Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

PARCOK: Akronim Politik Representasi Ketidakpercayaan Publik

8 Oktober 2025   06:30 Diperbarui: 8 Oktober 2025   06:30 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ULAH PARCOK BIKIN RECOK 

Dalam lanskap politik Indonesia pasca-Pemilu 2024, akronim  "PARCOK" muncul sebagai fenomena linguistik yang mencerminkan ketegangan antara institusi negara dan dinamika kekuasaan. Akronim dari "Partai Coklat", PARCOK merujuk pada dugaan keterlibatan oknum polisi---dengan seragam dinas berwarna coklat---dalam proses politik, khususnya Pilkada serentak 2024.

Istilah ini menjadi viral di media sosial dan diskusi publik, serta kerap digunakan oleh oposisi seperti PDI-P untuk menuduh cawe-cawe atau intervensi tidak netral  oknum-oknum aparat kepolisian guna memenangkan kandidat tertentu.

Dari perspektif semantik kognitif, PARCOK bukan sekadar label sarkastis, melainkan metafora konseptual yang membentuk pemikiran masyarakat tentang politik. Sementara dari sudut politik, ia berfungsi sebagai alat wacana kritis untuk polarisasi dan delegitimasi.

Metafora sebagai Bingkai Pemikiran

Semantik kognitif, sebagaimana dikembangkan oleh George Lakoff dan Mark Johnson dalam Metaphors We Live By (1980), memandang bahasa bukan sebagai representasi netral, melainkan sebagai sistem metafora konseptual yang membentuk pemahaman kita tentang dunia.

Metafora bukan hiasan retoris, tapi struktur kognitif yang memetakan domain sumber (source domain) ke domain target (target domain), memengaruhi persepsi dan tindakan. Dalam kasus PARCOK, metafora konseptual utama adalah POLISI SEBAGAI PARTAI POLITIK.

Domain sumber "partai" menyiratkan organisasi partisan yang berkompetisi untuk kekuasaan, sementara domain target "coklat" (warna seragam polisi) mengubah institusi penegak hukum menjadi aktor politik yang tidak netral.

Hal tersebut telah  menciptakan bingkai kognitif di mana polisi dianggap sudah bukan lagi pelindung rakyat, melainkan "pemain" dalam arena politik, mirip partai yang cawe-cawe untuk kemenangan elektoral.

Asal-usul akronim PARCOK  ini, seperti diungkap Yulius Setiarto (anggota DPR dari PDI-P), berakar dari dugaan intervensi polisi dalam Pilkada 2024. Pada arena konstestasi tersebut warna  "coklat" yang merupakan seragam Polri, menjadi simbol visual yang mudah diingat serta  membangkitkan asosiasi dengan kekuasaan represif.

Metafora ini memperkaya pemikiran kognitif masyarakat: "Partai Coklat" menyiratkan bahwa polisi telah "berubah warna" dari netral menjadi partisan, seperti metafora "warna partai" yang umum di politik Indonesia (misalnya, merah untuk PDI-P).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun