Ada yang lebih menyakitkan daripada kehilangan anak: kehilangan tanpa ada pihak yang berani mengaku salah. Itulah yang kini dialami keluarga Affan Kurniawan. Nyawa pemuda ojol itu melayang di bawah roda rantis Brimob, sementara negara hanya menutupinya dengan narasi stabilitas.
Kematian Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online berusia 21 tahun yang dilindas kendaraan taktis Brimob di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, bukan hanya meninggalkan luka keluarga, tetapi juga menyisakan pertanyaan besar kepada negara. Tragedi pada Kamis, 28 Agustus 2025 itu terjadi di tengah upaya polisi membubarkan massa buruh, mahasiswa, dan pengemudi ojol yang sedang berdemo menuntut keadilan ekonomi.
Affan bukan demonstran. Ia hanyalah seorang pekerja muda yang tengah mengantarkan pesanan, tetapi pulang sebagai jenazah. Kehilangannya menampar nurani publik, sekaligus membuka luka lama: mengapa nyawa rakyat kecil kerap menjadi korban dalam situasi kericuhan?
Narasi Stabilitas vs. Tanggung Jawab
Presiden Prabowo Subianto bereaksi cepat. Ia menyampaikan rasa terkejut, kecewa, dan menyerukan agar kasus ini diusut tuntas. Ia juga mengingatkan aparat agar bertanggung jawab dan berjanji menindak tegas jika ditemukan pelanggaran. Namun ada satu hal mendasar yang tidak keluar dari mulutnya: permintaan maaf.
Sebagai kepala negara, Prabowo memilih hanya mengirim duka cita dan belasungkawa. Selebihnya, ia mengarahkan narasi pada pentingnya menjaga stabilitas dan mewaspadai "kelompok yang ingin situasi tetap kacau." Pesan ini, alih-alih menenangkan, justru terasa menjauhkan diri dari inti persoalan. Prabowo sama sekali tidak meminta maaf atas nama negara yang dipimpinnya atas tragedi Affan ini. Â
"Stabilitas tanpa pengakuan salah itu semu. Ia tidak membangun kepercayaan, hanya menunda kemarahan," kata Dr. Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera.
Mengapa Permintaan Maaf Itu Penting?
Permintaan maaf bukanlah sekadar formalitas. Ia adalah bentuk paling dasar dari tanggung jawab moral seorang pemimpin. Dengan meminta maaf, negara mengakui kegagalannya melindungi warganya. Tanpa itu, pesan belasungkawa terdengar kosong.
Ketiadaan permintaan maaf dari Prabowo menimbulkan kesan bahwa ia memilih berdiri di luar tragedi, seolah hanya pengamat. Padahal, ketika kendaraan aparat negara menewaskan rakyat, negara tidak bisa menempatkan diri sebagai pihak netral. Negara adalah pelaku, dan kepala negara harus berdiri paling depan dalam menanggung beban moral itu.