Mohon tunggu...
Khozin Zaki
Khozin Zaki Mohon Tunggu... Dosen - Khadim UIN Fatmawati Sukarno Bengkulu

Urip Iku Singgah, Sinau lan Tergugah Concern on THR (Thayyiban. Halalan. Rahmatan Lil Alamin)

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Heritage Economy: An Ethical Business or Business as Usual (Catatan Singkat Refleksi Traktat London 1824)

8 November 2022   14:55 Diperbarui: 8 November 2022   15:04 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tahun 2022 ini menjadi tahun diperingatinya 2 abad traktat london yang ditandatangani pada tahun 1824. Dimana perjanjian yang ditandatangani antara Inggris dan Belanda ini memberikan dampak terhadap peta eksplorasi yang bercokol di wilayah Asia Tenggara. Satu diantara poin perjanjian tersebut adalah mengenai bagaimana tanah Bengkulu yang pada masa itu dibawah Kerajaan Inggris, akhirnya harus diserahkan kepada Belanda. Yang masa itu berada di sekitar wilayah Semenanjung Malaka (Tumasik) yang saat ini merupakan Singapura, hingga terjadilah pertukaran wilayah tersebut. Fokus tulisan kali ini berupaya memberikan highlight refleksi pribadi penulis mengenai bagaimana pengaruh aktor aktor dari traktat london baik sebelum maupun sesudahnya dengan seperangkat peninggalannya (heritages) terhadap afirmasi ekonomi terkini.

Pertama, sebagai tanah yang pernah dikelola (eksploitasi) oleh Inggris dan Belanda tentunya menjadi sebuah catatan sejarah yang bersifat konflik. Generasi yang sudah jauh dari rentetan sejarah tersebut, hari ini tentunya berupaya dengan segenap kelapangan hatinya berupaya menggeser nilai tersebut menjadi semangat kolaborasi. Sehingga legacy yang tadinya kelam berubah menjadi sebuah pembelajaran bagi semua pihak. Lalu, bagaimana mengkonversi ini menjadi sebuah nilai ekonomi riil tentu memerlukan upaya untuk mem "bundling" hal tersebut kedalam pengalaman dan pengamalan yang menguntungkan semua pihak. Pemegang kewenangan bekerja sama dengan think-tank kreatif yang punya concern didalamnya, contohnya komunitas Bengkulu Heritages Society perlu mengadvokasi keturunan dari pelaku pelaku sejarah tersebut (Inggris-Belanda) secara khusus dan masyarakat global secara umum, bahwasannya "warisan berupa cerita" perlu dirasakan dan didengar langsung di tanah kejadian perkara. Sehingga mereka yang menjadi produsen ataupun konsumen cerita itu mendapatkan kisah yang berimbang, sehingga melalui konsep ini, pelaku "heritage business" berhasil menghindari tipu tipu dalam aktifitasnya. Dengan kualitas ini bukan mustahil Bengkulu bisa menjadi tanah "pilgrimage" bagi mereka yang ingin menapak tilas kisah perjalanan bangsanya.

Kedua, ada banyak sekali warisan (heritages) fisik yang tersebar di tanah Bengkulu ini harus direnungkan oleh semua pemangku kepentingan. Dalam perspektif bisnis ringkas, sebenarnya bangunan- bangunan tersebut ingin dijadikan aset produktif atau tidak produktif.  kemudian value apa yang ingin diprioritaskan, apakah  nilai historitas-sakralitas atau nilai ekonomis-bisnis nya. Setelah stakeholders sepakat dengan "status" heritages tersebut tentunya secara ethic barulah kita memiliki kesamaan nilai dan persepsi bagaimana memperlakukan bangunan tersebut sehingga tercipta langkah pricing yang berkesinambungan dengan upaya preservasi dan perawatan warisan. Puncaknya sites-sites penting yang saat ini menjadi wahana kegiatan ekonomi harus digunakan untuk kesejahteraan masyarakat seluas luasnya. Dari hal tersebut, refleksi dari traktat london kali ini. Bengkulu harus mendorong kesadaran bersama dari para pelaku sejarah traktat london untuk membuat pengelolaan tanpa tendensi yang berkelanjutan dengan nuansa check and balances. Tanggung jawab bersama ini harus didorong dengan semangat ilmu pengetahuan dan nilai ekonomi berkelanjutan untuk generasi selanjutnya.

Terakhir, bagi penulis pribadi semangat refleksi kali ini, pemerintah bengkulu harus berani dan mengadvokasi kepada pemerintah Inggris dan Belanda. Bahwasannya bukan hanya bengkulu yang harus bersikap akomodatif. Pihak Inggris dan Belanda harus mendapatkan literasi bahwa heritages adalah kepentingan para pihak. Pemerintah perlu menciptakan "kebutuhan/tawaran" yang mustahil mereka tolak. Sehingga daya tawar Bengkulu tidak disepelekan. Beyond of that, konsep  heritage economy yang dikembangkan Provinsi Bengkulu adalah best practice dari ekonomi berkelanjutan  yang beretika pada proses dan produk pengembangan warisan budaya dan sejarah.

Balai Raya Semarak Bengkulu, 2022
Khozin Zaki, M.A

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun