Pepes: Seni Membungkus Rasa
Tak ketinggalan, pepes peda menjadi menu andalan. Dengan dibungkus daun pisang lalu dikukus, bumbu rempahnya meresap sempurna. Aroma daun pisang yang terkena uap panas menguar begitu bungkus pepes dibuka, seakan mengajak kita pulang sejenak ke dapur ibu di kampung.
Pepes bukan hanya makanan, tetapi sebuah seni. Seni meramu bumbu, seni membungkus, dan seni menghadirkan rasa. Di Jakarta, seni itu tetap hidup meski dalam balutan modernitas.
Tradisi yang Menolak Dilupakan
Menikmati kuliner Sunda di Jakarta adalah bentuk perlawanan kecil terhadap arus globalisasi yang kerap membuat orang melupakan akar tradisi. Sajian sederhana ini membuktikan bahwa di tengah gemerlap ibu kota, lidah Sunda masih punya tempat.
Kuliner bukan sekadar pengisi perut, tetapi juga perekat identitas, pengingat kampung halaman, serta penguat ikatan antarperantau. Maka tak heran, warung Sunda di Jakarta selalu ramai, dari kalangan mahasiswa, pekerja kantoran, hingga keluarga yang sekadar ingin mencari kehangatan rasa rumah.
Penutup: Sebuah Ruang Pulang
Ketika hiruk pikuk Jakarta mulai terasa menyesakkan, saya menemukan bahwa pulang tidak selalu berarti kembali ke kampung halaman. Pulang bisa dilakukan dengan cara sederhana: duduk di meja makan, menyendok karedok, merasakan pedas sambal goang, dan menghirup aroma pepes peda.
Di situlah lidah Sunda menemukan rumahnya, sebuah rumah yang tak lekang oleh waktu, meski berdiri di tengah kota yang tak pernah tidur.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI