Anak Hindia.” Aditirto menjadi tokoh Minke dalam novel Pramoedya Ananta Toer “Bumi Manusia”.
3). Dr. Rivai, kolumnis pertama, yang pada awal abad ke 20 menulis dalam koran Pewarta Deli dan Bintang Timoer, dianggap sebagai “Bapak Jurnalistik”.
4).Sosrokartono, adik Raden Adjeng Kartini, adalah koresponden perang pertama. Ketika pecah Perang Dunia I (1914-1918) ia berada di Eropa dan menjadi koresponden perang koran New York Herald. Di tanah air orang tak tahu apa yang diberitakan koresponden perang Sosrokartono. Sampai sekarang tak ada usaha untuk meneliti arsip/file koran tadi atau di museum Amerika contoh berita Sosro. Tenggelam dalam sejarah pers dan dilupakan. Tetapi sekembalinya di tanah air sosro kemudian terkenal sebagai orang yang mengobati penyakit dengan menyuruh pasien meminum air putih yang diberikannya. Sosrokartono meninggal dunia di Bandung tahun 1952 dan menjadi orang yang dilupakan.
4). Djamaludin Adinegoro, koresponden keliling pertama. Pemimpin redaksi Pewarta Deli, terkenal dengan bukunya yang diterbitkan Balai Pustaka “Melawat Ke Barat”.
5). H. Mustapha, koresponden keliling pertama, bekerja di koran Pemandangan, Jakarta, pada tahun 1935-1937. Kemudian dengan bersepeda berkeliling ke berbagai negri. Dalam perjalanannnya mengirimkan reportase kepada korannya di Jakarta. Dia sampai di Timur Tengah, melintasi gurun pasir, menuju Persia dan Turki, kemudian khalas berita. Dan kemudian menjadi orang yang dilupakan.
Para Penulis Di Masa Pergerakan
“Tidakkah kita, bangsa Indonesia ikut pula berdebar-debar hati, kalau kita mendengar kabar tentang madjunya usaha Ghasi Zaglul Pasha membela Mesir?Tidakkah kita ikut berhangatan darah kalau kita mendengar kabar tentang haibatnja pergerakan Mohandas Karamchand Gandhi atau Chita Ranjau Das membela India? Tidakkah kita berbesar hati pula mendjadi saksi atas hasilnja usaha Dr. Sun Yat Sen, “Mazzini Negri Tiongkok” itu? Bahwasanja, bahagia yang melimpahi negri-negri Asia jang lain adalah kita rasakan sebagai melimpahi diri kita sendiri : malangnja negri-negri itu adalah malangnja negri kita pula.” (“Soekarno, Indonesianisme dan Pan-Asiatisme, Soeloeh Indonesia Moeda, 1928, dalam “Di Bawah Bendera Revolusi”, Djakarta,, 1963).
Itulah gaya pemuda Soekarno membangkitkan semangat bangsa Indonesia, kaum inlander yang tertindas pada masa penjajahan. Soekarno muda dengan berapi-api membesarkan semangat rakyat Indonesia akan kepastian suatu perubahan. Kepada rakyat, ia kabarkan peristiwa-peristiwa penting mengenai pembebasan nasional negri-negri di Asia.
Tulisan Soekarno ini ditulis untuk bangsanya pada awal abad ke 20, di tengah-tengah perjuangan melawan kolonialisme. Dalam sejarah pergerakan di mana pun di dunia ini,ternyata para pemimpin pergerakan selalu menggunakan metode pergerakan melalui tulisan. Bagaimana Soekarno, pemimpin besar pergerakan di Indonesia beraksi melawan penguasa kolonial Belanda. Pemuda Soekarno yang pemberani dan kritis menggunakan media sebagai sarana mempertemukan gagasan-gagasannya mengenai Indonesia Baru.Koran Soeloeh Indonesia Moeda, antara lain adalah tempat yang sering digunakan Soekarno untuk mensosialisasikan ide-ide segarnya. Konsekuensinya, hidupnya menjadi taruhan dengan menjadi incaran Belanda. Tetapi ia menuai simpati dari rakyat yang membaca tulisan-tulisannya. Rakyat semakin bersemangat berjuang menentang kesewenangan Belanda.
Beberapa tokoh pergerakan lain yang pantas disebut di sini adalah Dr. Wahidin Soediro Hoesodo (Retno Dhoemilah), Abdul Muis (Pewarta Hindia), Serikat Islam (Oetoesan Hindia, dengan redaktur H. O. S. Tjokroaminoto, 1912), Indische Partij, De Express diredakturi Douwes Dekker), Haji Misbach di Surakarta menerbitkan Medan Muslimin, 1915, dan Islam Bergerak, pada tahun 1917.
Tan Malakapun lebih memilih tulisan sebagai media perjuangan daripada muncul di depan publik untuk memimpin pergerakan. Tulisan-tulisannya, selain berisi taktik dan strategi perjuangan juga berisi pandangan-pandangan konsepsionalnya mengenai Indonesia Baru.
Tulisan-tulisan Tan Malaka antara lain “Het Vrij Woord” (Kata Yang Bebas) untuk surat kabar Bolshevik berbahasa Belanda yang terbit di Semarang. Artikel pertamanya ke luar pada akhir Maret 1920 yang berjudul “Aemoedeland” (Negri Yang Miskin). Artikel ini berbicara tentang kemiskinan yang menimpa rakyat Indonesia sejak akhir Perang Dunia I yang semakin parah. Dan ironi bangsa yang mempunyai kekayaan melimpah. Artikel pendeknya “Engelsche Arbeldstoestenden in 1919” (Keadaan Kaum Buruh Inggris Pada Tahun 1919) terdiri atas kutipan dari surat kabar Labour Gazette mengenai pengangguran, pemogokan, upah, harga, dan serikat-serikat pekerja. Tulisan ini mampu menyemangati kaum buruh pada waktu itu. Sementara itu, “Verbruiks Cooperaties voor Javansche Proletariaat” (Koperasi-Koperasi Konsumsi Untuk Proletar Jawa) berisi tulisan tentang kemiskinan dan harga yang melambung.
Tulisan-tulisan tentang strategi dan taktik perjuangan dapat ditemukan antara lain dalam brosur berjudul “Sovyet atau Parlement”, yang berisi pandangan teoritis mengenai bentuk pemerintahan, yang membandingkannya dengan teori kiri pada waktu itu. Konsep Indonesia Baru dapat ditemukan dalam “Naar de Republik Indonesia” (Menuju Republik Indonesia). Di sini dia menyampaikan banyak hal seperti politik, ekonomi, sosial, pendidikan, dan bahkan militer.
Tan Malaka sempat mengecam pemberontakan PKI 1926 melalui karya berjudul “Massa Actie” (Aksi Massa), pada tahun 1927 ketika dia berada di Singapura. Dalam buku ini Tan Malaka menggarisbawahi revolusi Indonesia sebagai revolusi yang hanya mungkin terjadi dan berhasil kalau didukung massa rakyat terorganisasi.
Begitupun Mohammad Hatta. Tokoh pergerakan yang dikenal kalem, namun cerdas dan kaya konsep ini adalah juga seorang penulis setia semasa perjuangan. Tulisan-tulisan Hatta sampai sekarang dapat kita temukan dalam buku “Demokrasi Kita” dan dalam “Kumpulan Karangan”, yang isinya mengutarakan bagaimana pandangan Hatta tentang demokrasi Indonesia, sistem ekonomi Indonesia, dan peran pemuda.
Melalui tulisan-tulisan mereka, semangat, strategi, dan obor perjuangan tetap menyala-nyala. Betapa dahsyatnya hasil goresan tulisan kaum intelektual sehingga dalam sejarah dunia kita melihat bagaimana rezim-rezim diktator kewalahan menghadapinya. Pramoedya Ananta Toer, misalnya, telah membuat penjajah Jepang, pemerintah Orde Lama, dan pemerintah Orde Baru harus kerepotan menangkap dan memenjarakannya hanya karena dia menulis. Hanya menulis.
Berdirinya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Tanggal 9 Februari 1946
H. Rosihan Anwar (2006) menuturkan, “Pers Indonesia di masa pergerakan nasional melawan penjajah Belanda tidak mengenal sebutan “koresponden perang”. Sebutan itu muncul pada awal zaman revolusi bersenjata (1945).
Setelah terjadi pertempuran Lima Hari Di Semarang dan pemerintah republik ke luar dari kota itu terbentuk garis demarkasi antara tentara Indonesia di satu pihak dengan tentara Inggris dan NICA-Belanda di lain pihak. Di daerah pemisahan terjadi pertempuran dan wartawan yang ditugaskan ke garis depan meliputnya. Koran mengirim “wartawan perang” ke front Semarang atau ke front Mojokerto di Jawa Timur. Pada tanggal 9 Februari 1946 di gedung Sono Budoyo di Solo dibuka pertemuan para wartawan untuk mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), di antara yang hadir ada “wartawan front” atau “koresponden perang”. Mereka tidak lama-lama tinggal di sidang, sebab harus kembali ke front. Dengan pistol terselip di pinggangnya, tidak diketahui siapa namanya, dari koran mana?”Wartawan perang” ini telah turut mendirikan PWI.
Kemudian wajah-wajah lama dari pers zaman pergerakan berperan dominan. Wartawan di Persdi (Persatuan Djurnalis Indonesia) seperti Syamsudin Sutan Makmur, RM Winarno, Sudaryo Tjokrosisworo, Mr. Sumanang hadir. Mohammad Tabrani “Old Crack” dari Pemandangan turut hadir, dalam kedudukan sebagai pegawai tinggi Kementrian Penerangan Republik Indonesia. B. M. Diah dari koran Merdeka belum tiba karena kesulitan transporatasi. Pada masa itu tidak mudah naik kereta api Jakarta – Solo secara instan.
H. Rosihan Anwar,waktu itu wartawan koran Merdeka yang meliput Konferensi Pamong Praja di Solo, dibuka tanggal 6 Januari 1946 oleh Perdana Mentri Sutan Sjahrir, kemudian turut memdirikan PWI. Teman-teman sekelasnya di sekolah AMS Yogya zaman Hindia-Belanda Usmar Ismail dan Suardi Tasrif yang mengasuh mingguan Tentara di Yogya juga menghadiri pembentukan PWI.”
Pada waktu jeda masuk mobil yang membawa pemimpin redaksi Kedaulatan Rakyat Sumantoro dari Yogya. Ke luar dari mobil Ibrahim Datuk Tan Malaka berpakaian serba hitam, mengenakan topi helm hijau muda. Tokoh PKI awal tahun 1920-an, wakil Komintern (Komunis Internasional) di Asia Tenggara itu dikenal dengan roman picisan Matu Mona di Medan sebagai “Pacar Merah”. Dia bersembunyi di zaman Jepang di tambang Bayah Selatan, Banten, dengan nama “Husein”.
Pada hari-hari setelah proklamasi kemerdekaan, Tan Malaka tampil secara terbuka pergerakan politik. Dia muncul di rumah Ahmad Subardjo di Jakarta. Suasananya menjadi haru dan menggemparkan karena Tan Malaka terlanjur dianggap sosok misterius. Dia lalu menjadi mitra debat para tokoh pergerakan seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Saat bertemu Soekarno, dia mengemukakanpemikirannya mengenai jalannya revolusi nasional, seperti apa yang harus dilakukan bila Soekarno-Hatta mati atau ditangkap.
Tan Malaka disambut para pemuda pejuang seperti Chairul Saleh, Adam Malik, Sukarni, dan lain-lain dengan antusias, menganjurkan Indonesia merdeka 100 persen melalui organisasi Persatuan Perjuangan, dikagumi wartawan. Sumantoro yang membawanya ke konferensi wartawan di Solo untuk menyampaikan pidatonya. Di sampingnya berjalan seorang gadis Betawi yang bekerja di Kedaulatan Rakyat dan menjadi penyiar radio “ Voice of Free Indonesia”, yang pada bulan November 1945 mengungsi dari Jakarta ke Yogya, bernama Zuraida Sanawi yang juga bekerja di surat kabar Asia Raya.
Tan Malaka yang sudah paruh baya naik ke mimbar dan mulai berbicara tanpa teks mengenai tema yang sangat difahaminya, yaitu Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika). Empat jam dia bicara tak berhenti, tak terlihat lelah. Kebanyakan wartawan yang hadir dengan susah payah menahan kantuk karena kelelahan. Setelah itu Tan Malaka dan Zuraida pergi meninggalkan gedung Sono Budoyo.(Penulis, peminat sejarah).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI