Lidah Sunda di Tengah Hiruk Pikuk Jakarta: Sajian Tradisional yang Tak Lekang Waktu
Jakarta selalu identik dengan kota metropolitan yang sibuk, panas, macet, dan penuh hiruk pikuk aktivitas. Namun, di balik gemerlap gedung pencakar langit dan ritme kehidupan yang serba cepat, ternyata ada ruang kecil untuk bernostalgia. Ruang itu hadir dalam bentuk warung, rumah makan sederhana, hingga restoran yang menyajikan kuliner khas Sunda---sebuah pengingat akan akar tradisi yang tak lekang oleh waktu.
Rindu yang Terobati di Meja Makan
Bagi banyak orang Sunda yang merantau ke Jakarta, lidah sering kali merindukan sesuatu yang sederhana: nasi hangat, lalapan segar, sambal pedas, dan gurih pepes. Aroma khas dari masakan Sunda mampu menghadirkan kehangatan kampung halaman, meski kita sedang duduk di kursi plastik sebuah warung di sudut jalan ibu kota.
Saya sendiri merasakannya ketika suatu siang mampir ke sebuah rumah makan Sunda sederhana di bilangan Jakarta Selatan. Di sana, meja kayu panjang dipenuhi menu yang akrab di lidah: karedok dengan kacang tanah tumbuk yang harum, pepes peda dengan aroma daun pisang yang menggoda, serta sambal goang yang menyengat hidung sekaligus membakar lidah.
Kesegaran yang Menjadi Identitas
Keunikan kuliner Sunda ada pada kesegarannya. Sayuran mentah dalam karedok---kol, kacang panjang, timun, dan taoge---bukan sekadar makanan, melainkan pernyataan budaya: kesederhanaan, keseimbangan, dan kembali pada alam. Di tengah kota yang sibuk, menyuap karedok terasa seperti meneguk udara segar dari sawah di kampung.
Lalapan segar dengan sambal goang juga menghadirkan sensasi yang sulit ditiru kuliner lain. Pedasnya sambal bukan sekadar rasa, tetapi juga energi yang membangkitkan semangat setelah lelah menghadapi kemacetan.