Matahari mulai lembut di kawasan The Kaldera Toba Nomadic Escape tatkala saya berdiri persis di posisi Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ibu Iriana menjejak. Saya serasa disergap oleh ketakjuban pesona Danau Toba, kala gemawan putih sedang menarik kuas untuk melukis di kanvas langit. Lebih dari penat yang meluruh, terbit rasa bahagia yang membual dan sebersit bangga berwisata di Indonesia.
DI SINI, di kawasan Destinasi Superpriotitas (DSP) Danau Toba, Anda layak menorehkan tinta emas dalam daftar impian untuk dikunjungi. Di The Kaldera Toba Nomadic Escape, Anda bisa memuaskan dan menikmati chill and heal di hills dengan pesona premiumnya.
Sebermula, saya merasa teramat dodol berkenaan dengan wawasan mengenai destinasi ini. Seumur-umur, danau terbesar yang pernah saya datangi "hanyalah" Danau Poso di Sulawesi Tengah. Benak masa kecil saya seolah mekar mengetahui bahwa danau itu membentang 32 km dengan lebar 16 km. Wow! Hingga di kemudian hari, dua hal ini terjadi!
Pertama, berbasis pengalaman sendiri. Itinerary yang saya terima kala itu, membuat saya agak mengernyitkan kening. Rute perjalanan saya dari Yogyakarta, saya akan terbang menuju bandara Soekarno Hatta terlebih dahulu, sebelum berlanjut dan mendarat di landasan Silangit.
Silangit? Bandar Udara Internasional Silangit? Di mana kata "Kualanamu" dalam itinerary itu? Atau, letaknya di sebelah mana dari Bandara Kualanamu?
Ketika pesawat kami landing, pampang benar bandara Silangit teramat "kecil" di mata saya. Plus, berantakan sebab sedang dalam proses renovasi besar-besaran. Selebihnya, saya membawa beragam pertanyaan dan menyetel benak untuk menikmati perjalanan yang eksotik.
Perkampungan yang kami lewati, tampak berbeda dengan apa yang biasa saya jumpai di Pulau Jawa. Sepanjang perjalanan sebelum tiba di lokasi, saya hanya bisa memgenali nama Balige. Dan, melewati kawasan memesona berpepohon tinggi layaknya di Alaska, Amerika sana, yang saya saksikan melalui film Hollywood.
Dalam dua jam perjalanan itu, saya pun dibuat paham di mana letak Bandara Kualanamu, seberapa jembar Danau Toba, dan betapa cupet isi benak saya tentang danau dengan panjang 100 km dan lebar 30 km.
Kelak saya kerap menggunakan narasi berdasarkan pengalaman ini, "Jika kita mau healing ke Danau Toba dengan cara berangkat sendiri-sendiri, saat booking tiket pesawat, pastikan kita landing di bandara yang sama. Jika saya mendarat di Silangit dan kamu di Kualanamu, bye-bye ... kita tak akan jumpa."
Kedua, berbasis narasi seorang profesor. Ini kisah unik yang membuat saya takjub dan bangga berwisata di Indonesia. Saya mendengarnya tanpa sengaja, melalui sebuah tayangan YouTube, kanal Endgame milik Gita Wirjawan
Di tengah percakapan panjang dengan Profesor Kishore Mahbubani, tersisip bahasan tentang pariwisata Indonesia. Mantan diplomat senior dan Dean di Lee Kuan Yew School of Public Policy di Singapura ini punya cara untuk mengekspresikan kebesaran destinasi tersebut.
I always tell my friends a story, in Indonesia you have one mountain. On top the mountain you have a lake. In the middle of small lake there is small island. That's small island bigger than Singapore.
Prof Kishore Mahbubani tidak sedang bercanda dan Anda pasti bisa menebak "That's small island bigger than Singapore" itu adalah Pulau Samosir. Ia mengucapkannya kepada Gita Wirjawan di siniar (podcast) Endgame edisi "Profesor Kishore Mahbubani: Jangan Gengsi Meniru Negara Lain" (YouTube, 13 Oktober 2021, menit 12.30).
"Saya memprediksi perkembangan tercepat sektor pariwisata adalah ekowisata," ujar Kishore. "Orang-orang akan pergi menikmati tempat-tempat yang alamiah, hutan yang alamiah. Di sinilah Indonesia bakal menjadi nomor satu di dunia, di bidang ekowisata."
Lalu cerita berlanjut, tentang Ali Alatas, diplomat ulung Indonesia yang pernah menjabat Menteri Luar Negeri (1988-1999), yang disebut Kishore sebagai teman baik yang dikaguminya. Ali Alatas bercerita kepadanya, bahwa Indonesia pernah membuat seri program [promosi] tentang Indonesia.
Apa yang kemudian terjadi? Jutaan orang Indonesia menyaksikannya dengan kagum. Kok bisa? "Sebab orang Indonesia sendiri tidak menyadari betapa indahnya negerinya!" ucap Kishore.
Penggalan cerita yang dikisahkan Prof Kishore Mahbubani ini, tak pelak menempelak saya.
"Hilang"-lah di Tempat yang Tepat
Ngobrol tentang healing, tentu tak lepas perasaan cemas dan stres yang "setia" hadir dalam kehidupan manusia. Alvara Research Center pernah meneliti Kecemasan Antargenerasi di Indonesia (2021). Alhasil ditemukan, Gen Z di Indonesia adalah generasi paling stres dibandingkan Gen X dan Gen Milenial.
Survei ini dilakukan terhadap 1529 responden di 34 provinsi di seluruh Indonesia. Survei Alvara ini dilakukan dengan metode multistage random sampling, pada 20-31 Maret 2022.
Dalam pemuatan di Dataindonesia.id tergambarkan bahwa Gen Z mudah cemas dan stres. Terdapat 28,3% responden Gen Z yang mengaku cemas, di mana 23,3% merasa cemas dan 5% lagi sangat cemas.
Di kalangan responden Gen Milenial, responden yang cemas sebesar 28,1%, terdiri dari 23,5% milenial yang merasa cemas dan 4,6% sangat semas. Di Gen X, hanya 24,1% responden yang merasa cemas, di mana 21,3% yang merasa cemas dan 2,8% sangat cemas.
Tingginya tingkat kecemasan Gen Z menurut Alvara disebabkan karena mereka belum punya banyak pengalaman dalam menghadapi tekanan. Itu sebabnya Gen Z mudah pindah kerja dan mencari lingkungan kerja yang cenderung nyaman tanpa tekanan tinggi.
Sebagai konsekuensi, mencuatlah "kebutuhan" healing dalam percakapan di media sosial. Terkait ini, psikolog klinis Veronica Adesla menerangkan kepada Kompas.com bahwa istilah "healing" yang kerap digunakan di media sosial, self healing untuk itu bisa berupa liburan.
"Bisa saja liburan menjadi self healing kalau misalkan aktivitas yang dilakukannya selama liburan tersebut memang membantu yang bersangkutan untuk memulihkan dirinya dari kelelahan fisik maupun mental yang mungkin sedang dialami," lanjut dia.
Victoria Maxwell dalam artikelnya The 6 Steps of Healing You Need to Know: How to reset to wellness di Psychology Today mengungkapkan bahwa "healing is a natural by-product". Artinya, setiap kita memiliki daya tahap cemas dan stres secara bawaan.
Itu sebabnya seiring membanjirkan penggunaan istilah ini, healing tak selalu harus direspons sebagai gangguan yang membutuhkan pertolongan profesional melalui sesi-sesi terapi dalam periode tertentu.
Bagi Victoria, healing perlu didefinisikan dalam makna yang lebih luas. Healing tidak selalu berarti mengurangi level gejala [penyakit], mengurangi masa rawat inap di rumah sakit, atau kembali ke tingkat fungsi sebelum sakit.
"It is (in my definition) the restoration of a sense of meaning, purpose, sense of self, and quality of life, despite struggles with the illness," tulisnya. Jadi, pemulihan yang mencakup perasaan bermakna, tujuan yang ingin dicapai, respons terhadap diri sendiri, dan kualitas hidup.
Berdasarkan survei Alvara, tangkapan perbincangan di media sosial, dan opini psikolog Veronica Adesla, maka pada masa kini dibutuhkan ketrampilan untuk menjaga keseimbangan.
Pakar psikologi dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Dr. Primatia Yogi Wulandari, menyarakan kita memahami "alarm" sebagai tanda tubuh memerlukan self healing. Antara lain, tubuh mudah merasa kelelahan, keluhan secara fisik yang penyebabnya tidak jelas, atau mengalami sulit tidur.
Dr. Primatia memberikan catatan bahwa emosi positif ketika self healing dapat memengaruhi endorfin atau hormon bahagia dan penghilang rasa sakit. Karena itu, pilihlah aktivitas yang memenuhi hal ini. Artinya, yang berkualitas, dong.
Jadi, untuk healing, bila pilihan Anda adalah melakukan aktivitas outdoor atau traveling, "hilang"-lah di destinasi berkualtas yang benar-benar bermakna bagi tubuh Anda.
The Kaldera Toba Nomadic Escape
Nomadic escape adalah salah satu pilihan favorit, sebab terkait dengan kondisi alam yang natural dan bisa sangat berbeda dengan kegiatan rutin kita. Soal yang ini, The Kaldera Toba Nomadic Escape adalah salah satu benchmark yang layak dirujuk.
Destinasi Superprioritas (DSP) yang dikelola oleh Badan Pelaksana Otoritas Danau Toba (BPODT) ini dibangun dengan konsep wisata kembara (nomadic tourism). Jenis wisata ini sangat disukai oleh kalangan muda.
Secara definisi teknis, wisata kembara bisa dijelaskan sebagai wisata yang bersifat sementara dilengkapi dengan akomodasi yang tidak permanen (nomaden) sehingga mudah dipindahkan ke lokasi lain. Glamping adalah salah satu contoh berkenaan dengan akomodasi ini.
Apa apa di The Kaldera Toba Nomadic Escape? Banyak dan beragam. Di sini Anda bisa menikmati pengalaman melakukan eksplorasi di banyak spot rekreatif, seperti:
- Kaldera Hill
- Kaldera Plaza
- Kaldera Stage
- Kaldera Amphitheater
- Coffee Centrale
- Nomadic Cabin
- Nomadic Bubble Tent
- Nomadic Bell Tent
- Nomadic Ecopod
- Nomadic Caravan Park
Destinasi "kembara alam" ini sempat viral saat dikunjungi oleh Presiden Jokowo bersama Ibu Iriana dan sejumlah menteri. Sesaat kemudian, saya bisa berdiri di lokasi yang sama, dan membagikan ceritanya sebagai oleh-oleh di Kompasiana, The Kaldera, Pintu Millennial Tourism di Toba.
Mengingat kembali kenangan manis selama saya di sana, kerap sudah menjadi healing sederhana yang membahagiakan. Dengan harapan yang sama, kiranya Anda bisa menemukan destinasi-destinasi healing yang bersifat personal dan ngangeni. Melambai-lambai agar Anda kembali, dan merasa bangga berwisata di Indonesia.
"It's always hard to deal with injuries mentally, but I like to think about it as a new beginning. I can't change what happened, so the focus needs to go toward healing and coming back stronger than before," Carli Lloyd meneguhkan kita.
-
Rujukan:
- Ramai Tren “Healing”, Apa Itu? Ini Penjelasan Psikolog
- Psikolog Ungkap Cara Self Healing untuk Sembuhkan Luka Batin
- Generasi Z Indonesia Paling Stres Dibandingkan X dan Milenial
- 10 Tips for Emotional Healing
- The 6 Steps of Healing You Need to Know
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI