Mohon tunggu...
Muhammad Khozin
Muhammad Khozin Mohon Tunggu... Relawan - seorang anak laki-laki

Tanganku mengetik karena hatiku tak pandai memendam.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Potong Rambut, Sepotong Kenangan dengan Bapak

31 Mei 2019   11:20 Diperbarui: 31 Mei 2019   11:32 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemarin sore saya dan dua keponakan berangkat untuk potong rambut. Orang-orang di sini juga demikian, ramai antri di salon, tukang cukur dan barbershop untuk potong rambut. Bahkan Pak Jokowi pun juga potong rambut untuk menyambut lebaran yang sebentar lagi tiba. Potong rambut sebelum lebaran memang sudah jadi kebiasaan. Kebiasaan ini saya kenal dari Bapak.

Sewaktu masih SD urusan cukur-mencukur, potong-memotong rambut, adalah urusan Bapak dan Ibuk. Jarang sekali saya diberi uang lantas disuruh pergi potong rambut sendiri ke tukang cukur. Pernah sesekali diantar Ibuk tapi seringnya dengan Bapak. Entah kenapa pergi diantar orang tua kemana saja akhirnya berkesan sekali jika dikenang, termasuk diantar Bapak untuk potong rambut.

Dulu, sering kali saya bersedih hati jika diajak potong rambut. Kenapa? Waktu itu teman-teman sepermainan potong rambut gaya mandarin. Sisi samping dan belakang dicukur tipis tinggal atas yang agak lebat. Mirip potongan Jackie Chan dan aktor-aktor Mandarin. Atau biasanya mereka potong sesuai keinginan, sisi belakang disisihkan, rambut depan lebat dibelah tengah dan gaya sesuai keinginan mereka. Tapi saya tidak, potong mandarin yang rapi bak Jackie chan pun hanya khayalan. Jika diantar Bapak, saya dan adik hanya punya dua pilihan: potong bros atau ABRI. Bros itu dicukur habis rata sedangkan gaya abri itu kuncung. Seperti namanya ABRI, gaya ini gaya potong rambut ala militer.

Sebelum tahu gaya ABRI Ibuk yang bilang “Potong abri saja ya, biar rapi, ganteng”. Membayangkan ABRI yang sekarang dikenal dengan TNI aku mau saja, pasti keren daripada bros. Berangkatlah aku dibonceng Ibuk ke tukang potong rambut dekat pasar tradisional Sayung. Setelah potong saya nangis. Betapa ekspektasi keren jauh panggang dari api. Dari kejadian ini saya jadi paham arti yang sesungguhnya dari lirik lagu berbahasa daerah “cilikanku rambutku dicukur kuncung”. Artinya adalah; sedih, malu keluar dan bertemu dengan teman-teman, culun dan perasaan getir lainnya.

Mengapa hanya ada dua pilihan itu? Alasan mendasarnya karena ekonomi. Jika potong rambut gaya-gaya ala keren yang rambut terlihat masih agak lebat hanya beberapa minggu rambut akan tumbuh panjang lagi dan nantinya cepat kembali ke tukang cukur, bayar lagi. Alasan mulia Bapak dan Ibuk lainnya tentunya agar anak-anaknya terlihat rapi meskipun dianggap orang culun.

Dampak potong rambut tidak sesuai kehendak ini sangat luar biasa menurutku pada waktu itu. Sewaktu main, ngaji di langgar ataupun di sekolah selalu di bully. Yang paling menjengkelkan jika peci atau topi yang saya kenakan dirampas lalu dibuat lempar-lemparan. Tragis. Tidak hanya itu, kepercayaan diri jadi down, pernah saya membolos sekolah 2 hari berturut-turut ke sawah karena malu dipotong botak. Betapa ingatnya saya, di tukang cukur rambut saat ngantri pun saya sangat sedih. Sempat mewek bareng dengan adikku Karena tak berdaya, tidak berani bilang kepada Bapak jika tidak mau potong seperti itu. Mewek pun kita sembunyikan, takut dimarahi Bapak.

Beranjak masuk Mts (SMP) setelah sunat saya mulai berani potong sendiri, minta uang sendiri. Bahkan juga dicukur oleh temanku sendiri. Gayanya pun sesuka hati. Gaya anak band terutama yang saat itu jadi panutan gaya rambut. Di bangku kelas VIII semakin bebas, sedikit demi sedikit saya berusaha lepas dengan tangan besi Bapak yang mengantar ke tukang cukur dengan motor jadulnya itu. Sungguh kebebasan ini tak begitu perlu dirayakan karena teman-teman seumuran juga sudah biasa potong rambut sendiri atau jika bersama orang tuanya mereka bebas memilih gaya potong rambut asalkan pantas untuk anak usia sekolah. Tapi paling tidak saya merasa lega.

Masuk MA (SMA) saya sudah merasa biasa. Potong rambut hanya soal memang sudah waktunya dan peraturan sekolah. Waktu itu saya memilih kelihatan netral, kalem dan yang paling penting pantas sebagai santri. Di pesantren tentunya potong rambut sendiri, berangkat bersama teman, kadang-kadang menghemat minta dipotong teman. Banyak teman di pondok yang ahli mencukur rambut. Tukang cukur langganan dari pondok pun tidak jauh. Biasa berjalan kaki. Jadi di waktu ini sampai masa kuliah datar-datar saja, tiada gejolak yang nyata seperti masa-masa sebelumnya. Hanya saja potong rambut sekarang jadi dilema. Sudah saatnya potong atau belum penuh keraguan. Hasil setelah dipotong malah tidak sesuai keinginan jadi bimbang. Begitulah.

Tapi sekarang, waktu ini, waktu menyambut lebaran ini hati saya jadi tergores. Goresan itu membuka kenangan saya dan adik ketika potong rambut diantar Bapak mengendarai motor jadul. Kok sekarang jika saya bayangkan jadi memori syahdu yang membelenggu. Segala hitam-putih Bapak yang semata-mata demi saya dan anak-anaknya. Ketika dulu rasanya menghindar dari jangkauanmu, sekarang malah terbesit rindu yang tak bisa diulang.

Ku kenang jasa-jasamu pak, kudoakan selalu, memohon tempat terbaik untukmu. Semoga waktu fana ini tak terasa lama untuk kita bertemu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun