Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Kata "Tolol' dan Robohnya Legitimasi Sahroni

1 September 2025   15:01 Diperbarui: 1 September 2025   15:01 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nasib Ahmad Sahroni Setelah Sebut 'Tolol' Dicopot dari Wakil Ketua Komisi III DPR Hartanya Rp328 M - Suryamalang.com 

Bahasa adalah cermin jiwa. Ia merekam cara seseorang memandang dunia, menilai lawan bicara, sekaligus meneguhkan posisi dirinya. Karena itu, ketika seorang pejabat publik melontarkan kata "tolol" kepada mahasiswa yang kritis, publik tidak hanya mendengar bunyi bahasa, melainkan juga menangkap ideologi di baliknya: arogansi kekuasaan yang memandang kritik sebagai ancaman, bukan sebagai vitamin demokrasi.

Video yang memperlihatkan Ahmad Sahroni---politisi NasDem sekaligus anggota DPR---melontarkan kata itu menjadi bukti. Sepatah kata yang seolah remeh justru berubah menjadi cermin kolektif tentang relasi kuasa: bagaimana elit politik memperlakukan suara rakyat yang seharusnya mereka wakili. Kata "tolol" di sini bukan sekadar makian. Secara semantik, ia berfungsi untuk menegasikan kemampuan intelektual lawan bicara, mengasosiasikan mahasiswa dengan "kebodohan". Secara pragmatik, ia bekerja sebagai tindak tutur (speech act) yang merendahkan, membungkam, sekaligus mengklaim superioritas. Dengan satu kata, hierarki ditegakkan: penguasa di atas, pengkritik di bawah.

Dalam sejarah politik kita, bahasa kasar memang kerap dipakai untuk mendeligitimasi oposisi atau meremehkan suara minor. Namun di era digital, setiap kata terekspos ke ruang publik dalam hitungan detik, tanpa penyaring. Akibatnya, citra politisi tidak lagi hanya ditentukan kebijakan atau kinerja, melainkan juga etika verbal yang ditampilkan. Satu kata bisa lebih melukai daripada seribu kebijakan yang diperdebatkan.

Maka tidak heran jika reaksi publik mengeras. Bagi rakyat, ucapan Sahroni bukan sekadar slip of the tongue, melainkan penghinaan terhadap martabat warga negara. Ia menandai retaknya kontrak moral antara wakil rakyat dan yang diwakili. Gelombang protes tidak berhenti di jalanan, melainkan menjalar ke dunia digital, ke meja redaksi, bahkan ke ruang keluarga.

Sejarah pun bergerak cepat. Amarah yang dipicu satu kata itu berubah menjadi aksi massa. Rumah Sahroni di Jakarta Utara diserbu, dijarah. Ia dicopot dari jabatannya sebagai anggota DPR oleh partainya sendiri. Dan akhirnya, ia kabur ke Singapura, tak berani pulang ke tanah air. Ironi itu lengkap: seorang politisi yang pernah menyebut rakyatnya "tolol" justru tumbang oleh kata-katanya sendiri.

Esai ini ingin mengingatkan: bahasa bukan sekadar alat komunikasi, melainkan alat kekuasaan. Ia bisa menjadi jembatan antara rakyat dan pemimpin, tapi juga bisa menjadi jurang yang menganga. Kata yang kasar tidak hanya menyinggung, tapi juga menciptakan jarak, mencabut legitimasi, dan mempercepat runtuhnya kepercayaan.

Demokrasi seharusnya hidup dari dialektika, bukan caci maki. Jika politisi ingin merawat legitimasi, maka pilihan katanya haruslah merangkul, bukan melukai. Sebab wajah politik kita ditentukan oleh bahasa yang dipakai penguasanya. Dan ketika bahasa yang keluar adalah "tolol", maka yang tampak hanyalah politik yang congkak, rapuh, dan kehilangan moralitas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun